Senin, 14 Agustus 2017

FIQH QURBAN, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA

FIQH QURBAN, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA[1]

Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung. MA

Mukaddimah

            Belakangan ini beredar himbauan dari kalangan tertentu untuk menkonversi sembelihan binatang kurban kepada bentuk yang berbeda dengan apa yang di contohkan oleh Rasulullah SAW. Menurut mereka lebih baik kambing atau lembu di berikan langsung hidu-hidup kepada yang butuh, untuk dipelihara atau diternakkan, karena menurut penilaian mereka itu lebih bernilai ekonmis[2]. Hukum berkurban dengan menyembelih hewan sesui ketentuan memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, diantaranya:
  1. Berkurban memiliki dasar hukum tersendiri[3], yang tidak dimiliki oleh sedekah biasa.
  2. Berkurban lebih cendrung mengangkat  syia’r Islam yang tidak ada pada sedekah biasa[4], jika seandainya umat Islam diajak untuk mensedekahkan hewan kurban hidup-hidup, karena cara itu lebih afdhol secara mutllak, maka ajakan itu memiliki dua kesalahan besar yaitu: Pertama: Pengingkaran terhadap dalil dan dilalah Qoth’iy dan sudah berupaya mengubah makna pirman Allah: “Maka dirikanlah shalat dan berkurbanlah(sembelihlah)” kepada:”Maka dirikanlah sholat dan bersedekahlah” , Kedua: Adanya upaya pengkaburan terhadap syi’ar-syi’ar Islam, yang mana syi’ar berkurban merupakan media yang sangat tepat untuk disaksikan orang banyak, baik muslim maupun kafir agar dakwah dapat sampai kepada seluruh penjuru dunia, berbeda dengan bersedekah biasa yang lebih dituntut dilakukan sembunyi-sembunyi. Upaya mengubah esensi bekurban kepada sedekah biasa bukan hanya kesesatan berpikir tapi sudah merupakan kekafiran  dalam berpikir. Didalam ushul fiqh pengingkaran terhadap dalil qoth’iy konsekwensinya dapat mengantarkan seseorang kepada kekafiran[5].
  3. Melakukan berqurban memiliki syi’ar yang  berkaitan dengan shalat ‘Idul Adha, memiliki keterkaitan dengan hari raya besar umat Islam bila syi’ar korban ditiadakan maka dengan sendirinnya hilanglah aura dan wibawa Islam, berbeda dengan bersedekah  yang tidak harus diperlihatkan atau dipertontononkan dikhalayak ramai.
  4.  Secara sosial berkorban lebih luas ekses sosialnya, berkorban mimiliki hubungan dengan penerima daging qurban itu sendiri, memiliki syi’ar, memiliki kebersamaan  untuk menunjukkan kekuatan Islam, memiliki jangkauan yang lebih luas, tidak hanya diberikan kepada orang miskin seperti zakat atau sedekah, namun daging korban boleh diberi kepada keluarga, jiran tetangga, musafir, sahabat, kaya, pejabat atau orang biasa.

            Oleh karena itu perlu beberapa penjelasan tentang hukum berqurban:Pengertian Qurban, Hukum menyembelih qurban, kapan hukmnya wajib berqurban?, waktu bequrban, Syarat Orang Yang Berqurban, Umur hewan qurban, Sifat-sifat Binatang ternak yang Tidak Boleh Dijadikan Qurban, Sunat-sunat  dalam Menyembelih Qurban, Cara Membagi  Daging Qurban, Hukum Menjual Daging Qurban, Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?, Panitia dan kedudukannya, Hukum berqurban bagi yang belum ‘aqiqah, Hukum menyatukan ‘aqiqah dengan qurban.


Pertama : Pengertian Qurban


Kata “Qurban” berasal dari bahasa Arab:  (قرب – يقرب - قربانا) artinya: Dekat atau pendekatan. Kurban juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
 Kata “Udhiyah” berasal dari  bahasa Arab " "الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha).
Maknanya أَضْحَى (adh-ha) yang artinya terang, awal siang, setelah terbitnya matahari dan akar kata dasarnya "ضحى” dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha  di saat  terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
            Sedangkan   الأضحية (al-udhiyah / qurban) menurut syariat[1] adalah: “ sesuatu yang disembelih dari binatang ternak, berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha,  pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah selesai shalat ‘Idul Adha,  dan pada hari-hari Tasyrik yaitu pada hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ   (رواه الدارقطنى و البيهقى(
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)




[1] Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah hukum.




[1] Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah hukum.
                                          
Kedua : Hukum menyembelih qurban

Hukum menyembelih qurban menurut mayoritas Ulama selain Imam Abu Hanifah[7] adalah sunnah muakkad bagi ummat Islam,  atau sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan oleh yang sanggup. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama yang ditetapkan dalilnya dari Alquranul Karim, Sunnah Nabawiyah dan Ijma’ ulama[8]. Syi’ar berqurban disyariatkan pada tahun ke-2 Hijirah.
                   
Pembagian sunnah ada 2 macam :

  1. Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
  2. Sunnah Kifayah, yaitu :  Disunnahkan dilakukan  oleh seorang kepala keluarga dengan menyembelih 1 ekor atau  2 ekor untuk semua keluarganya dan termasuk yang dibawah tanggungannya dan yang tinggal satu rumah dengannya[9].
 .
Ketiga: Kapan berqurban menjadi wajib

            Pada dasarnya berqurban adalah Sunnah Muakkad, akan tetapi akan berubah menjadi wajib dengan empat sebab[10]:

  1. Dengan bernadzar, seperti : Seseorang berkata : “Aku bernazar akan berqurban pada tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
  2. Dengan mewajibkan atau dengan ilzam atas dirinya seperti ia berkata: Wajibkan bagiku berqurban pada tahun ini.
  3. Dengan mewasiatkan (termasuk dalam kategori ilzam), seperti: Jika aku telah berangkat ketanah suci atau jika aku sehat atau jika aku wafat aku wasiatkan kepadamu untuk berqurban dariku.
  4. Dengan menentukan, maksudnya : Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata : “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut adalah wajib kaena sudah masuk dalam nadzar wajib atau dalam fiqh disebut dengan nadzar ilzami[11].
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan seseorang  : “Aku mau (bercita-cita) berqurban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku jadikan kambing ini kambing qurban.”
Bila hanya menyebut atau mengatakan jika ada rezeki saya akan berqurban tahun ini, sebutan itu masih umum dan jatuh sunnah (bukan wajib)., sebab masih dalam bentuk cita-cita. Bentuk ini sama dengan nadzar dengan sebutan Insya Allah jika Allah berkehendak maka aku bernazdar tahun ini[12].

Keempat : Waktu Berqurban

Waktu menyemblih qurban  itu diperkirakan dimulai dari  : Setelah terbitnya matahari di hari raya  qurban dan setelah selesai 2 roka’at  sholat hari raya idul adha ringan dan 2 khutbah ringan (mulai dari matahari terbit tambah 2 rokaat shalat ‘Idul Adha dan 2 khutbah), maka tibalah waktu untuk menyemblih qurban.  Bagi yang tidak melakukan sholat hari raya ia harus  memperkirakan dengan perkiraan tersebut atau menunggu selesainya  sholat  dan khutbah dari masjid yang ada di daerah tersebut atau sekitarnya[13]. Dan waktu menyembelih qurban berakhir saat terbenamnya matahari di hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah. Apabila sembelihan terjadi diluar waktu yang telah ditetapkan Rasulullah SAW maka tidak termasuk Qurban yang dimakksud dalam Syariat Islam, tapi hanya sebagai sedekah biasa. Demikian juga dengan memberikan binatang ternak hiidup-hidup kepada fakir miskin niat Qurban tidak jatuh sebagai qurban, tapi jatuh sebagai sedekah biasa, karena  sudah menyalahi syarat, kaifiyat, waktu dan qurban tidak hanya di berikan kepada fakir miskin tapi semua lapisan berhak mendapat, baik kaya, miskin, dekat, jauh, kawan dan kita sendiri boleh memakannya jika qurban itu humnya sunnah[14].

Kelima: Syarat Orang Yang Berqurban

  1. Seorang muslim / muslimah, tidak sah qurban dari orang kafir,karena dia tida ahli niat dan ibadah.
  2. Usia baligh (dewassa), tidak sah niat dari anak-anak yang belum dewasa, namun sah dan sunnah anak-anak yang belum dewasa berqurban dengan diniatkan orang tuanya (walinya) dan mengajarinya untuk berniat qurban sebagai bentuk pendidikan.
  3. Berakal tidak sah dari yang gila,  sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut seperti diatas.
  4. Mampu, mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.
       Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka sunnah muakkad baginya untuk melakukan ibadah qurban[15].

Keenam: Syarat-syarat sahnya orang yang menyembelih


  • Pertama: Orang yang menyembelih harus yang beragama Islam atau Ahli kitab.
  • Kedua    : Syarat ahli Kitab yang dimaksud disini adalah ahlu kitab yang belum terkontaminasi ajarannya dengan tahrif (penyelewengan) sesudah dinsakhan.
  • Ketiga  : Dia tidak menyembelih dengan menyebut selain nama Allah, seandainya dia sebutkan sembelihannya untuk sesembahan atau pengagman terhadap selain Allah, maka sembelihannya tidak sah.
Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi maka sahlah sembelihannya, tanpa membedakan antara laki-laki atau perempuan, anak-anak (mumayyiz) atau dewasa[16].

Ketujuh: Umur hewan qurban

  1.  Unta, diperkirakan umurnya 5 – 6 tahun
  2. Sapi, atau kerbau minimal  umurnya 2 tahun ke atas, kecuali terlalu sulit untuk  mendapakannya, maka dipilih yang dibawah umur dua tahun dengan tetap mencari yang lebih tua secara berurut kebawah umur dua tahun dan tidak kurang satu tahun .
  3. Domba atau biri-biri minimal mencapai 1 tahun, kecuali jika kesulitan mendapatkannya maka boleh umurnya yang dibawah 1 tahun seperti ketentuan pada no: 4 berikut[17].
  4. Kambing Jawa/Etawa  dengan bermacam- macam jenisnya, terlebih dahulu dicari minial umurnya 2 tahun, jika sangat kesulitan untuk mendapatkannya maka dicari umur diabawahnya dengan mengurut yang lebih tua sampai minimal 6, 8, 9 bulan, namun tetap memperhatikan apakah gigi seri atas sudah gugur, jika belum gugur maka tidak memadai dijadikan qurban[18].
Kedelapan: Sifat-sifat Binatang yang Tidak Boleh Dijadikan Qurban


  1. Buta sebelah mata dan butanya nampak jelas
  2. Berpenyakitan yang jelas sakitnya, seperti penyakit kurap yang dengan sebab itu kulitnya tidak dapat dimanfaatkan.
  3. Pincang salah satu kakinya, dimaafkan pincang yang ringan dan tidak mengganggu jalannya untuk mencari makan.
  4. Binatang ternak yang kurus kering, seperti tidak ada otaknya atau sumsum pada tulang kosong, tanda-tandanya malas tidak ada keinginan untuk makan tumbuhan.
  5. Ada sebagian dagingnya yang hilang walaupun  sedikit.
  6. Makruh tapi memadai seperti ada sebagian yang kurang dari kelengkapan anggota tubuhnya semenjak lahirnya, tapi tidak mengurangi kadar daging seperti: Tidak punya peler atau hanya satu biji, tidak bertanduk, atau kupingnya kecil, atau kantung susunya sudah mengecil[19]. Namun tetap yang terbaik dan lebih afdhal jika semuanya sempurna[20]. Hewan betina sah dan memadai untuk dijadikan qurban selama memenuhi syarat.
  7. Tidak memadai qurban atau menjadi sedekah biasa jika ada yang kurang dari tubuhnya yang sudah ada semenjak lahir, seperti: Terpotong kupingnya, terputus tanduknya atau kukunya atau luka, namun dimaafkkan jika itu terjadi bukan karena kelalaian atau kurang perhatian[21].

Kesembilan: Sunat-sunat  dalam Menyembelih Qurban

1.      Dalam keadaan suci daripada hadas besar atau kecil[22].
2.      Membaca Basmalah dan takbir[23].
3.      Menghadap qiblat[24].
4.      Membaca shalawat atas Nabi MuhammadS.A.W[25].
5.      Membaca doa dan paling minimal membaca Basmalah[26]:

a.       Contoh-contoh do’a menyembelih: Atas nama diri sendiri:
“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنِّيْ فَتَقَبَّلْهُ ِمنِّيْ
Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dariku dan dari, maka terimalah ia dariku”.
b.      Doa menyembelih untuk diri sendiri dan atas nama keluarga:
“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنِّيْ وَمِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ فَتَقَبَّلْهُ ِمنِّيْ وَمِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ
“ Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dariku dan dari keluargaku, maka terimalah ia dariku dann dari keluargaku”.    
c.       Doa menyembelih untuk orang lain:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم  بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................ فَتَقَبَّلْهُ مِنْهُ/ مِنْهُمْ.
“ Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dari si: ……. Sebut satu persatu nama pengqurban  maka terimalah ia darinya/ dari mereka”.          
c. Doa menyembelih atas nama satu keluarga[27]:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم  بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................ وَأَهْلِ بَيْتِهِ فَتَقَبَّلْهُ مِنْهُمْ.
“Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milik-MU dan untuk-MU dan dari si: ……. Sebut nama pengqurban  maka terimalah ia darinya dan  dari keluarganya dan terimalah dari mereka”.

d. Doa menyembelih untuk satu yayasan atau persatuan atau perusahaan diniatkan atas nama ketua kemudian dari  atas nama umat Muhammad SAW[28]:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم  بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ وَمِنْ................وَمِنْ أُمَّةِ  مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّم َ  فَتَقَبَلهُ مِنْهُ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّم َ

“ Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-MU dan milk-MU dan untuk-MU dan dari si: ……. (Sebut nama kepala persatuan) dan dari ummat Mhammad SAW,  maka terimalah ia darinya dandari umat uhammadSAW”.
6. Sunnah lainnya apabila sudah memutuskan untuk   menyembelih qurban,  hendaknya : Mulai awal bulan Dzulhijah tanggal 1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong / mencabut rambut atau kukunya, seperti  yang disabdakan Nabi SAW :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ  (رواه مسلم(
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”  (H.R. Muslim).

Kesepuluh: Hukum memotong rambut atau kuku atau yang lainnya
bagi yang ingin berqurban setelah masuk satu Dzul Hijjah.

Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama haram memotong rambut atau kuku bagi orang yang ingin berkurban setelah masuk satu Zdul Hijjah sampai dia memotong kurbannya, seperti yang difatwakan dalam kitab al-Fiqhul Muyassar, mengambil zahir hadis diatas[29]. Namun Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan pendapat ini Syaz (aneh) dan beliau memfatwakan hukumnya makruh, tidak sampai haram. Pendapat yang mengatakan makruh lebih masuk akal, karena hukum berqurban pun hukumnya sunnah[30].
 7.  Menyembelih dengan diri sendiri jika memungkinkan. Jika seseorang mampu menyembelih sendiri maka itulah yang lebih afdhal dan disaksikan keluarga, namun jika tidak mampu menyembelih dengan sendiri maka diwakilkan dan sekarang dengan menyerahkannya kepada panitia, dan apabila sudah diserahkan kepada panitia, itu artinya menurut uruf sudah ridho sama ridho dan panitia dituntut bertanggung jawab dan menjaga amanah[31].
8.  Mempertajam kembali pisaunya.
9.  Mempercepat cara penyembelihan.
10. Di depan warga, agar semakin banyak yang mendo’akannya.
11. Untuk qurban yang sunnah (bukan nadzar, atau wajib atau wasiat) disunnahkan bagi yang bukan nadzar atau wajib atau wasiat untuk mengambil bagian  dari daging qurban biarpun hanya sedikit. Dan jika yang berqurban memakan daging qurban yang sudah jatuh hukumnya wajib, maka ia wajib menggantinya dengan bersedekah dengan daging  sebanyak dan setara yang dimakannya[32].
12. Menyaksikan sembelihan qurbannya walaupun orang lain yang menyembelihnya.
13. Tidak memperlihatkan sembelihan atau menajamkan pisau dihadapan binatang sembelihan lain.
               
Kesebelas: Syarat-syarat sahnya dikatakan sembelihan qurban agar tidak menjadi sembelihan biasa:

            Kita dapat menyimpulkan sahnya sembelihan itu dikatakan qurban cukup banyak mencapai 13 syarat yaitu:
1.
Wajib meniatkan korban ketika disembelih atau sebelumnya dan niat mendekatkan diri kepada Allah.
8.
Yang melakukan sembelih harus yang sah sembelihannya.
2.
Wajib mensedekahkan sebagian daging korban sunah dan seluruhnya jika jatuh hukumnya korban wajib. Bila termakan seluruhnya maka wajib menggantinya dengan daging yang setara dan mensedekahkannya.
9.
Harus benar-benar terputus hulqumnya yaitu: Urat saluran nafas.
3.
Binatang sembelihan harus berupa bahimah atau yang si empat kaki.
10.
Harus benar-benar terputus urat murinya atau saluran makanan.
4.
Binatang yang mau dikorban harus yang sudah cukup umur.
11.
Harus benar-benar terputus dua urat nadinya atau yang disebut dengan al-Wadjain.
5.
Alat sembelih harus benda tajam dan berupaya untuk tidak menyakitinya, seperti: Mematahkan leher atau tulang.
12.
Binatang korban yang disembelih harus pasti hidup sebelum disembelih.
6.
Tidak keluar dari waktu sembelih yang disyariatkan.
13.
Matinya sembelihan korban harus dipastikan matinya mutlak karena sembelihan bukan ka-
7.
Tidak menjual atau membuat upah sembelih atau kerja dari binatang korban[33].

rena bercampur dengan sebab lain seperti pemingsanan, pijakan atau lainnya[34].

Kedua belas : Cara Membagi  Daging Qurban

            Qurban terbagi dua, yaitu: Qurban wajib (nazdar, diwajibkan dan wasiat), kedua: Qurban sunat. Daging qurban wajib dibagi-agikan seluruh dagignya kepada orang lain dan tidak boleh dimakan oleh sipengqurban dan oleh keluarganya dan termasuk yang dibawah tanggungannya[35].
            Sementara untuk daging qurban sunat pembagiannya ada tiga cara:
1. Sebaiknya disedekahkan seluruhnya kepada orang lain,
2. Disunnahkan bagi si pengqurban untuk megambil sedikit dagingnya untuk dimakan oleh pengqurban dan keluarganya, dan sebagusnya (afdhal) tidak menyimpannya di rumah melewati tiga hari tiga malam, walaupun menyimpannya melebihi itu boleh (mubah).
3. Dan untuk mashlahat dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian[36]. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu jiran, teman kaya atau miskin,  , 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya[37]

Ketiga belas: Hukum memberikan daging Qurban kepada non muslim[38]

            Boleh memberikan daging qurban sunat yang tidak jatuh hukumnya wajib[39] seperti: Nadzar, washiat, atau yang diwajibkan kepada non muslim. Imam Malik memakruhkannya untuk memberikan daging qurban wajib atau sunat kepada yang beragama Yahudi dan Nashrani[40]. Sementara dalam madzhab Syafi’i penulis tidak menemukan ketegasan dalam masalah ini, hanya saja dalam nash-nash fiqh Syafi’i hukum daging qurban wajib seperti nadzar seperti hukum zakat yang tidak boleh makan pengqorban atau  diberikan kepada orang kafir. Berarti dapat kita simpulkan bahwa qurban sunat sama kedudukannya seperti sedekah. Apakah boleh memberi makan orang kafir? Jawabannya boleh, selama ia tidak menunjukkan permusuhan dengan Islam seperti yang telah dijelaskan dalam surat al-Mumtahinah ayat: 7. Wallahu A’lam.

Keempat belas : Hukum Menjual Daging Qurban
            Hukum menjual daging  qurban adalah harom sebelum dibagikan. Adapun  jika daging qurban sudah dibagi dan diterima, maka bagi si fakir yang menerima daging tersebut boleh menjualnya dan juga boleh menyimpannya.  Begitu juga kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau dijadikan upah bagi yang menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih boleh menerima kulit  serta daging qurban sebagai bagian haknya  akan tetapi tidak boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah[41].

Kelima belas :Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit[42] (lih.Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765)[43].  Pendapat ini didukung berbagai hadis shaheh[44].
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)

Keenam belas: Panitia dan kedudukannya
Walaupun di masa Rasulullah tidak ada, namun dari segi maslahat pembentukan panitia sangat diperlukan pada masa sekarang. Panitia qurban jelas tidak sama dengan amil zakat, perbedaannya dengan amil zakat cukup banyak: Amil zakat sudah ada dimasa Nabi SAW, amil zakat berhak memungut, amil zakat berhak memperoleh seperdelapan dari zakat yang terkumpul, distrobusi zakat sudah ditentukan pada ashnaf yang delapan. Sementara panitia qurban tidak memiliki kesamaan itu dengan amil zakat. Maka panitia hanya sifatnya membantu dan memfasilitasi. Hukum yang berlaku bagi panitia qurban:
1.      Haram menjual daging qurban yang diamanahkan kepada panitia[45].
2.      Haram mengambil upah apapun dari hewan qurban[46],
3.      Haram bagi   tukang sembelih mengambil upah apapun dari hewan qurban,
4.      Panitia qurban dan tukang sembelih boleh memasak dan memakan daging qurban sewaktu berjalannya penyembelihan, bukan sebagai upah jerih payah, namun sebagai yang berhak menerima tanpa berlebihan. Tentu ini sudah  menjadi izin dan kesepakatan awal atau ‘uruf yang berlaku ditempat berqurban antara pengqurban dan panitia.
5.      Jika pengqurban telah menyerahkan qurbannya kepada panitia qurban dan sudah mengetahui ketentuan yang disepakati, baik harga atau upah panitia dari uang pembelian, maka panitia saat itu sudah mewakili pengqurban dan mempercayakan pendistrobusian sesuai dengan mashlahat, agar terjadi  pembagian yang adil, pegqurban seyogiyanya tidak mengatur-atur panitia sesuai kesepakatan awal, jika tidak sepakat dengan ketentuan panitia, maka lebih baik ia sendiri yang melakukan.
6.      Panitia dan tukang sembelih boleh mengambil upah dari lebih uang pembelian atau dari sumber lain, seperti: harga perorang Rp. 1.500.000,- untuk pembelian qurban, namun pengqurban sepakat untuk membayar Rp. 1.700.000,-.Uang Rp.200.000,- sebagai kebutuhan penyembelihan. Jika panitia hanya membeli hewan qurban senilai Rp.1.400.000,- per orang maka panitia wajib mengembalikan kepada pengqurban Rp.100.000,- dan haram ditashorrufkan oleh panitia tanpa seizin pengqurban.
Ketujuh belas: Hukum berqurban bagi yang belum ‘aqiqah
Hukum berqurban bagi yang belum ‘aqiqah adalah sah dan tidak mengurangi pahala berqurbannnya sedikitpun. Dengan alasan: Tidak ada ibadah yang saling membatalkan, hukum qurban dan ‘aqiqah sama-saa sunat, kedua ibadah ini dapat dikerjakan pada waktu yang berbeda dan hak akikah adalah hak orang tua bukan hak anak.
Kedelapan  belas: Hukum menyatukan ‘aqiqah dengan qurban (niat qurban sekaligus niat aqiqah)
Menyatukan dua niat dalam satu ibadah, dalam masalah ‘aqiqah dan qurban tidak menghasilkan dua-duanya, akan tetapi akan menghasilkan salah satu dari keduanya, mana niat pertama maka itulah yang diperoleh.Karena masing-masing ibadah ini berdiri sendiri dan waktu pelaksanaan kedua ibadah ini masng-masing memiliki waktu muwassa’ah (lapang) bukan mudhoyyaqoh (sempit). Sehingga tidak perlu kepada kaedah: Apabil urusan telah terasa sempit maka urusan akan lebih mudah (إذا ضاق الأمر اتسع)  (maqshudah lidzatiha). Sebagian ulama membolehkan menyatukan dua ibadah dalam satu niat dengan tiga syarat dan ketiga syarat yaitu: Pertama: Ibadah yang digabungkan dengan satu ibadah harus berada dibawah sandarannya atau dengan istilah (تحت الاندراج المعمول به) seperti shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunat wuduk. Yang lebih besar meliputi yang lebih kecil (الأكبر يشمل الاصغر) dalam hal ini bisa terjadi diantara pada wuduk dan mandi wajib (jinabah) contohnya: Apabila ada yang ingin berwuduk tapi ia salah dalam berniat degan niat jinabah maka dalam hal ini sah wuduknya, tapi sebaliknya tidak sah mandi jinabah karena salah niat dengan niat wuduk[47]. Ketiga: Yang wajib meliputi yang sunat tidak sebaliknya contohnya: Apabila ada seorang yang berniat puasa untuk qodo’ dengan puasa sunat pada bulan syawal maka dapat dua pahala ya’ni puasa qodho’ dan pahala puasa wajib qodho’.

Kedua puluh: Menyatukan qurban dengan aqiqah dalam satu lembu.
           
            Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan menyatukan qurban dengan aqiqah, qurban sunat dengan nadzar dalam satu lembu. Umapamanya 1 bagian qurban nadzar, 3 bagian qurban sunat, 3 bagian aqiqah sunat dan 1 bagian aqiqah wajib, apakah hukumnya boleh?. Jawabannya menurut nash madzhab Syafi’I boleh dan itu yang ditarjih para ulama dari kalangan mutakhkhir Hanabilah dari ulama-ulama Saudiah[48]. Sudah barang tentu bahwa memisahkan satu niat dalam satu ekor untuk aqiqah bagi bayi perempuann dan dua ekor bagi anak laki-laki, atau satu ekor lembu bagi tujuh orang seluruhnya niat qurban[49]. Dan wajib bagi setiap yang melakukan aqiqahnya dengan niat aqiqah, begitu juga yang niat qurban sendiri-sendiri, baik nazdar mupun yang sunat. Dan mewakilkannya kepada tukang sembelih jika bukann dia sendiri yang menyembelihnya. Tidak boleh menyatukan niat qurban dengan aqiqah dalam satu kambing/ biri-biri atau dalam satu bagian dalam satu lembu. Namun boleh menyatukan aqiqah dengan walimah atau qurban dengan walimah dalam satu kambing atau biri-biri  dalam sebagian fatwa ulama[50]. Namun dalam hal ini tetap lebih afdhol dipisah-pisahkan.

Kesimpulan

            Dari pemaparan yang kita sampaikan, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk memperoleh atau mengabadikan hakikat qurban, agar tidak berubah menjadi sedekah biasa sangat dibutuhkan kehati-hatian, terutama para panitia saat ini sebagian yang sewenang-wenang menjual kulit qurban atau menjadikannya sebagai upah sembelih, dengan alasan untuk digunakan keperluan panitia, apabila terjadi hal seperti ini, panitia sudah melakukan dua kesalahan yaitu: Pertama: Kesalahan pada penjualan jika tidak seizin pemilik qurban maka dia sudah mencuri kulit dan menjualnya kepada orang lain. Kesalahan kedua: Bila itu seizin pengqurban, pihak panitia dan pihak pengqurban telah mengubah esensi qurban menjadi sedekah biasa, sama seperti kita bersedekah memberi makan orang lain. Alasan mubazzir dengan membagi-bagi kulit dengan memotong-motong kecil kepada setiap penerima daging qurban, karena sipenerima selalu membuang atau tidak memakannya, tidak dapat dijadikan alasan untuk menjual atau menjadikannya sebagai alasan menjualnya dengan dua sebab:

  • Pertama : Jika sudah diserahkan kepada penerima maka dia yang berhak untuk mentashorrufkannya, dan bial ia membuang maka ia yang berdosa karena mubadzzir.
  • Kedua   :   Masalah hukum qurban termasuk bagian dari hukum ittiba’i bukan ibtida’i (yang dapat dibuat-buat sesuka hati atau menlogikakannya).

     Solusi yang tepat agar tidak terjebak pada menjual kulit atau bagian lain dari qurban ada dua      solusi:


  1. Pertama : Melakukan kesepakatan dengan pengqurban dalam pembiayaan panitia diambil         dari uang yang deserahkan sebelum melakukan pembelian hewan qurbban.
  2. Kedua  : Panitia yang bertugas mencari orang yang mampu mengolah kulit diuamakan dari       orang miskin atau dari kalangan pengolah disekitarnya atau sesiapa saja yang mampu               memanfaatkannya dan lebih baik diberikan saja kepada tukang sembelih bukan sebagai             upah, tapi sebagai hadiyah yang berhak menerima[51], yang menerima boleh memakannya      atau mengolahnya kemudian menjualnya kepada orang lain. Karena hukum qurban sama            dengan hukum zakkat, apabila benda zakat sudah sampai ketangan sipenerima maka ia boleh    memakannya, memanfaatkannya atau menjualnya.

Wallahu A’lam Bi al-Shwwab


DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Umm, Imam al-Syafi’i, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 2009
2.      Al-Mughni, Imam  Ahmad Bin Qudaamah al-Maqdasi, Maktabat al-Riyadh al- Hadistah-Riyadh, tanpa tahun terbit.
3.      Roudhotuthalibin wa Umdatul Muftiin, Imam Muhyiddin Yahya Bin Abi Zakaria Syarofuddin Annawawi, Daar al-Fikr, Bairut, 1432H/2010M.
4.      Al-Fiqh al-Muyassar Fi al-Dhou al-Kitab Walsunnah, Nukhbat Minal Ulama, Daar al-Ilmiyyah, Kairo: 1432Hl2011M.
5.      Tahdzib fi Syarh Al-Ghoyat Wattaqrib al-Musyhur bi al-Matn Abi Syuja’, Prof. Dr. Mushthafa Deeb al-Bugha, Daar Ibnu Katsir Damascus, 1992.
6.      Fiqh al-Isami wa-Adillatuh, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, 3/633, Daar al-Fikr Damascus 1409 H/1989M.
7.      Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam al-Syafi’I, Prof. Dr. Mushthafa al-Buhga, Mushthafa al-Khin dan Ali al-Syarbaji, Damascus Daar al-Qolam 1413H/1992.
8.      Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq, Daar al-Fikr Bairut 1403H/1983.
9.      Mausu’at al-Ahkam wal-Fatawa al-Syar’iyyah , Daar al-Yhodid al-Jadid, Ashhab al-Fadhilah: Abdul Aziz Bin Baz DKK, Egypt Al-Manshurah 1428H/2007M.
10.  Al-asybah wa-Annadzair Fi al-Furu’, Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi al-Syafi’I, Al-Haramain tanpa tanggal terbit.
11.  Kifayat al-Akhyar Fi Halli Ghoyat al-Ikhtishor, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini al-Dimasyqi al-Syafi’I,  Al-Haramain, 1416H/2005M.
12.  Dan lain-lain.



             





[1] Disampaikan pada acara Pembinaan Kemasyarakatan se Kab. Asahan Aula MUI Kab.Asahan Sabtu&Ahad 4-5 Sept 2016
[2] Semua ibadah kepada Allah Ta’ala mrupakan pendekatan  kepada-NYA, namun macaman ibadah itu berbeda-beda cara. Dengan cara menyembelih binatang ternak pada waktu tertentu, dengan syarat tertentu dan dengan cara tertentu sudah ada dalilnya, ulama telah meletakkan kaedah:” TIDAK BOLEH BERIJTIHAD DIHADAPAN DALIL YANG SHOREH TANPA PERLU ADANYA PENJEASAN LAIN PADA NASH TERSEBUT”. Mengatakan lebih baik qurban degan dikonversi satu bentuk pengingkaran kepada dalil dan upaya penghapusan atau pengingkaran hukum  yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-NYA. Dapat dikategorikan pemahaman istilah “Konversi” pada bab qurban adalah hembusann pemikiran:” LIBERALIS, SEKULARIS, bahkan  EKSISTENSONIALIS RASIONALIS”.
[3] Q.S. Al-Katsar ;2. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾(. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah)
[4] Q.S. Al-Hajj:36. وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٣٦﴾ (036. Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.)
[5] Fiqhul Wajiz
[6] Didalam analisis hukum Islam ada dua pendekatan pengertian yaitu: Pendekatan dari segi bahasa (Lughat) dan pendekatan Syara’ atau Syari’at. Pendekatan syari’atlah yang menjadi keputusan hukum karena itu yang menjadi asal dan dalil, sedangkatan pendekatan bahasa berada dibawah koridor Sari’at. Kaum Skularis, Liberalis dan Eksistensionalis Rasionalis telah menjadikan tinjauan Bahasa menjadi dasar hukum, itu sebuah alur yang sesat dalam menetapkan sebuah hukum.
[7] Imam Abu Hanifah berpendapat berqurban dengan cara sembelih hukumnya wajib. Didalam metode penetapan Fatwa yang ditetapkan oleh MUI Pusat ada tiga kategori yaitu: Menetepakann Fatwa sesuai  dengan Ijma’, jika tidak didapati Ijma’ maka difatwakan pendapat mayoritas ulama mujtahid dan jika pendapat ulama sebanding maka digunakan metoode tarjih. Dalam masalah hukum berqurban ditetapkan  hukumnya sebagai ‘Sunnah Muakkad”.
[8] Lihat Quranul Karim Surat Alhaj(22) Ayat: 28 dan 35 – 37. Attakatsur (102) Ayat: 3.
[9] Fiqh al-Islami wa –Adillatuh,3?602.
[10] اركان النذر ثلاثة: الناذر، والمنذور والصيغة، فلا يصح النذر الا بصيغة (روضة الطالبين:3/21)
[11] ثم النذر قسمان: أحدها نذر التبرر وهو نوعان: أحدهما: نذر المجازالا وهو أن يلزم قربة في مقابلة حدوث النعمة أو اندفاع البلية....النوع الثاني: أن يلتزم ابتداء من غير تعليق على شيء فيقول: لله علي أن أصلي...القسم الثاني: نذر اللجاج والغضب، وهو أن يمنع نفسه من فعل، أو يحثها بتعليق التزام قربة الفعل أو بالترك، يقال فيه :يمين اللجاج والغضب ويمين الغلق ونر الغلق مثل: ان كلمت فلانا..... فغن علي صوم شر......... فيختار بين الزام او كفارة وهو تصحيح النووي بين الأقوال. (روضة الطالبين:3/21).
[12] Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Roudhatutthalibin wa Umdatul Muftiin, Imam Muhyiddin Yahya Bin Syraf Abi Zakariya Annawawi wafat: 676 H, 3/21:
" لو عقب النذر بمشيئة الله فقال لله علي كذا إن شاء الله تعالى لم يلزمه شئء"
[13] عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ  (رواه البخارى : 5545
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin.”
(HR. Bukhari no. 5545)
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ    (رواه البخارى : 965 (
 Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya hal pertama yang kita mulai pada hari ini adalah kita melaksanakan shalat (Idul Adha), kemudian kita pulang dan menyembelih. Barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia telah sesuai dengan as-sunnah. Adapun barangsiapa menyembelih hewan sebelum shalat Idul Adha, maka sembelihannya tersebut adalah daging yang ia berikan untuk keluarganya, bukan termasuk daging hewan kurban (untuk mendekatkan diri kepada Allah) sama sekali.”
(HR. Bukhari no. 965)
[14] Lihat Quranul Karim Surat Alhaj(22) Ayat: 28.
[15] شروط مشروعية الأضحية: 1. الإسلام فلا يخاطب بها غير المسلم، 2. البلوغ والعقل: فمن لم يكن بالغا عاقلا فلا يكلف بها، 3. الإستطاعة، وتتحقق بأن يملك قيمة الأضحية زائدة عن نفقته ونفقة من تلزمه نفقته، خلال يوم العيد وأيام التشريق. (كتاب الفقه الميسرة في ضوء الكتاب والسنة – اعداد نخبة من العلماء : 192 ، الدار العالمية أمام جامعة الأزهر 1432 ÷ / 201 م)
[16] Dalam nash madzhab Syafi’I membolehkan sembelihan orang yang mabuk atau yang gila kumat-kumatan:  : إذا توفرت هذه الشروط الثلاثة حلت ذ بيحته من غير فرق بين أن يكون رجلا أو امرأة كبيرا أو صغيرا بل لافرق بين المميو وغيره، والسكران والمجنون وغيرهما، مادامت طاقة الذبح موجودة وما دام القصد  متوفرا في الذبح ولو في الجملة. ( الفقه المنهجي : 1/ 45).
[17] روى أحمد (6/368) والطبراني أن رسول الله قال:(ضحوا بالجذع من الضأن فإنه جائز). الجامع الصغير:5210). الجذع: ماأتمت سنة وطعنت في الثانية. انظر : التهذيب في أدلة متن الغاية والتقريب: ص: 243).
[18] عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba’.” (HR Muslim).
Ulama menjelaskan makna musinnah itu pada unta, sapi dan kambing. Usia minimal unta adalah lima tahun masuk tahun keenam. Sapi dua tahun masuk tahun ketiga. Kambing  satu tahun masuk tahun kedua.Dari hadits tersebut pula, dibolehkan menyembelih domba yang usianya telah mencapai enam bulan. Sedangkan kambing jenis lain serta sapi dan unta harus memenuhi syarat tersebut.Hadis lain yang menguatkan tidak bolehnya menyembelih kambing (bukan domba), adalah kisah seorang sahabat yang ingin berkurban dengan sembelihan yang usianya di bawah ketentuan tersebut. Ia tidak memiliki lainnya kecuali itu saja. Maka Nabi saw bersabda kepadanya, “Berkurbanlah dengan kambing usia belum genap satu tahun, namun tidak boleh bagi seorang pun setelah dirimu.” (HR Al-Bukhari)
[19] Lihat Roudhotutthalibin, 2/ 463- 465, Imam Nawawi, daar al-Fikr birut 1432 H/2010M.
[20] وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: - "أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي"  ( رَوَاهُ اَلْخَمْسَة. وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان (
Dari Al Bara' bin 'Azib radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, "Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai seolah tidak berdaging dan bersum-sum.”
( Dikeluarkan oleh yang lima (empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban )
[21] Bersumber dari Ali R.A: “أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن لا نضحي بمقابلة، ولا مدابرة، ولا شرقاء، ولا خرقاء
Rasulullah SAW melarang kami agar tidak berqurban dengan kupingnya yang terkoyak kesamping, dan tidak terkoyak kebelakang , atau kedepan, atau yang terputus telinganya”. (H.R. Al-Khomsah dan dishohehkan Tirmidzy).
[22] Q.S. attaubah; 108
[23] عن أنس رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم قال:" باسم الله والله اكبر" رواه مسلم (1966).
[24] Attadzhib Fi Adillati Matnil Ghoyat Wattaqreeb hal: 246, Dr. Mushthafa Deeb Al-Bugha, Daar Ibnu   Katsir, Damascus: 1412H/1992M.  
[25] Attadzhib Fi Adillati Matnil Ghoyat Wattaqreeb hal: 246, Dr. Mushthafa Deeb Al-Bugha, Daar Ibnu Katsir, Damascus: 1412H/1992M.
[26]قال الشافعي: وإذا سمى الله عزوجل على النسيكة أجزأ عنه. وإن  قال: اللهم تقبل عني أو تقبل عن فلان الذي أمره بذبحه فلا بأس. (ص: 407/ 2).
 رواه مسلم (1967) أنه صلى الله عليه ولم ضحى بكبش، وقال عند ذبحه: باسم الله، اللهم تقبل من محمد ، وآل محمد ومن أمة  محمد).
[27] عن أبي أيوب رضي الله عنه قال: " كان الرجل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته، فياكلون ويطعمون". رواه ابن ماجة (3147) والترمذي وصححه (1505) وصححه الألباني.
[28] Sebagaimana dalam sunnah untuk satu ekor kambing/domba untuk 1 orang, seekor sapi untuk 7 orang. Namun ada niat baik dari satu perusahaan atau perkumpulan ingin berqurban dengan cara ramai-ramai lebih dari 7 bagian, agar tetap  memperoleh pahala qurban tidak menjadi sedekah biasa ada dua solusi untuk bab ini yaitu: Pertama: Membuat qurban itu atas nama ketua dan atas nama ummat Muhammad SAW. Kedua: Dengan cara bergilir  atau dengan qur’ah (mengundi). Kedua cara ini masih ada mi’yar syar’i-nya (koridor syariat). Wallahu A’lam. Penjelasannya disebutkan dalam kitab Roudhatutthalibin juz 2 hal: 495 nashnya sbb:
وفي "الحاوي" أنه يختار للإمام أن يضحي للمسلمين كافة من بيت المال ببدنة ينحرها في المصلى، فإ ن لم يتيسر فشاة وانه  يتولى النحر بنفسه، وإن ضحى من ماله ضحى حيث شاء "(روضة الطالبين: 2/ 493)
[29] Fiqh al-Muyassar Fi Dhou’ al-Kitab Wassunnah, hal;195. إذا دخلت عشر من ذي الحجة، حرم على من أراد أن يضحي أن يأحذ من شعره، أو أظفاره شيا، حتى يضحي. لحديث أم سلمة رضي الله عنها مرفوعا: ( إذا دخل العشر وعنده أضحية يريد أن يضحي، فلا يأخذن شعرا، ولا يقلمن ظفرا) وفي رواية:(فلا يمسن من شعره وبشره شيئا). (أخرجه مسلم)
[30] وفي روضة الطالبين: 2/477 : من أراد التضحية فدخل عليه عشر ذي الحجة كره أن يحلق شعره أو بقلم ظفره حتى يضحي، وفيه وجه: أنه يحرم حكاه صاحب "الرقم" وهو شاذ.....
[31] الأفضل أن يضحي في بيته بمشهد أهله (روضة الطالبين: 2/ 493).
[32] مسألة أكل الهدي الواجب: قال: الهدي هديان: واجب وتطوع فكل ما كان أصله واجبا على الإنسان ليس له حسبه، فلا يأكل منه شيئا، وذلك مثل هدي الفساد والطيب وجزاء الصيد والنذور والمتعة، فإن أكل من الهدي الواجب تصدق بقيمة ما أكل منه. (الأم : ص: 407/2). : وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ﴿٣٦﴾
وهذه الآية في البدن التي يتطوع بها أصحابها لا التي وجبت عليهم قبل أن يتطوعوا بها، وإنما أكل النبي من هديه أن كان تطوعا فأما ماوجب من الهدي كله فليس لصاحبه أن يأكل منه شيئا كما لايكون له أن يأكل من زكاته ولا من كفارته شيئا. (الأم:8/ 602)
[33] Fiqh al-Isami wa-Adillatuh, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, 3/633, Daar al-Fikr Damascus 1409 H/1989M.
[34] الآلات المثقلات، إذا تأثرت بثقلها دقا أو خنقا لم يحل الحيوان، وكذا المحدد إذا قتل بثقله بل لابد من الجرح ..... إذا مات الصيد بشيئين محرم ومبيح بأن مات بسهم وبندقية أصاباه من رام أو رامين .... فيموت منهمما أو يرمي الى صيد سهما فيقع على طرف سطح ثم يسقط منه .... أويقع على ماء ..... فكل هذا حرام. (روضة الطالبين:2/ 505)
[35] Ini pendapat Imam Abu Hanifiyah, Syafi,iyah, mayoritas Hanabilah dan pendapat yang zahir dari Ahmad Al-ajmu’: 8/419, Al-Mughmi: 6/483. Demikian juga daging qurban yang hukumnya menjadi wajib tidak diberikan kepada non muslim. Daging qurban sunat sebagian ulama memboehkan untuk diberikan kepada non muslim selain kafir harbi atau karena harapan ia masuk Islam atau menjinakkan hatinya. Alasannya Q.S. Mumtahanah: 7- Al-Mughni: 9/450, Fatawa al-Lajjanah al-Daimah: 11/424, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 18/48
[36] مسألة أفضل من يطعم من الهدي وجعله أثلاثا
قال الشافعي: وأحب لمن أهدى نافلة أن يطعم البائس الفقير لقوله تعالى: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ﴿٢٨﴾ وقوله: وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ. القانع هو السائل، والمعتر الزائر والمار بلا وقت فإذا أطعم من هؤلاء واحدا او اكثر فهو من المطعمين، فأحب إلي ما أكثر أن يطعم ثلثا ويهدي ثلثا ويدخر ثلثا، ويهبطه حيث شاء ، والضحايا من هذا السبيل والله أعلم. وأحب إن كانت في الناس مخمصة أن لايدخر أحد من أضحيته ولا من هديه أكثر من ثلاث لأمر النبي من أجل الدافة فان ترك رجل أن يطعم من هدي تطوع أو أضحية فقد أساء. (الأم: 8/ 602)

وجاء في كتاب الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة – اعداد نخبة من العلماء صفحة 195 : ويستحب أن يجعلها أثلاثا : ثلث يطعه أهل بيته، وثلث يطعمه فقراء جيرانه، ويهدي الثلث، لحديث ابن عباس رضي الله عنهما في صفة أضحية النبي قال: (ويطعم أهل بيته الثلث، ويطعم فقراء جيرانه الثلث، يتصدق على السؤال بالثلث) . أخرجه الحافظ أبو موسى الاصفهاني في الوظائف وحسنه ولأنه قول ابن مسعود وابن عمر ولم نعرف لهما مخالفا فيالصحابة فكان اجماعا (انظر المغني 8/632- 633)
والاستحباب أن يأكل ثلث أضحيته ويهدي ثلثها ويتصدق بثبثها ولو أكل أكثر جاز. (المغني: 8/632 عبد الله أحمد بن قدامة المقدسي – مكتبة الرياض الحديثة – الرياض)

[37] Pembagian daging qurban pada dasarnya lebih fleksbel tidak ada ketentuan baku jikka pengerjaan sembelihan dilakukan oleh si pengqurban sendiri, namun untuk maslahat jika sudah diserahkann kepada panitia maka sebaiknya diserahkan kepada panitia untuk pembagiannya, tanpa dicampuri oleh pengqurban, sebab penyerahan kepada panitia bentuk sebagai penyerahan yang sudah  dippercaya  dann disepakati.
حكم اكل وادخار لحوم الأضاحي وعدم جواز اكل الأضاحي الواجبة
 عن الشافعي عن مالك عن جابر بن عبد الله  أن رسول الله نهى عن أكل لحوم الضحايا بعد ثلاث ثم قال بعد ذلك: كلوا وتزودوا وادخروا".
عن عبد الله بن أبي بكر : قالوا يا رسول الله ، نهيت عن أكل لحوم الضحايا بعد ثلاث فقال رسول الله : "إنما نهيتكم من أجل الدافة التي دفت حضرة الأضحى فكلوا وتصدقوا والدخروا" رواه الشافعي ومالك و مسلم والبيهقي والنسائي. قال الشافعي: فيشبه أن يكون إنما نهى رسول الله عن امساك لحوم الأضاحي بعد ثلاث إذا كانت الدافة على معنى الإختيار لا على معنى الفرض وإنما يشبه الاختيار لقول الله عزوجل: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ﴿٣٦﴾
وهذه الآية في البدن التي يتطوع بها أصحابها لا التي وجبت عليهم قبل أن يتطوعوا بها، وإنما أكل النبي من هديه أن كان تطوعا فأما ماوجب من الهدي كله فليس لصاحبه أن يأكل منه شيئا كما لايكون له أن يأكل من زكاته ولا من كفارته شيئا. (الأم:8/ 602)
[38] مسألة : اعطاء الكافر من لحوم الأضاحي الغير الواجب
ويجوز أن يطعم منها كافرا وبهذا قال الحسن وأبو ثور وأصحاب الرأ، وقال مالك غيرهم أحب إلينا وكره مالك واليلث إعطاء النصراني جلد الأضحية.
ولنا: أنه طعام له أكله فجاز إطعامه للذمي والأسير كسائر صدقة التطوع، فأما الصدقة الواجبة منها فلا يجوز دفعها الى الكافر لأنها صدقة واجبة فأشبهت الذكاة وكفارة اليمين. (المغني : 8/ 634).
[39] وأجاز الحنابلة اهداء الكافر من أضحية التطوع أما الواجب فلا يجوز اهداء الكافر منها شيئا (الفقه الإسلامي:3/633)
[40] ويكره عند المالكية أن يطعم منها يهودية أو نصرانيا (الفقه الإسلامي وأدلته: 3/ 633).
[41] عن علي بن أبي طالب:" أمرني رسول الله أن أقوم على بدنةة وان أتصدق بلحومها وجلودها وأجلتها وأن لالا أعطي  الجازر منها شيئا ، وقال نحن نعطيه من عندنا" متفق عليه. وعن أبي سعيد الخدري أن قتادة بن النعمان أخبره أن النبي قام فقام إني كنت أمرتكم أن لا تأكلوا لحوم الأضاحي فوق ثلاثة أيام ليسعكم، وإني أحله لكم، فكلوا ماشئتم ولاتبعوا لحوم الهدي والأضاحي وكلوا وتصدقوا واستمتعوا بجلودها ولا تبيعوها وإن أطعمتم من لحومها شيئا فكلوا أنى شئتم". رواه أحمد
[42] Dari berbagai dalil yang ada saya lebih cendrung kepada pendapat yang membolehkan berqurban dari orang yang  sudah wafat, walaupun Madzhab Syafi’I tidak membolehkan berqurban dari orang yang sudah wafat kecuali bila ada wasiat atau nadzarnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh Al-Islami dan pada kitab-kitab Fiqh Syafi’iyah lainnya seperti pada kitab al-Umm. قال الشافعية : لايضحي عن الغير بغير إذنه، ولا عن ميت إنلم يوص بها لقوله تعالى:"وان ليس للإنسان إلا ماسعى" فإن أوصى بها جاز وبإيصائه تقع له، ويجب التصدق بجميعا على الفقراء. (الفقه الإسلامي وأدلته:3/ 634).
[43] Mengkongsikan orang lain dalam niat qurbannya boleh menurut sebagian ulama sebagaimana dalam nash berikut ini: قال الشيخ إبراهيم المروزي وصاحب العدة: لو اشرك غيره في ثواب أضحيته وذبح عن نفسه جاز، قال: وعليه يحمل الحديث ( اللهم تقبل من محمد وآل محمد .....) (روضة الطالبين: 2/469).
[44] عن عائشة قالت: أن رجلا قال للنبي إن أمي افتلتت نفسها وأراها لو تكلمت تصدقت افأتصدق عنها؟ قال نعم تصدق عنها" (رواه البخاري) وفي رواية مالك : إن سعدا قال: يارسول الله اتنفع امي ان تصدقت عنها وقد ماتت؟ قال: نعم، قال: فما تأمرني؟ قال: اسق الماء". وفي رواية: عن سعد بن عبادة قال قلت: يارسول الله، ان امي ماتت أفأتصق عنها قال: نعم، قلن: أي؟ فقال:"اعتق عن أمك" وفي  رواية أبي داود: عن ابن عباس قال: أن رجلا قال يارسول الله ان امي توفيت افينفعها ان تصدقت عنها فقال: نعم".
[45] عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله لى الله عليه وسلم:" من باع جلد أضحيته فلا أضحية له". رواه البيهقي رقم (9/294).
[46] ويحرم بيع جلد الأضحية وشحمها ولحمها وأطرافها، ورأسها وصوفها، وشعرها، ووبرها ولبنها الذي يحلبه منها بعد ذبحها واجبة كانت او تطوعا "(الفقه لإسلامي وأدلته: 3/632).
[47]Al-Asybah Wa al-Nazhair Fi al-Furu’, Imam Jalaluddin Abdurrahman Bi Abi Bakr al-Suyuthi al-Syafi’I (911) hal: 10, Al-Haramain Surabaya 1429H
[48] فإن البقرة إذا استوفت شروط الأضحية جاز أن يعق بها عمن يعق عنهم سبع شياه ، كما هو مذهب الشافعية قياسا على الهدي والأضحية، وهو الذي نرجحه، وأقوال اهل العلم في الفتوى  رقم: 15288.ولا مانع من اشراك النذر مع العقيقة في البقرة او البدنة الواحدة المجزئة في الأضحية بحيث يكون سبعها مقابل شاة واحدة، فتوى الرقم: 63296، ولذلك فلو ذثح السائل الكريم بقرة بنية ان يكون بعضها العقيقة والاخر للنذر فلا بأس. وان ذبح العقيقة استقلالا والنذر استقلالا فلا شك أن لك أفضل. الرقم فتوى: 102745. 
[49] رواه ابن ماجة( 3163) عن عائشة رضي الله عنها قالت: أمرنا رسول الله أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة، وعند أبي داود (2834) والترمذي (1513) "عن الغلام شاتان متكافئتان". 
[50] قال العلامة الخرشي في شرحه المختصر: ولو أقام بأخحيته سنة عرسه أجزأه، ولو عق (وأضحى) بها عن ولده لم تجزه، ولعل الفرق أن الوليمة لما لم يشترط فيما يشترط في الأضحية بخلاف الأخحية فيشترط مايشترط في الأضحية، فضعف الجانب الأضحية مع العقيقة. والله اعلم.
[51] فإن أعطي الجزار شيئا من الأضحية لفقره، أو على سبيل الهدية فلا بأس لأنه مستحق للأخذ فهو كغيره، بل هو أولى لأنه باشرها، وتاقت نفسه اليها. (الفقه الإسلامي وأدلته الدكتور وهبة الوحيلي. 3/ 632 دار الفكر ، دمشق، 1409 ه/ 1989 م )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar