Minggu, 03 Mei 2015

Mewaspadai Budaya Yang Merusak Akidah dan Akhlak

MEWASPADAI BUDAYA YANG MERUSAK AKIDAH DAN AKHLAK
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA


Mulai dari kedatangan Islam di Jazirah Arab, ada dua hal terpenting dari misi ajaran Islam yaitu: Pertama; Pemurnian akidah tauhid dari segala bentuk kemusyrikan; Kedua : Pemisahan akhlak dari budaya yang dapat merusak Islam dan syariat. Pada kedua misi besar ini, para ulama dan da’i berupaya memberikan pencerahan kepada umat manusia, sehingga banyak budaya-budaya Jahiliyah purba, budaya Hindu, Budha, Pel Begu, Yahudi, Kristen, Kejawen dan lain-lain yang sudah ditanam dan dihilangkan dengan susah payah oleh para ulama dan para da’i terdahulu.

Peranan visi pemerintah untuk mengangkat dan menghidupkan kembali budaya lama, yang dikemas dengan sebutan “Kearifan Lokal” sangat terasa bermunculannya kembali budaya-budaya pada agama-agama terdahulu merasuki umat Islam.

Sebenarnya penjelmaan budaya-budaya lama ini sudah mulai bermunculan pada tahun 1990-an, kemudian diperparah lagi dengan tercetusnya reformasi pada tahun awal tahun 1998, dan yang paling terdepan mengihidupkan budaya lama ini adalah kalangan penganut LIBERAL.

Misi menghidupkan kembali budaya-budaya lokal dengan sebutan kearifan lokal sangat berperan untuk merusak akidah tauhid Islam, mengingat bahwa penduduk Indonesia pada umumnya dan Asahan pada khususnya berasal dari pengaruh agama Hindu atau Pel Begu (Animisme). Yang kedua dari budaya itu akan banyak menimbulkan kerusakan pada akhlak dan moral.


Cara Identifikasi Yang Terkandung Pada Budaya Lama
Untuk mengetahui ada tidaknya unsur kemusyrikan pada budaya tertentu, terlebih dahulu kita harus mengetahui alat-alat deteksi kemusyrikan, yaitu :
Terlebih dahulu mengetahui asal-usul  budaya yang dihidupkan;
2.   Dalam budaya tersebut ada kaitan dengan sesembahan agama lain;
3.   Memiliki keterkaitan dengan tolak bala atau mendatangkan rezeki dengan menggunakan media-media terentu seperti : ayam, bunga, sesajen dan sejenisnya;
4.   Mengkaitkan ritual dengan leluhur dan nenek moyang;
5.   Ritual yang dikerjakan memiliki keterkaitan dengan roh-roh atau dewa-dewi;
6.   Pada acara adat adanya pentabziran dengan membuang-buang makanan atau benda yang masih dapat dimakan;
7.   Pada acara adat ada ritual-ritual untuk membuang sial.

Ritual Budaya Mencela Waktu
Dalam kepercayaan jawa terdapat hari, bulan atau waktu tertentu yang memiliki pantangan, dilarang bekerja, menikah, bercocok tanam dan lain sebagainya. Kalau di langgar maka akan mendapat celaka. Kepercayaan semacam ini meyakini bahwa waktulah yang menyebabkan selamat atau celakanya seseorang. Ini adalah sebuah kesyirikan yang besar. Dalam hadis qudsi di jelaskan :
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ’Azza wa Jalla berfirman, Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang”. (HR. Muslim No. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda :
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا
Allah ’Azza wa Jalla berfirman, Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan : Ya khoybah al-dahr’ [ungkapan mencela waktu]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan “Ya khoybah al-dahr” (dalam rangka mencela waktu). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya”. (HR. Muslim No. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan “Ya khoybah al-dahr” (ungkapan mencela waktu) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang terlarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan pelakunya dari Islam).

Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu : Pertama; Jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’Alaihis Salam dalam Alquran surah Huud ayat 77 : “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata : Ini adalah hari yang amat sulit”.

Kedua; Jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; Jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias dungu) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung.

Mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini.
Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri”. (QS. Qaaf  : 16-17)

Dalam kepercayaan di jawa terkait dengan waktu, rata-rata kepercayaan tersebut dilandasi karena waktu memiliki sesuatu yang dapat membuat baik dan buruknya seseatu urusan tertentu.*

Diantara ritual-ritual yang perlu identifikasi dalam rangka menjaga kemurnian akidah ialah :
1.   Ritual mencari hari baik untuk walimah;
2.   Ritual selamatan untuk wanita hamil;
3.   Ritual Ruatan di Gunung Simeru (tradisi tolak bala) dengan menggunakan sesajen-sesajen;
4.   Ritual kembar mayang untuk membuang sial;
5.   Ritual menginjak telur bagi suami istri yang baru akad nikah; 
6.   Ritual sedekah bumi dengan menghanyutkan nasi atau benda lain ke laut;
7.   Budaya menyembelih kurban di laut (belakangan ini muncul di Tanjung Balai dan Batu Bara);
8.   Ritual kirap pusaka untuk menyucikan benda-benda yang dianggap suci dan kramat;
9.   Ritual sedekah bumi dengan menghanyutkan berupa nasi tumpeng ke laut;
10. Ritual menyembelih kurban di laut (ritual ini mulai muncul di Tanjung Balai dan Batu Bara);
11. Ritual menolak hujan;
12. Upah-upah utuk membuang kesialan;
13. Upah-upah untuk menolak malapetaka;
14. Mandi bunga kembang;
15. Memberi sesajen bagi hantu dan roh-roh
16. Ilmu gerak ketika mau berjalan biasa digunakan pesilat; dan
17. Mempercayai zodiak.



* http://ryanhaq.blogspot.com/2013/06/bentuk-bentuk-kemusyrikan-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar