Mukaddimah
Belakangan
ini beredar himbauan dari kalangan tertentu untuk menkonversi sembelihan
binatang kurban kepada bentuk yang berbeda dengan apa yang di contohkan oleh
Rasulullah SAW. Menurut mereka lebih baik kambing atau lembu di berikan
langsung hidu-hidup kepada yang butuh, untuk dipelihara atau diternakkan,
karena menurut penilaian mereka itu lebih bernilai ekonmis[2].
Hukum berkurban dengan menyembelih hewan sesui ketentuan memiliki
keistimewaan-keistimewaan tersendiri, diantaranya:
- Berkurban memiliki dasar hukum tersendiri[3], yang tidak dimiliki oleh sedekah biasa.
- Berkurban lebih cendrung mengangkat syia’r Islam yang tidak ada pada sedekah
biasa[4],
jika seandainya umat Islam diajak untuk mensedekahkan hewan kurban
hidup-hidup, karena cara itu lebih afdhol secara mutllak, maka ajakan itu
memiliki dua kesalahan besar yaitu: Pertama: Pengingkaran terhadap dalil
dan dilalah Qoth’iy dan sudah berupaya mengubah makna pirman Allah: “Maka
dirikanlah shalat dan berkurbanlah(sembelihlah)” kepada:”Maka dirikanlah
sholat dan bersedekahlah” , Kedua: Adanya upaya pengkaburan
terhadap syi’ar-syi’ar Islam, yang mana syi’ar berkurban merupakan media
yang sangat tepat untuk disaksikan orang banyak, baik muslim maupun kafir
agar dakwah dapat sampai kepada seluruh penjuru dunia, berbeda dengan
bersedekah biasa yang lebih dituntut dilakukan sembunyi-sembunyi. Upaya
mengubah esensi bekurban kepada sedekah biasa bukan hanya kesesatan berpikir
tapi sudah merupakan kekafiran
dalam berpikir. Didalam ushul fiqh pengingkaran terhadap dalil
qoth’iy konsekwensinya dapat mengantarkan seseorang kepada kekafiran[5].
- Melakukan berqurban memiliki syi’ar yang berkaitan dengan shalat ‘Idul Adha, memiliki keterkaitan dengan hari raya besar umat Islam bila syi’ar korban ditiadakan maka dengan sendirinnya hilanglah aura dan wibawa Islam, berbeda dengan bersedekah yang tidak harus diperlihatkan atau dipertontononkan dikhalayak ramai.
- Secara sosial berkorban lebih luas ekses sosialnya, berkorban mimiliki hubungan dengan penerima daging qurban itu sendiri, memiliki syi’ar, memiliki kebersamaan untuk menunjukkan kekuatan Islam, memiliki jangkauan yang lebih luas, tidak hanya diberikan kepada orang miskin seperti zakat atau sedekah, namun daging korban boleh diberi kepada keluarga, jiran tetangga, musafir, sahabat, kaya, pejabat atau orang biasa.
Oleh
karena itu perlu beberapa penjelasan tentang hukum berqurban:Pengertian Qurban,
Hukum menyembelih qurban, kapan hukmnya wajib berqurban?, waktu bequrban, Syarat Orang Yang Berqurban, Umur hewan qurban,
Sifat-sifat Binatang ternak yang Tidak Boleh Dijadikan Qurban, Sunat-sunat dalam Menyembelih Qurban, Cara Membagi
Daging Qurban, Hukum Menjual Daging Qurban, Berqurban Atas Nama Orang yang
Sudah Meninggal?, Panitia dan kedudukannya, Hukum
berqurban bagi yang belum ‘aqiqah, Hukum menyatukan ‘aqiqah dengan qurban.
Pertama : Pengertian Qurban
Kata “Qurban”
berasal dari bahasa Arab: (قرب – يقرب - قربانا) artinya: Dekat atau pendekatan. Kurban juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang
sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari
raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan
diri kepada Allah.
Kata
“Udhiyah” berasal dari bahasa Arab " "الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha).
Maknanya أَضْحَى (adh-ha) yang artinya terang,
awal siang, setelah terbitnya matahari dan akar kata dasarnya "ضحى” dhuha yang selama ini
sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha di
saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
Sedangkan
الأضحية (al-udhiyah /
qurban) menurut syariat[1]
adalah: “ sesuatu yang disembelih dari binatang ternak, berupa unta, sapi dan
kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul
Adha, pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah
selesai shalat ‘Idul Adha, dan pada
hari-hari Tasyrik yaitu pada hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
(رواه الدارقطنى و البيهقى(
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih
qurban” (HR. Ad-Daruquthni
dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)
[1]
Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan
dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan
syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan
dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum
Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan
Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah
hukum.
[1]
Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan
dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan
syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan
dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum
Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan
Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah
hukum.
Kedua :
Hukum menyembelih qurban
Hukum menyembelih qurban menurut mayoritas
Ulama selain Imam Abu Hanifah[7]
adalah sunnah muakkad bagi ummat Islam,
atau sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan oleh yang sanggup. Ibadah
Qurban adalah termasuk syiar agama yang ditetapkan dalilnya dari Alquranul
Karim, Sunnah Nabawiyah dan Ijma’ ulama[8].
Syi’ar berqurban disyariatkan pada tahun ke-2 Hijirah.
Pembagian sunnah ada 2 macam :
- Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
- Sunnah Kifayah, yaitu : Disunnahkan dilakukan oleh seorang kepala keluarga dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor untuk semua keluarganya dan termasuk yang dibawah tanggungannya dan yang tinggal satu rumah dengannya[9].
.
Ketiga: Kapan berqurban menjadi wajib
Pada
dasarnya berqurban adalah Sunnah Muakkad, akan tetapi akan berubah menjadi
wajib dengan empat sebab[10]:
- Dengan bernadzar, seperti : Seseorang berkata : “Aku bernazar akan berqurban pada tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
- Dengan mewajibkan atau dengan ilzam atas dirinya seperti ia berkata: Wajibkan bagiku berqurban pada tahun ini.
- Dengan mewasiatkan (termasuk dalam kategori ilzam), seperti: Jika aku telah berangkat ketanah suci atau jika aku sehat atau jika aku wafat aku wasiatkan kepadamu untuk berqurban dariku.
- Dengan menentukan, maksudnya : Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata : “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut adalah wajib kaena sudah masuk dalam nadzar wajib atau dalam fiqh disebut dengan nadzar ilzami[11].
Dalam hal ini sangat berbeda dengan
ungkapan seseorang : “Aku
mau (bercita-cita) berqurban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan
menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan
kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku
jadikan kambing ini kambing qurban.”
Bila
hanya menyebut atau mengatakan jika ada rezeki saya akan berqurban tahun ini,
sebutan itu masih umum dan jatuh sunnah (bukan wajib)., sebab masih dalam
bentuk cita-cita. Bentuk ini sama dengan nadzar dengan sebutan Insya Allah jika
Allah berkehendak maka aku bernazdar tahun ini[12].
Keempat : Waktu Berqurban
Waktu menyemblih qurban itu
diperkirakan dimulai dari : Setelah terbitnya matahari di hari raya
qurban dan setelah selesai 2 roka’at sholat hari raya idul adha ringan
dan 2 khutbah ringan (mulai dari matahari terbit tambah 2 rokaat shalat ‘Idul
Adha dan 2 khutbah), maka tibalah waktu untuk menyemblih qurban. Bagi
yang tidak melakukan sholat hari raya ia harus memperkirakan dengan
perkiraan tersebut atau menunggu selesainya sholat dan khutbah dari
masjid yang ada di daerah tersebut atau sekitarnya[13].
Dan waktu menyembelih qurban berakhir saat terbenamnya matahari di hari tasyrik
tanggal 13 Dzulhijjah.
Apabila sembelihan terjadi diluar waktu yang telah ditetapkan Rasulullah
SAW maka tidak termasuk Qurban yang dimakksud dalam Syariat Islam, tapi hanya
sebagai sedekah biasa. Demikian juga dengan memberikan binatang ternak
hiidup-hidup kepada fakir miskin niat Qurban tidak jatuh sebagai qurban, tapi
jatuh sebagai sedekah biasa, karena
sudah menyalahi syarat, kaifiyat, waktu dan qurban tidak hanya di
berikan kepada fakir miskin tapi semua lapisan berhak mendapat, baik kaya,
miskin, dekat, jauh, kawan dan kita sendiri boleh memakannya jika qurban itu
humnya sunnah[14].
Kelima: Syarat Orang Yang Berqurban
- Seorang muslim / muslimah, tidak sah qurban dari orang kafir,karena dia tida ahli niat dan ibadah.
- Usia baligh (dewassa), tidak sah niat dari anak-anak yang belum dewasa, namun sah dan sunnah anak-anak yang belum dewasa berqurban dengan diniatkan orang tuanya (walinya) dan mengajarinya untuk berniat qurban sebagai bentuk pendidikan.
- Berakal tidak sah dari yang gila, sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut seperti diatas.
- Mampu, mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.
Maka
bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka sunnah muakkad baginya
untuk melakukan ibadah qurban[15].
Keenam: Syarat-syarat sahnya orang yang menyembelih
- Pertama: Orang yang menyembelih harus yang beragama Islam atau Ahli kitab.
- Kedua : Syarat ahli Kitab yang dimaksud disini adalah ahlu kitab yang belum terkontaminasi ajarannya dengan tahrif (penyelewengan) sesudah dinsakhan.
- Ketiga : Dia tidak menyembelih dengan menyebut selain nama Allah, seandainya dia sebutkan sembelihannya untuk sesembahan atau pengagman terhadap selain Allah, maka sembelihannya tidak sah.
Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi maka
sahlah sembelihannya, tanpa membedakan antara laki-laki atau perempuan,
anak-anak (mumayyiz) atau dewasa[16].
Ketujuh: Umur hewan qurban
- Unta, diperkirakan umurnya 5 – 6 tahun
- Sapi, atau kerbau minimal umurnya 2 tahun ke atas, kecuali terlalu sulit untuk mendapakannya, maka dipilih yang dibawah umur dua tahun dengan tetap mencari yang lebih tua secara berurut kebawah umur dua tahun dan tidak kurang satu tahun .
- Domba atau biri-biri minimal mencapai 1 tahun, kecuali jika kesulitan mendapatkannya maka boleh umurnya yang dibawah 1 tahun seperti ketentuan pada no: 4 berikut[17].
- Kambing Jawa/Etawa dengan bermacam- macam jenisnya, terlebih dahulu dicari minial umurnya 2 tahun, jika sangat kesulitan untuk mendapatkannya maka dicari umur diabawahnya dengan mengurut yang lebih tua sampai minimal 6, 8, 9 bulan, namun tetap memperhatikan apakah gigi seri atas sudah gugur, jika belum gugur maka tidak memadai dijadikan qurban[18].
Kedelapan: Sifat-sifat Binatang yang Tidak Boleh
Dijadikan Qurban
- Buta sebelah mata dan butanya nampak jelas
- Berpenyakitan yang jelas sakitnya, seperti penyakit kurap yang dengan sebab itu kulitnya tidak dapat dimanfaatkan.
- Pincang salah satu kakinya, dimaafkan pincang yang ringan dan tidak mengganggu jalannya untuk mencari makan.
- Binatang ternak yang kurus kering, seperti tidak ada otaknya atau sumsum pada tulang kosong, tanda-tandanya malas tidak ada keinginan untuk makan tumbuhan.
- Ada sebagian dagingnya yang hilang walaupun sedikit.
- Makruh tapi memadai seperti ada sebagian yang kurang dari kelengkapan anggota tubuhnya semenjak lahirnya, tapi tidak mengurangi kadar daging seperti: Tidak punya peler atau hanya satu biji, tidak bertanduk, atau kupingnya kecil, atau kantung susunya sudah mengecil[19]. Namun tetap yang terbaik dan lebih afdhal jika semuanya sempurna[20]. Hewan betina sah dan memadai untuk dijadikan qurban selama memenuhi syarat.
- Tidak memadai qurban atau menjadi sedekah biasa jika ada yang kurang dari tubuhnya yang sudah ada semenjak lahir, seperti: Terpotong kupingnya, terputus tanduknya atau kukunya atau luka, namun dimaafkkan jika itu terjadi bukan karena kelalaian atau kurang perhatian[21].
Kesembilan: Sunat-sunat dalam Menyembelih Qurban
1.
Dalam keadaan suci daripada hadas
besar atau kecil[22].
2.
Membaca Basmalah dan takbir[23].
3.
Menghadap qiblat[24].
4.
Membaca shalawat atas Nabi
MuhammadS.A.W[25].
a.
Contoh-contoh do’a menyembelih: Atas
nama diri sendiri:
“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنِّيْ
فَتَقَبَّلْهُ ِمنِّيْ
“Allah
Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dariku dan dari,
maka terimalah ia dariku”.
b.
Doa menyembelih untuk diri sendiri
dan atas nama keluarga:
“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنِّيْ
وَمِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ فَتَقَبَّلْهُ ِمنِّيْ وَمِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ
“ Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU
dan milk-MU dan untuk-MU dan dariku dan dari keluargaku, maka terimalah ia
dariku dann dari keluargaku”.
c.
Doa menyembelih untuk orang lain:
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ
مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................ فَتَقَبَّلْهُ مِنْهُ/ مِنْهُمْ.
“ Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan
untuk-MU dan dari si: ……. Sebut satu persatu nama pengqurban maka terimalah ia darinya/ dari mereka”.
c.
Doa menyembelih atas nama satu keluarga[27]:
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ
مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................ وَأَهْلِ بَيْتِهِ فَتَقَبَّلْهُ مِنْهُمْ.
“
“Allah Maha Besar,
Ya Allah ini dari-MU dan milik-MU dan untuk-MU dan dari si: ……. Sebut nama
pengqurban maka terimalah ia darinya
dan dari keluarganya dan terimalah dari
mereka”.
d.
Doa menyembelih untuk satu yayasan atau persatuan atau perusahaan diniatkan
atas nama ketua kemudian dari atas nama
umat Muhammad SAW[28]:
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ
مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّم َ فَتَقَبَلهُ مِنْهُ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّم َ
“ Allah Maha Besar,
Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dari si: ……. (Sebut nama kepala
persatuan) dan dari ummat Mhammad SAW,
maka terimalah ia darinya dandari umat uhammadSAW”.
6. Sunnah lainnya
apabila sudah memutuskan untuk
menyembelih qurban, hendaknya : Mulai awal bulan Dzulhijah tanggal
1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong / mencabut rambut atau
kukunya, seperti yang disabdakan Nabi SAW :
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ (رواه مسلم(
“Jika masuk
bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka
hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”
(H.R. Muslim).
Kesepuluh: Hukum memotong rambut atau kuku atau yang
lainnya
bagi yang ingin berqurban setelah masuk satu Dzul Hijjah.
Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama haram memotong rambut atau kuku bagi orang yang ingin berkurban setelah
masuk satu Zdul Hijjah sampai dia memotong kurbannya, seperti yang difatwakan
dalam kitab al-Fiqhul Muyassar, mengambil zahir hadis diatas[29].
Namun Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan pendapat ini Syaz (aneh) dan beliau
memfatwakan hukumnya makruh, tidak sampai haram. Pendapat yang mengatakan
makruh lebih masuk akal, karena hukum berqurban pun hukumnya sunnah[30].
7. Menyembelih dengan diri sendiri jika
memungkinkan. Jika seseorang mampu menyembelih sendiri maka itulah yang lebih
afdhal dan disaksikan keluarga, namun jika tidak mampu menyembelih dengan
sendiri maka diwakilkan dan sekarang dengan menyerahkannya kepada panitia, dan
apabila sudah diserahkan kepada panitia, itu artinya menurut uruf sudah ridho
sama ridho dan panitia dituntut bertanggung jawab dan menjaga amanah[31].
8. Mempertajam kembali pisaunya.
9. Mempercepat cara penyembelihan.
10. Di depan warga, agar semakin banyak yang
mendo’akannya.
11. Untuk qurban yang sunnah (bukan nadzar, atau wajib
atau wasiat) disunnahkan bagi yang bukan nadzar atau wajib atau wasiat untuk
mengambil bagian dari daging qurban biarpun hanya sedikit. Dan jika yang
berqurban memakan daging qurban yang sudah jatuh hukumnya wajib, maka ia wajib
menggantinya dengan bersedekah dengan daging
sebanyak dan setara yang dimakannya[32].
12. Menyaksikan sembelihan qurbannya walaupun orang lain yang
menyembelihnya.
13. Tidak memperlihatkan sembelihan atau menajamkan pisau
dihadapan binatang sembelihan lain.
Kesebelas: Syarat-syarat sahnya dikatakan sembelihan
qurban agar tidak menjadi sembelihan biasa:
Kita
dapat menyimpulkan sahnya sembelihan itu dikatakan qurban cukup banyak mencapai
13 syarat yaitu:
1.
|
Wajib meniatkan korban ketika disembelih atau sebelumnya dan niat
mendekatkan diri kepada Allah.
|
8.
|
Yang melakukan sembelih harus yang sah sembelihannya.
|
2.
|
Wajib mensedekahkan sebagian daging korban sunah dan seluruhnya jika
jatuh hukumnya korban wajib. Bila termakan seluruhnya maka wajib menggantinya
dengan daging yang setara dan mensedekahkannya.
|
9.
|
Harus benar-benar terputus hulqumnya yaitu: Urat saluran nafas.
|
3.
|
Binatang sembelihan harus berupa bahimah atau yang si empat
kaki.
|
10.
|
Harus benar-benar terputus urat murinya atau saluran makanan.
|
4.
|
Binatang yang mau dikorban harus yang sudah cukup umur.
|
11.
|
Harus benar-benar terputus dua urat nadinya atau yang disebut dengan al-Wadjain.
|
5.
|
Alat sembelih harus benda tajam dan berupaya untuk tidak
menyakitinya, seperti: Mematahkan leher atau tulang.
|
12.
|
Binatang korban yang disembelih harus pasti hidup sebelum disembelih.
|
6.
|
Tidak keluar dari waktu sembelih yang disyariatkan.
|
13.
|
Matinya sembelihan korban harus dipastikan matinya mutlak karena
sembelihan bukan ka-
|
7.
|
Tidak menjual atau membuat upah sembelih atau kerja dari binatang korban[33].
|
rena bercampur dengan sebab lain seperti pemingsanan, pijakan atau
lainnya[34].
|
Kedua belas : Cara Membagi Daging Qurban
Qurban
terbagi dua, yaitu: Qurban wajib (nazdar, diwajibkan dan wasiat), kedua: Qurban
sunat. Daging qurban wajib dibagi-agikan seluruh dagignya kepada orang lain dan
tidak boleh dimakan oleh sipengqurban dan oleh keluarganya dan termasuk yang
dibawah tanggungannya[35].
Sementara
untuk daging qurban sunat pembagiannya ada tiga cara:
1. Sebaiknya disedekahkan seluruhnya kepada orang lain,
2. Disunnahkan bagi si pengqurban untuk megambil sedikit dagingnya untuk dimakan oleh pengqurban dan keluarganya, dan sebagusnya (afdhal) tidak menyimpannya di rumah melewati tiga hari tiga malam, walaupun menyimpannya melebihi itu boleh (mubah).
3. Dan untuk mashlahat dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian[36]. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu jiran, teman kaya atau miskin, , 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya[37].
1. Sebaiknya disedekahkan seluruhnya kepada orang lain,
2. Disunnahkan bagi si pengqurban untuk megambil sedikit dagingnya untuk dimakan oleh pengqurban dan keluarganya, dan sebagusnya (afdhal) tidak menyimpannya di rumah melewati tiga hari tiga malam, walaupun menyimpannya melebihi itu boleh (mubah).
3. Dan untuk mashlahat dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian[36]. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu jiran, teman kaya atau miskin, , 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya[37].
Ketiga belas: Hukum memberikan daging Qurban kepada non
muslim[38]
Boleh
memberikan daging qurban sunat yang tidak jatuh hukumnya wajib[39]
seperti: Nadzar, washiat, atau yang diwajibkan kepada non muslim. Imam Malik
memakruhkannya untuk memberikan daging qurban wajib atau sunat kepada yang
beragama Yahudi dan Nashrani[40].
Sementara dalam madzhab Syafi’i penulis tidak menemukan ketegasan dalam masalah
ini, hanya saja dalam nash-nash fiqh Syafi’i hukum daging qurban wajib seperti
nadzar seperti hukum zakat yang tidak boleh makan pengqorban atau diberikan kepada orang kafir. Berarti dapat
kita simpulkan bahwa qurban sunat sama kedudukannya seperti sedekah. Apakah
boleh memberi makan orang kafir? Jawabannya boleh, selama ia tidak menunjukkan
permusuhan dengan Islam seperti yang telah dijelaskan dalam surat al-Mumtahinah
ayat: 7. Wallahu A’lam.
Keempat belas : Hukum Menjual Daging Qurban
Hukum
menjual daging qurban adalah harom sebelum dibagikan. Adapun jika
daging qurban sudah dibagi dan diterima, maka bagi si fakir yang menerima
daging tersebut boleh menjualnya dan juga boleh menyimpannya. Begitu juga
kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau dijadikan upah bagi yang
menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih boleh menerima
kulit serta daging qurban sebagai bagian haknya akan tetapi tidak
boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah[41].
Kelima belas :Berqurban Atas
Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah
meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit[42] (lih.Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765)[43]. Pendapat ini didukung berbagai hadis shaheh[44].
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Keenam belas: Panitia dan kedudukannya
Walaupun di masa Rasulullah
tidak ada, namun dari segi maslahat pembentukan panitia sangat diperlukan pada
masa sekarang. Panitia qurban jelas tidak sama dengan amil zakat, perbedaannya
dengan amil zakat cukup banyak: Amil zakat sudah ada dimasa Nabi SAW, amil
zakat berhak memungut, amil zakat berhak memperoleh seperdelapan dari zakat
yang terkumpul, distrobusi zakat sudah ditentukan pada ashnaf yang delapan.
Sementara panitia qurban tidak memiliki kesamaan itu dengan amil zakat. Maka
panitia hanya sifatnya membantu dan memfasilitasi. Hukum yang berlaku bagi
panitia qurban:
1.
Haram menjual daging qurban yang
diamanahkan kepada panitia[45].
2.
Haram mengambil upah apapun dari
hewan qurban[46],
3.
Haram bagi tukang sembelih mengambil upah apapun dari
hewan qurban,
4.
Panitia qurban dan tukang sembelih
boleh memasak dan memakan daging qurban sewaktu berjalannya penyembelihan,
bukan sebagai upah jerih payah, namun sebagai yang berhak menerima tanpa
berlebihan. Tentu ini sudah menjadi izin
dan kesepakatan awal atau ‘uruf yang berlaku ditempat berqurban antara
pengqurban dan panitia.
5.
Jika pengqurban telah menyerahkan
qurbannya kepada panitia qurban dan sudah mengetahui ketentuan yang disepakati,
baik harga atau upah panitia dari uang pembelian, maka panitia saat itu sudah
mewakili pengqurban dan mempercayakan pendistrobusian sesuai dengan mashlahat,
agar terjadi pembagian yang adil,
pegqurban seyogiyanya tidak mengatur-atur panitia sesuai kesepakatan awal, jika
tidak sepakat dengan ketentuan panitia, maka lebih baik ia sendiri yang
melakukan.
6.
Panitia dan tukang sembelih boleh
mengambil upah dari lebih uang pembelian atau dari sumber lain, seperti: harga
perorang Rp. 1.500.000,- untuk pembelian qurban, namun pengqurban sepakat untuk
membayar Rp. 1.700.000,-.Uang Rp.200.000,- sebagai kebutuhan penyembelihan.
Jika panitia hanya membeli hewan qurban senilai Rp.1.400.000,- per orang maka
panitia wajib mengembalikan kepada pengqurban Rp.100.000,- dan haram ditashorrufkan
oleh panitia tanpa seizin pengqurban.
Ketujuh belas: Hukum berqurban bagi yang belum
‘aqiqah
Hukum berqurban bagi yang
belum ‘aqiqah adalah sah dan tidak mengurangi pahala berqurbannnya
sedikitpun. Dengan alasan: Tidak ada ibadah yang saling membatalkan, hukum
qurban dan ‘aqiqah sama-saa sunat, kedua ibadah ini dapat dikerjakan
pada waktu yang berbeda dan hak akikah adalah hak orang tua bukan hak anak.
Kedelapan belas: Hukum menyatukan ‘aqiqah dengan
qurban (niat qurban sekaligus niat aqiqah)
Menyatukan dua
niat dalam satu ibadah, dalam masalah ‘aqiqah dan qurban tidak
menghasilkan dua-duanya, akan tetapi akan menghasilkan salah satu dari
keduanya, mana niat pertama maka itulah yang diperoleh.Karena masing-masing
ibadah ini berdiri sendiri dan waktu pelaksanaan kedua ibadah ini masng-masing
memiliki waktu muwassa’ah (lapang) bukan mudhoyyaqoh (sempit).
Sehingga tidak perlu kepada kaedah: Apabil urusan telah terasa sempit maka
urusan akan lebih mudah (إذا ضاق الأمر اتسع) (maqshudah
lidzatiha). Sebagian ulama membolehkan menyatukan dua ibadah dalam satu
niat dengan tiga syarat dan ketiga syarat yaitu: Pertama: Ibadah yang
digabungkan dengan satu ibadah harus berada dibawah sandarannya atau dengan
istilah (تحت الاندراج المعمول به) seperti shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunat wuduk. Yang
lebih besar meliputi yang lebih kecil (الأكبر يشمل
الاصغر) dalam hal ini bisa
terjadi diantara pada wuduk dan mandi wajib (jinabah) contohnya: Apabila
ada yang ingin berwuduk tapi ia salah dalam berniat degan niat jinabah
maka dalam hal ini sah wuduknya, tapi sebaliknya tidak sah mandi jinabah karena
salah niat dengan niat wuduk[47].
Ketiga: Yang wajib meliputi yang sunat tidak sebaliknya contohnya: Apabila
ada seorang yang berniat puasa untuk qodo’ dengan puasa sunat pada bulan syawal
maka dapat dua pahala ya’ni puasa qodho’ dan pahala puasa wajib qodho’.
Kedua puluh: Menyatukan qurban
dengan aqiqah dalam satu lembu.
Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan menyatukan
qurban dengan aqiqah, qurban sunat dengan nadzar dalam satu lembu. Umapamanya 1
bagian qurban nadzar, 3 bagian qurban sunat, 3 bagian aqiqah sunat dan 1 bagian
aqiqah wajib, apakah hukumnya boleh?. Jawabannya menurut nash madzhab Syafi’I
boleh dan itu yang ditarjih para ulama dari kalangan mutakhkhir Hanabilah dari
ulama-ulama Saudiah[48].
Sudah barang tentu bahwa memisahkan satu niat dalam satu ekor untuk aqiqah bagi
bayi perempuann dan dua ekor bagi anak laki-laki, atau satu ekor lembu bagi
tujuh orang seluruhnya niat qurban[49].
Dan wajib bagi setiap yang melakukan aqiqahnya dengan niat aqiqah, begitu juga
yang niat qurban sendiri-sendiri, baik nazdar mupun yang sunat. Dan
mewakilkannya kepada tukang sembelih jika bukann dia sendiri yang
menyembelihnya. Tidak boleh menyatukan niat qurban dengan aqiqah dalam satu
kambing/ biri-biri atau dalam satu bagian dalam satu lembu. Namun boleh
menyatukan aqiqah dengan walimah atau qurban dengan walimah dalam satu kambing atau
biri-biri dalam sebagian fatwa ulama[50].
Namun dalam hal ini tetap lebih afdhol dipisah-pisahkan.
Kesimpulan
Dari pemaparan yang kita sampaikan,
kita dapat menyimpulkan bahwa untuk memperoleh atau mengabadikan hakikat qurban,
agar tidak berubah menjadi sedekah biasa sangat dibutuhkan kehati-hatian,
terutama para panitia saat ini sebagian yang sewenang-wenang menjual kulit
qurban atau menjadikannya sebagai upah sembelih, dengan alasan untuk digunakan
keperluan panitia, apabila terjadi hal seperti ini, panitia sudah melakukan dua
kesalahan yaitu: Pertama: Kesalahan pada penjualan jika tidak seizin pemilik
qurban maka dia sudah mencuri kulit dan menjualnya kepada orang lain. Kesalahan
kedua: Bila itu seizin pengqurban, pihak panitia dan pihak pengqurban telah
mengubah esensi qurban menjadi sedekah biasa, sama seperti kita bersedekah
memberi makan orang lain. Alasan mubazzir dengan membagi-bagi kulit dengan
memotong-motong kecil kepada setiap penerima daging qurban, karena sipenerima
selalu membuang atau tidak memakannya, tidak dapat dijadikan alasan untuk
menjual atau menjadikannya sebagai alasan menjualnya dengan dua sebab:
- Pertama : Jika sudah diserahkan kepada penerima maka dia yang berhak untuk mentashorrufkannya, dan bial ia membuang maka ia yang berdosa karena mubadzzir.
- Kedua : Masalah hukum qurban termasuk bagian dari hukum ittiba’i bukan ibtida’i (yang dapat dibuat-buat sesuka hati atau menlogikakannya).
Solusi yang tepat agar tidak terjebak pada menjual kulit atau bagian lain dari qurban ada dua solusi:
- Pertama : Melakukan kesepakatan dengan pengqurban dalam pembiayaan panitia diambil dari uang yang deserahkan sebelum melakukan pembelian hewan qurbban.
- Kedua : Panitia yang bertugas mencari orang yang mampu mengolah kulit diuamakan dari orang miskin atau dari kalangan pengolah disekitarnya atau sesiapa saja yang mampu memanfaatkannya dan lebih baik diberikan saja kepada tukang sembelih bukan sebagai upah, tapi sebagai hadiyah yang berhak menerima[51], yang menerima boleh memakannya atau mengolahnya kemudian menjualnya kepada orang lain. Karena hukum qurban sama dengan hukum zakkat, apabila benda zakat sudah sampai ketangan sipenerima maka ia boleh memakannya, memanfaatkannya atau menjualnya.
Wallahu
A’lam Bi al-Shwwab
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Umm, Imam al-Syafi’i, Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
Bairut, 2009
2. Al-Mughni, Imam
Ahmad Bin Qudaamah al-Maqdasi, Maktabat al-Riyadh al- Hadistah-Riyadh,
tanpa tahun terbit.
3. Roudhotuthalibin wa Umdatul Muftiin, Imam Muhyiddin Yahya
Bin Abi Zakaria Syarofuddin Annawawi, Daar al-Fikr, Bairut, 1432H/2010M.
4. Al-Fiqh al-Muyassar Fi al-Dhou al-Kitab Walsunnah,
Nukhbat Minal Ulama, Daar al-Ilmiyyah, Kairo: 1432Hl2011M.
5. Tahdzib fi Syarh Al-Ghoyat Wattaqrib al-Musyhur bi al-Matn
Abi Syuja’, Prof. Dr. Mushthafa Deeb al-Bugha, Daar Ibnu Katsir Damascus,
1992.
6. Fiqh al-Isami wa-Adillatuh, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili,
3/633, Daar al-Fikr Damascus 1409 H/1989M.
7. Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam al-Syafi’I, Prof.
Dr. Mushthafa al-Buhga, Mushthafa al-Khin dan Ali al-Syarbaji, Damascus Daar
al-Qolam 1413H/1992.
8. Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq, Daar al-Fikr Bairut
1403H/1983.
9. Mausu’at al-Ahkam wal-Fatawa al-Syar’iyyah , Daar al-Yhodid
al-Jadid, Ashhab al-Fadhilah: Abdul Aziz Bin Baz DKK, Egypt Al-Manshurah
1428H/2007M.
10. Al-asybah wa-Annadzair Fi al-Furu’, Imam Jalaluddin
Abdurrahman al-Suyuthi al-Syafi’I, Al-Haramain tanpa tanggal terbit.
11. Kifayat al-Akhyar Fi Halli Ghoyat al-Ikhtishor, Imam
Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini al-Dimasyqi al-Syafi’I, Al-Haramain, 1416H/2005M.
12. Dan lain-lain.
[1]
Disampaikan pada acara Pembinaan Kemasyarakatan se Kab. Asahan Aula MUI
Kab.Asahan Sabtu&Ahad 4-5 Sept 2016
[2]
Semua ibadah kepada Allah Ta’ala mrupakan pendekatan kepada-NYA, namun macaman ibadah itu
berbeda-beda cara. Dengan cara menyembelih binatang ternak pada waktu tertentu,
dengan syarat tertentu dan dengan cara tertentu sudah ada dalilnya, ulama telah
meletakkan kaedah:” TIDAK BOLEH BERIJTIHAD DIHADAPAN DALIL YANG SHOREH TANPA
PERLU ADANYA PENJEASAN LAIN PADA NASH TERSEBUT”. Mengatakan lebih baik qurban
degan dikonversi satu bentuk pengingkaran kepada dalil dan upaya penghapusan
atau pengingkaran hukum yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-NYA. Dapat dikategorikan pemahaman istilah
“Konversi” pada bab qurban adalah hembusann pemikiran:” LIBERALIS, SEKULARIS,
bahkan EKSISTENSONIALIS RASIONALIS”.
[3] Q.S.
Al-Katsar ;2. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾(. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah)
[4]
Q.S. Al-Hajj:36. وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن
شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا
صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٣٦﴾ (036. Dan telah Kami jadikan untuk kamu
unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang
banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya
dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati),
maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami
telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.)
[5] Fiqhul
Wajiz
[6]
Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan
dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan
syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan
dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum
Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan
Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah
hukum.
[7]
Imam Abu Hanifah berpendapat berqurban dengan cara sembelih hukumnya wajib.
Didalam metode penetapan Fatwa yang ditetapkan oleh MUI Pusat ada tiga kategori
yaitu: Menetepakann Fatwa sesuai dengan
Ijma’, jika tidak didapati Ijma’ maka difatwakan pendapat mayoritas ulama
mujtahid dan jika pendapat ulama sebanding maka digunakan metoode tarjih. Dalam
masalah hukum berqurban ditetapkan
hukumnya sebagai ‘Sunnah Muakkad”.
[8] Lihat
Quranul Karim Surat Alhaj(22) Ayat: 28 dan 35 – 37. Attakatsur (102) Ayat: 3.
[9] Fiqh
al-Islami wa –Adillatuh,3?602.
[10] اركان النذر ثلاثة: الناذر، والمنذور والصيغة، فلا يصح النذر
الا بصيغة (روضة الطالبين:3/21)
[11] ثم النذر قسمان: أحدها نذر التبرر وهو نوعان: أحدهما: نذر
المجازالا وهو أن يلزم قربة في مقابلة حدوث النعمة أو اندفاع البلية....النوع
الثاني: أن يلتزم ابتداء من غير تعليق على شيء فيقول: لله علي أن أصلي...القسم
الثاني: نذر اللجاج والغضب، وهو أن يمنع نفسه من فعل، أو يحثها بتعليق التزام قربة
الفعل أو بالترك، يقال فيه :يمين اللجاج والغضب ويمين الغلق ونر الغلق مثل: ان
كلمت فلانا..... فغن علي صوم شر......... فيختار بين الزام او كفارة وهو تصحيح
النووي بين الأقوال. (روضة الطالبين:3/21).
[12]
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Roudhatutthalibin wa Umdatul Muftiin, Imam
Muhyiddin Yahya Bin Syraf Abi Zakariya Annawawi wafat: 676 H, 3/21:
" لو عقب النذر بمشيئة الله فقال لله علي كذا إن شاء الله
تعالى لم يلزمه شئء"
[13] عَنِ
البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ
المُسْلِمِينَ (رواه البخارى : 5545
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Barangsiapa menyembelih hewan kurban
setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai
dengan sunnah kaum muslimin.”
(HR. Bukhari no. 5545)
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ،
قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَوَّلَ مَا
نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ
فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي
شَيْءٍ (رواه البخارى : 965 (
Dari
Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda: “Sesungguhnya hal
pertama yang kita mulai pada hari ini adalah kita melaksanakan shalat (Idul
Adha), kemudian kita pulang dan menyembelih. Barangsiapa melakukan hal itu
niscaya ia telah sesuai dengan as-sunnah. Adapun barangsiapa menyembelih hewan
sebelum shalat Idul Adha, maka sembelihannya tersebut adalah daging yang ia
berikan untuk keluarganya, bukan termasuk daging hewan kurban (untuk
mendekatkan diri kepada Allah) sama sekali.”
(HR. Bukhari no. 965)
[14] Lihat Quranul Karim Surat Alhaj(22) Ayat: 28.
[15] شروط مشروعية الأضحية: 1. الإسلام فلا
يخاطب بها غير المسلم، 2. البلوغ والعقل: فمن لم يكن بالغا عاقلا فلا يكلف بها، 3.
الإستطاعة، وتتحقق بأن يملك قيمة الأضحية زائدة عن نفقته ونفقة من تلزمه نفقته،
خلال يوم العيد وأيام التشريق. (كتاب الفقه الميسرة في ضوء الكتاب والسنة – اعداد
نخبة من العلماء : 192 ، الدار العالمية أمام جامعة الأزهر 1432 ÷ / 201 م)
[16] Dalam
nash madzhab Syafi’I membolehkan sembelihan orang yang mabuk atau yang gila
kumat-kumatan: : إذا توفرت هذه الشروط الثلاثة حلت ذ بيحته من
غير فرق بين أن يكون رجلا أو امرأة كبيرا أو صغيرا بل لافرق بين المميو وغيره،
والسكران والمجنون وغيرهما، مادامت طاقة الذبح موجودة وما دام القصد متوفرا في الذبح ولو في الجملة. ( الفقه
المنهجي : 1/ 45).
[17] روى أحمد (6/368) والطبراني أن رسول الله قال:(ضحوا بالجذع من
الضأن فإنه جائز). الجامع الصغير:5210). الجذع: ماأتمت سنة وطعنت في الثانية. انظر
: التهذيب في أدلة متن الغاية والتقريب: ص: 243).
[18] عَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا
تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا
جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyembelih
kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah
jadza’ah dari domba’.” (HR
Muslim).
Ulama menjelaskan makna musinnah itu pada unta, sapi
dan kambing. Usia minimal unta adalah lima tahun masuk tahun keenam. Sapi dua
tahun masuk tahun ketiga. Kambing satu
tahun masuk tahun kedua.Dari hadits tersebut pula, dibolehkan menyembelih domba
yang usianya telah mencapai enam bulan. Sedangkan kambing jenis lain serta sapi
dan unta harus memenuhi syarat tersebut.Hadis lain yang menguatkan tidak
bolehnya menyembelih kambing (bukan domba), adalah kisah seorang sahabat yang ingin
berkurban dengan sembelihan yang usianya di bawah ketentuan tersebut. Ia tidak
memiliki lainnya kecuali itu saja. Maka Nabi saw bersabda kepadanya, “Berkurbanlah dengan kambing usia belum genap satu tahun, namun
tidak boleh bagi seorang pun setelah dirimu.” (HR
Al-Bukhari)
[19] Lihat
Roudhotutthalibin, 2/ 463- 465, Imam Nawawi, daar al-Fikr birut 1432 H/2010M.
[20] وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: -
"أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ
عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ
ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي" ( رَوَاهُ اَلْخَمْسَة.
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان (
Dari
Al Bara' bin 'Azib radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, "Ada empat cacat yang tidak
dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya,
(2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya,
(4) sangat kurus sampai-sampai seolah tidak berdaging dan bersum-sum.”
( Dikeluarkan oleh yang lima
(empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh
Tirmidzi dan Ibnu Hibban )
[21]
Bersumber dari Ali R.A: “أمرنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم أن لا نضحي بمقابلة، ولا مدابرة، ولا شرقاء، ولا خرقاء”
“ Rasulullah SAW melarang kami agar tidak berqurban
dengan kupingnya yang terkoyak kesamping, dan tidak terkoyak kebelakang , atau
kedepan, atau yang terputus telinganya”. (H.R. Al-Khomsah dan dishohehkan
Tirmidzy).
[22] Q.S.
attaubah; 108
[23] عن أنس رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم قال:" باسم
الله والله اكبر" رواه مسلم (1966).
[24] Attadzhib Fi Adillati
Matnil Ghoyat Wattaqreeb hal: 246, Dr. Mushthafa Deeb Al-Bugha, Daar Ibnu Katsir, Damascus: 1412H/1992M.
[25] Attadzhib Fi Adillati Matnil Ghoyat Wattaqreeb hal:
246, Dr. Mushthafa Deeb Al-Bugha, Daar Ibnu Katsir, Damascus: 1412H/1992M.
[26]قال الشافعي: وإذا سمى الله عزوجل على النسيكة
أجزأ عنه. وإن قال: اللهم تقبل عني أو تقبل عن فلان الذي أمره
بذبحه فلا بأس. (ص: 407/ 2).
رواه مسلم (1967) أنه صلى الله عليه ولم ضحى بكبش، وقال عند
ذبحه: باسم الله، اللهم تقبل من محمد ، وآل محمد ومن أمة محمد).
[27] عن أبي أيوب رضي الله عنه قال: " كان الرجل في عهد رسول
الله صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته، فياكلون ويطعمون".
رواه ابن ماجة (3147) والترمذي وصححه (1505) وصححه الألباني.
[28]
Sebagaimana dalam sunnah untuk satu ekor
kambing/domba untuk 1 orang, seekor sapi untuk 7 orang. Namun ada niat baik
dari satu perusahaan atau perkumpulan ingin berqurban dengan cara ramai-ramai
lebih dari 7 bagian, agar tetap
memperoleh pahala qurban tidak menjadi sedekah biasa ada dua solusi
untuk bab ini yaitu: Pertama: Membuat qurban itu atas nama ketua dan atas nama
ummat Muhammad SAW. Kedua: Dengan cara bergilir
atau dengan qur’ah (mengundi). Kedua cara ini masih ada mi’yar
syar’i-nya (koridor syariat). Wallahu A’lam. Penjelasannya disebutkan
dalam kitab Roudhatutthalibin juz 2 hal: 495 nashnya sbb:
وفي
"الحاوي" أنه يختار للإمام أن يضحي للمسلمين كافة من بيت المال ببدنة
ينحرها في المصلى، فإ ن لم يتيسر فشاة وانه
يتولى النحر بنفسه، وإن ضحى من ماله ضحى حيث شاء "(روضة الطالبين: 2/
493)
[29] Fiqh
al-Muyassar Fi Dhou’ al-Kitab Wassunnah, hal;195. إذا دخلت عشر من ذي الحجة، حرم
على من أراد أن يضحي أن يأحذ من شعره، أو أظفاره شيا، حتى يضحي. لحديث أم سلمة رضي
الله عنها مرفوعا: ( إذا دخل العشر وعنده أضحية يريد أن يضحي، فلا يأخذن شعرا، ولا
يقلمن ظفرا) وفي رواية:(فلا يمسن من شعره وبشره شيئا). (أخرجه مسلم)
[30] وفي روضة الطالبين: 2/477 : من أراد التضحية فدخل عليه عشر ذي
الحجة كره أن يحلق شعره أو بقلم ظفره حتى يضحي، وفيه وجه: أنه يحرم حكاه صاحب
"الرقم" وهو شاذ.....
[31] الأفضل أن يضحي في بيته بمشهد أهله (روضة الطالبين: 2/ 493).
[32] مسألة أكل الهدي
الواجب: قال: الهدي هديان: واجب وتطوع فكل ما كان أصله واجبا على الإنسان ليس له حسبه،
فلا يأكل منه شيئا، وذلك مثل هدي الفساد والطيب وجزاء الصيد والنذور والمتعة، فإن
أكل من الهدي الواجب تصدق بقيمة ما أكل منه. (الأم : ص: 407/2). : وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ﴿٣٦﴾
وهذه الآية في البدن التي يتطوع
بها أصحابها لا التي وجبت عليهم قبل أن يتطوعوا بها، وإنما أكل النبي من هديه أن
كان تطوعا فأما ماوجب من الهدي كله فليس لصاحبه أن يأكل منه شيئا كما لايكون له أن
يأكل من زكاته ولا من كفارته شيئا. (الأم:8/ 602)
[33] Fiqh
al-Isami wa-Adillatuh, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, 3/633, Daar al-Fikr
Damascus 1409 H/1989M.
[34] الآلات المثقلات، إذا تأثرت بثقلها دقا أو خنقا لم يحل
الحيوان، وكذا المحدد إذا قتل بثقله بل لابد من الجرح ..... إذا مات الصيد بشيئين
محرم ومبيح بأن مات بسهم وبندقية أصاباه من رام أو رامين .... فيموت منهمما أو
يرمي الى صيد سهما فيقع على طرف سطح ثم يسقط منه .... أويقع على ماء ..... فكل هذا
حرام. (روضة الطالبين:2/ 505)
[35] Ini pendapat Imam Abu Hanifiyah, Syafi,iyah, mayoritas
Hanabilah dan pendapat yang zahir dari Ahmad Al-ajmu’: 8/419, Al-Mughmi: 6/483.
Demikian juga daging qurban yang hukumnya menjadi wajib tidak diberikan kepada
non muslim. Daging qurban sunat sebagian ulama memboehkan untuk diberikan
kepada non muslim selain kafir harbi atau karena harapan ia masuk Islam atau
menjinakkan hatinya. Alasannya Q.S. Mumtahanah: 7- Al-Mughni: 9/450, Fatawa
al-Lajjanah al-Daimah: 11/424, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 18/48
قال الشافعي: وأحب لمن أهدى
نافلة أن يطعم البائس الفقير لقوله تعالى: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ﴿٢٨﴾ وقوله: وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ.
القانع هو السائل، والمعتر الزائر والمار بلا وقت فإذا أطعم من هؤلاء واحدا او
اكثر فهو من المطعمين، فأحب إلي ما أكثر أن يطعم ثلثا ويهدي ثلثا ويدخر ثلثا،
ويهبطه حيث شاء ، والضحايا من هذا السبيل والله أعلم. وأحب إن كانت في الناس مخمصة
أن لايدخر أحد من أضحيته ولا من هديه أكثر من ثلاث لأمر النبي من أجل الدافة فان ترك
رجل أن يطعم من هدي تطوع أو أضحية فقد أساء. (الأم: 8/ 602)
وجاء في كتاب الفقه الميسر في
ضوء الكتاب والسنة – اعداد نخبة من العلماء صفحة 195 : ويستحب أن يجعلها أثلاثا :
ثلث يطعه أهل بيته، وثلث يطعمه فقراء جيرانه، ويهدي الثلث، لحديث ابن عباس رضي
الله عنهما في صفة أضحية النبي قال: (ويطعم أهل بيته الثلث، ويطعم فقراء جيرانه
الثلث، يتصدق على السؤال بالثلث) . أخرجه الحافظ أبو موسى الاصفهاني في الوظائف
وحسنه ولأنه قول ابن مسعود وابن عمر ولم نعرف لهما مخالفا فيالصحابة فكان اجماعا
(انظر المغني 8/632- 633)
والاستحباب أن يأكل ثلث أضحيته
ويهدي ثلثها ويتصدق بثبثها ولو أكل أكثر جاز. (المغني: 8/632 عبد الله أحمد بن
قدامة المقدسي – مكتبة الرياض الحديثة – الرياض)
[37] Pembagian daging qurban pada dasarnya lebih fleksbel
tidak ada ketentuan baku jikka pengerjaan sembelihan dilakukan oleh si
pengqurban sendiri, namun untuk maslahat jika sudah diserahkann kepada panitia
maka sebaiknya diserahkan kepada panitia untuk pembagiannya, tanpa dicampuri
oleh pengqurban, sebab penyerahan kepada panitia bentuk sebagai penyerahan yang
sudah dippercaya dann disepakati.
حكم اكل وادخار لحوم الأضاحي
وعدم جواز اكل الأضاحي الواجبة
عن الشافعي عن مالك عن جابر بن عبد الله أن رسول الله نهى عن أكل لحوم الضحايا بعد ثلاث
ثم قال بعد ذلك: كلوا وتزودوا وادخروا".
عن عبد الله بن أبي بكر : قالوا
يا رسول الله ، نهيت عن أكل لحوم الضحايا بعد ثلاث فقال رسول الله : "إنما
نهيتكم من أجل الدافة التي دفت حضرة الأضحى فكلوا وتصدقوا والدخروا" رواه
الشافعي ومالك و مسلم والبيهقي والنسائي. قال الشافعي: فيشبه أن يكون إنما نهى
رسول الله عن امساك لحوم الأضاحي بعد ثلاث إذا كانت الدافة على معنى الإختيار لا
على معنى الفرض وإنما يشبه الاختيار لقول الله عزوجل: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا
لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ﴿٣٦﴾
وهذه الآية في البدن التي يتطوع
بها أصحابها لا التي وجبت عليهم قبل أن يتطوعوا بها، وإنما أكل النبي من هديه أن
كان تطوعا فأما ماوجب من الهدي كله فليس لصاحبه أن يأكل منه شيئا كما لايكون له أن
يأكل من زكاته ولا من كفارته شيئا. (الأم:8/ 602)
ويجوز أن يطعم منها كافرا وبهذا
قال الحسن وأبو ثور وأصحاب الرأ، وقال مالك غيرهم أحب إلينا وكره مالك واليلث
إعطاء النصراني جلد الأضحية.
ولنا: أنه طعام له أكله فجاز
إطعامه للذمي والأسير كسائر صدقة التطوع، فأما الصدقة الواجبة منها فلا يجوز دفعها
الى الكافر لأنها صدقة واجبة فأشبهت الذكاة وكفارة اليمين. (المغني : 8/ 634).
[39] وأجاز الحنابلة اهداء الكافر من أضحية التطوع أما الواجب فلا
يجوز اهداء الكافر منها شيئا (الفقه الإسلامي:3/633)
[40] ويكره عند المالكية أن يطعم منها يهودية أو نصرانيا (الفقه
الإسلامي وأدلته: 3/ 633).
[41] عن
علي بن أبي طالب:" أمرني رسول الله أن أقوم على
بدنةة وان أتصدق بلحومها وجلودها وأجلتها وأن لالا أعطي الجازر منها شيئا ، وقال نحن نعطيه من
عندنا" متفق عليه. وعن أبي سعيد الخدري أن قتادة بن النعمان أخبره أن النبي
قام فقام إني كنت أمرتكم أن لا تأكلوا لحوم الأضاحي فوق ثلاثة أيام ليسعكم، وإني
أحله لكم، فكلوا ماشئتم ولاتبعوا لحوم الهدي والأضاحي وكلوا وتصدقوا واستمتعوا
بجلودها ولا تبيعوها وإن أطعمتم من لحومها شيئا فكلوا أنى شئتم". رواه أحمد
[42] Dari
berbagai dalil yang ada saya lebih cendrung kepada pendapat yang membolehkan
berqurban dari orang yang sudah wafat,
walaupun Madzhab Syafi’I tidak membolehkan berqurban dari orang yang sudah
wafat kecuali bila ada wasiat atau nadzarnya. Sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Fiqh Al-Islami dan pada kitab-kitab Fiqh Syafi’iyah lainnya seperti pada
kitab al-Umm. قال الشافعية : لايضحي عن الغير بغير
إذنه، ولا عن ميت إنلم يوص بها لقوله تعالى:"وان ليس للإنسان إلا ماسعى"
فإن أوصى بها جاز وبإيصائه تقع له، ويجب التصدق بجميعا على الفقراء. (الفقه
الإسلامي وأدلته:3/ 634).
[43]
Mengkongsikan orang lain dalam niat qurbannya boleh menurut sebagian ulama
sebagaimana dalam nash berikut ini: قال الشيخ إبراهيم
المروزي وصاحب العدة: لو اشرك غيره في ثواب أضحيته وذبح عن نفسه جاز، قال: وعليه
يحمل الحديث ( اللهم تقبل من محمد وآل محمد .....) (روضة الطالبين: 2/469).
[44] عن عائشة قالت: أن رجلا قال للنبي إن أمي افتلتت نفسها وأراها
لو تكلمت تصدقت افأتصدق عنها؟ قال نعم تصدق عنها" (رواه البخاري) وفي رواية
مالك : إن سعدا قال: يارسول الله اتنفع امي ان تصدقت عنها وقد ماتت؟ قال: نعم،
قال: فما تأمرني؟ قال: اسق الماء". وفي رواية: عن سعد بن عبادة قال قلت:
يارسول الله، ان امي ماتت أفأتصق عنها قال: نعم، قلن: أي؟ فقال:"اعتق عن
أمك" وفي رواية أبي داود: عن ابن
عباس قال: أن رجلا قال يارسول الله ان امي توفيت افينفعها ان تصدقت عنها فقال:
نعم".
[45] عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله لى الله عليه
وسلم:" من باع جلد أضحيته فلا أضحية له". رواه البيهقي رقم (9/294).
[46] ويحرم بيع جلد الأضحية وشحمها ولحمها وأطرافها، ورأسها وصوفها،
وشعرها، ووبرها ولبنها الذي يحلبه منها بعد ذبحها واجبة كانت او تطوعا
"(الفقه لإسلامي وأدلته: 3/632).
[47]Al-Asybah
Wa al-Nazhair Fi al-Furu’, Imam Jalaluddin Abdurrahman Bi Abi Bakr al-Suyuthi
al-Syafi’I (911) hal: 10, Al-Haramain Surabaya 1429H
[48] فإن البقرة إذا استوفت شروط الأضحية جاز أن يعق بها عمن يعق
عنهم سبع شياه ، كما هو مذهب الشافعية قياسا على الهدي والأضحية، وهو الذي نرجحه،
وأقوال اهل العلم في الفتوى رقم:
15288.ولا مانع من اشراك النذر مع العقيقة في البقرة او البدنة الواحدة المجزئة في
الأضحية بحيث يكون سبعها مقابل شاة واحدة، فتوى الرقم: 63296، ولذلك فلو ذثح
السائل الكريم بقرة بنية ان يكون بعضها العقيقة والاخر للنذر فلا بأس. وان ذبح
العقيقة استقلالا والنذر استقلالا فلا شك أن لك أفضل. الرقم فتوى: 102745.
[49] رواه ابن ماجة( 3163) عن عائشة رضي الله عنها قالت: أمرنا رسول
الله أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة، وعند أبي داود (2834) والترمذي
(1513) "عن الغلام شاتان متكافئتان".
[50] قال العلامة الخرشي في شرحه المختصر: ولو أقام بأخحيته سنة
عرسه أجزأه، ولو عق (وأضحى) بها عن ولده لم تجزه، ولعل الفرق أن الوليمة لما لم
يشترط فيما يشترط في الأضحية بخلاف الأخحية فيشترط مايشترط في الأضحية، فضعف
الجانب الأضحية مع العقيقة. والله اعلم.
[51] فإن أعطي الجزار شيئا من الأضحية لفقره، أو على سبيل الهدية
فلا بأس لأنه مستحق للأخذ فهو كغيره، بل هو أولى لأنه باشرها، وتاقت نفسه اليها.
(الفقه الإسلامي وأدلته الدكتور وهبة الوحيلي. 3/ 632 دار الفكر ، دمشق، 1409 ه/
1989 م )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar