WALI
HAKIM DAN QADI SULTAN DALAM PROSFEKTIF
FIQH
Oleh
: H. Salman Abdullah Tanjung, MA
A. MUKADDIMAH
Pada
akhir-akhir ini praktek prostitusi semakin marak, rumah-rumah kos terselubung
semakin menjamur, semi lokalisasi kejahatan terorganisasi semakin
memprihatinkan. Tapi dibalik itu semua ada praktek yang belum terungkap secara
terang benderang yang mengatas namakan dirinya Wali Hakim atau Wali al-Sultan.
Yang
menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara pengangkatan Wali Hakim atau Wali Sultan?,
Apa saja syarat-sayrat sah menduduki sebagai Wali Hakim?, Kapankah hak perwalian berpindah kepada Wali Hakim?
Apakah pengertian Wali Muhakkam (mengangkat seseorang sebagai wali hakim
bagi dirinya)?, Bagaimana kedudukan Wali Sultan atau Wali Hakim?.
Pertanyaan-pertanyaan
terdahulu perlu dikupas dengan jelas dan terang agar masyarakat tidak terjebak
dengan praktek legalisasi pernikahan dengan kedok “Wali Hakim”.
Makna
wali ditinjau dari segi lughah datang dengan makna “Mahabbah” dan “Nushrah” sedangkan
menurut tinjauan syariat : “Menetapkan satu keputusan tetap dengan ucapan atau
shighah terhadap orang lain yang tidak memiliki kuasa atas dirinya, sama ada ia
suka atau tidak”.
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang
pasti menang. (QS. Al-Maidah: 56). (al-Fiqh
al-Manhaji 2/3 juz 4-5 hal: 60 Ahwal Syakhshiyah, Dr. Mushthafa al-Khin dan Dr.
Mushthafa al-Bugha).
Dari defenisi diatas Qadhi Sultan
atau Wali Hakim memiliki makna dan tujuan yang sama, hanya saja
dikalangan masyarakat, Wali Hakim lebih populer di bandingkan dengan Qadi
Sultan.
"Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat”. (QS. An-Nisaa’ : 58)
B. PENGERTIAN QADI SULTAN DAN WALI HAKIM
Qadi
berasal dari kata qodho – yaqdhi – qodhoan – dalam tinjauan bahasa dapat diartikan
dengan makna hakim, sedangkan kata qadi merupakan kata sifat (isim fail) yang
berarti yang memutuskan hukum. Kata sultan berasal dari kata : salatha -
yaslithu – sulthanan dengan makna penguasa.
Qadi
dalam kajian syariat : “Penyelesaian diantara dua pihak bertikai sesuai dengan
syariat”.
“dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya”. (QS. Al-Isra’: 23) (al-Tahdzib Fi-Adillati
Matni al-Ghayah wa-Altaqrib, Dr. Mushthafa Dib al-Bugha hal: 258).
Dikalangan masyarakat Indonesia
penggunaan Qadhi dengan sebutan Tuan Qadi sama dengan penghulu
atau asisten pencatat nikah. Penggunaan itu sebenarnya salah jika ditelusuri
dari makna sebenarnya dari kata al-Qodhi. Karena pada dasarnya seorang Qadi
(dengan makna yang dipahami sekarang)
belum bisa bertindak sebagai wali nikah.
C. CARA PENGANGKATAN WALI HAKIM ATAU WALI SULTAN
Dijelaskan
dalam kitab : al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i jilid II halaman 237 : “Karya
Imam Gozali Rahimahullah : Sesungguhnya mengangkat wali atau qadi hukumnya
adalah fardhu kifayah, karena mentauliyah seorang hakim atau qadi mengandung
maslahat bagi semua orang, namun memegang kedudukan sebagai hakim atau qadi
bukanlah hal yang enteng dan mudah, pada jabatan itu cukup membahayakan bagi
dirinya, jika ia tidak yakin benar bahwa ia sanggup mengemban tugas. Mengemban
tugas sebagai wali hakim atau sultan tanpa meminta adalah tindakan terpuji, dan
menuntut untuk menjadi hakim sangat tercela. Jika ada yang lebih baik dari pada
dirinya maka haram ia meminta jabatan itu”.
D. APA SAJA SYARAT-SYARAT SAH MENDUDUKI SEBAGAI
WALI HAKIM?,
Kriteria
seorang qadi atau hakim harus seorang yang merdeka (hurriyah),
laki-laki, memiliki kafasitas ilmu pada tingkat mujtahid, memiliki wawasan
berpikir luas (bashiran), adil, baligh. Maka tidak boleh seorang wanita
menjadi qadi (hakim), seorang buta, anak-anak, fasik, bodoh dan muqollid
(kafasitas ilmu terbatas). Seorang yang mahir dalam satu aliran madzhab saja
maka ia boleh berfatwa melalui fatwa imam yang diikutnya. Seandainya
kriteria-kritera tersebut sulit untuk didapat, pada zamannya diwarnai
kefasikan, dalam keadaan darurat
penguasa boleh mengangkat wali hakim walaupun wali hakim yang diangkat
tidak mencapai derajat mujtahid. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid
kedua halaman: 237 ).
E. KAPANKAH
HAK PERWALIAN BERPINDAH KEPADA WALI HAKIM?
Perpindahan
wali kepada wali hakim tidak dapat dilakukan dengan keinginan pihak dua memplai
atau keinginan pihak tertentu yang menganggap dirinya sebagai wali hakim. Para
ulama mujtahid dan imam telah menjelaskan secara terang benderang kapan
bolehnya hak perwalian berpindah kepada wali hakim. Berkata Imam Syafi’i
Rahimahullahu Ta’ala : “Seorang wali sultan (wali hakim) boleh menikahkan
wanita balighah hanya pada ketika walinya tidak ada sama sekali, atau walinya
enggan menikahkan perempuan mereka yang sudah mencapai baligh akil dengan
seorang laki-laki kufu’ atau setara jika ia minta untuk dinikahkan (‘adhol)”.
(al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 215. Dr. Wahbah Zuhaily), atau
walinya sedang gaib (tidak tau keberadaannya). (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam
al-Syafi’i jilid kedua halaman 11).
Imam Muhyiddin Abi Zakariya Bin Syraf al-Nawawi wafat : 631-676
H Rahimahullahu Ta’ala berkata : “Wali Hakim (Wali Sultan) tidak boleh
bertindak sebagai wali bagi wanita lain jika wali kirabatnya masih berada jarak
dibawah dua marhalah”. (Minhaju al-Thalibin wa al Umdat al- Muftin hal: 377).
Syekh Dr. Wahbah Zuhaily berkata : “Tidak ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama bahwa wali sultan pengganti wali nikah, jika semua wali tidak
ada sama sekali atau karena semua wali adhol (enggan menikahkan)”, berdasarkan
hadis Aisyah R.Ah : “Sultan adalah menjadi wali bagi yang tidak ada walinya”.
Maksud sultan disini adalah : “Imam atau hakim atau wakil dari imam”. (al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily).
Ulama telah membagi wali kepada dua bagian yaitu: Wali Mujbir dan Wali
Ghoro Mujbir. Wali Mujbir ialah wali tersebut memiliki wewenang untuk memaksa
wanita yang akan menikah dan mereka itu adalah ayah kandung, kakek kandung, dan
laki-laki yang memerdekakan hambanya. Dan ghoiro mujbir selain dari yang
tiga tersebut.
Urutan
wali menurut mazdhab Syafi’i sebagai berikut :
1.
Ayah kandung (mujbir),
2.
Kakek kandung (mujbir
jika tidak ada ayah kandung),
3.
Saudara-saudara
kandung,
4.
Saudara-saudara
sebapak,
5.
Anak saudara
kandung,
6.
Anak saudara
sebapak,
7.
Paman kandung,
8.
Anak paman
kandung,
9.
Anak paman
sebapak,
10. Seluruh ashobah pada pembagian warisan,
11. Mu’tiq (yang memerdekakannya) (mujbir bagi yang
dimerdekakannya menurut qoul yang paling ashoh),
12. Ashobahnya sesuai urutan,
13. Wali sultan (wali hakim) (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily,
14. Terakhir dan paling lemah wali muhakkam jika para
wali yang sebelumnya tidak ada.
F. PENGERTIAN WALI MUHAKKAM
(MENGANGKAT SESEORANG SEBAGAI WALI
HAKIM BAGI DIRINYA)
Wali
Muhakkam dapat diberlakukan jika seorang wanita yang ingin menikah
tidak memiliki wali sama sekali atau dia tinggal disatu tempat yang tidak
memiliki aktifitas pemerintahan, demikian juga jika ia tidak memungkinkan untuk
menjangkau wali hakim karena kediamannya sangat terpencil.
Berkata iamam al-Qurthubi: Dan
apabila keberadaan seorang wanita tinggal disatu tempat yang tidak memiliki
penguasa dan tidak memiliki wali sama sekali, maka ketika itu ia boleh
menyerahkan perwaliannya kepada orang yang ia percayai dari tetangganya untuk
menikahkannya. (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120 merujuk kepada
al-Jami’ Li Ahkam al-Quran hal 79 juz 3, Sayyid Sabiq).
Demikian
juga mazdhab Imam Malik Rahimahullah Ta’ala : Wanita yang lemah tidak memiliki
wali tidak memungkinkan untuk menemui Qadi Sultan atau Wali Hakim maka yang
bertindak sebagai walinya adalah orang-orang Islam lainnya.
Dan
berkata Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala : “Apabila ada seoarang wanita dalam
satu perjalanan jauh (seperti berada di atas kapal laut bersama penumpang
lainnya) dia tidak memiliki wali dan tidak ada Qadi Sultan atau Wali Hakim maka
ia boleh mengangkat seorang laki-laki
sebagai walinya untuk menikahkannya, sebab keadaan itu termasuk dalam
pengertian tahkim atau muhakkam yang menempati posisi wali hakim.
(Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120-121, Sayyid Sabiq).
Para ulama fiqh telah mengurutkan
hak perwalian sesuai urutannya, jika urutan tersebut dilanggar maka nikahnya
tidak sah, dan wali muhakkam berada pada urutan terakhir sesudah wali
hakim atau wali sultan. Al-Allamah syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Milibari
dalam kitabnya Fathul Muin Bi Syarhi Qurrot al-‘Ain hal: 104. Urutannya
berpindah kepada wali hakim sebagai berikut :
1.
Jika
semua wali nasab dan ashobah tidak ada, atau walinya gaib, jauh dan sulit untuk
dijangkau (disini perlu kajian dengan dikaitkannya dengan sulit untuk
dijangkau, sekarang sudah banyak kemudahan walaupun sudah melewati jarak dua
marhalah, maka jika jarak tempuh yang sangat jauh sekarang sudah mudah diakses
maka illat jarak dua marhalah dapat diabaikan, sebagai tindakan prefentif illat dua marhalah dapat diabaikan, agar
tidak sesuka wali hakim mengarahkan pernikahan kepada wali hakim apabila
walinya berada pada jarak dua marhalah),
2.
Ada wali
nasab tinggal di satu tempat namun tidak mungkin hadir seperti ada ancaman
terhadap dirinya walaupun jaraknya dekat,
3.
Wali
hilang dan tidak jelas apakah masih hidup atau tidak, dan pada saat itu tidak
ada wali nasab lainnya sama sekali,
4.
Terjadi
adhol, walinya enggan untuk menikahkannya,
5.
Jika
urutan sebelumnya tidak ada maka pindah kepada wali hakim,
6.
Jatuh
kepada wali muhakkam jika wali hakim tidak ada sama sekali.
Kejadian yang mungkin terjadi seperti yang disebutkan Imam Qurthubi,
Imam Malik dan Imam Syafi’i sulit dikatakan terjadi dizaman sekarang ini, dan
itu bersifat kasuistik, apalagi masyarakat yang tinggal di perkotaan seperti
kota kisaran atau Kabupaten Asahan tidak ada lagi namanya wali muhakkam
dikarenakan wali hakim sudah tersedia dengan mudah dan semua orang tau
kedudukannya. Jika wali muhakkam sangat sulit terwujud maka lebih tidak
memungkinkan seseorang menganggap atau mengangkat dirinya sebagai wali hakim.
Tindakan mengangkat dirinya sebagai wali hakam dalam kondisi sekarang merupakan
tindakan illegal secara syar’i dan wajib menghentikannya. Apabila ia bertindak
sebagai wali maka pernikahan itu bathil dan tidak sah sama sekali dan dianggap
sebagai kejahatan yang sangat membahayakan bagi agama dan umat.
Berkata Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Bin
Muhammad al-Husni al-Dimasyqi al-Syafi’I : “Inilah urutan yang telah kami
sebutkan tentang para wali, jika ada urutan yang lebih dekat maka wali yang
lebih jauh tidak boleh menikahkan, karena wali yang lebih dekat menempati
ashobah pada warisan, maka jika seseorang menikahkan menyalahi urutan dan
tertib wali tersebut, maka nikahnya tidak sah”. (Kifayat al-Akhyar fi Halli
Ghoyat al-Ikhtishor hal: 477-478).
G. KEDUDUKAN WALI SULTAN ATAU WALI HAKIM
Wali
sultan adalah wali yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi, sedangkan wali
hakim lebih cenderung dipahami sebagai perpanjangan tangan dari wali sultan,
atau yang ditugaskannya sebagai wakilnya disuatu tempat dan wali sultan
merupakan perpanjangan tangan dari al-Imam (pemimpin tertinggi). Di Indonesia
sebutan Wali Sultan tidak begitu populer, sejauh ini dimasyarakat lebih
dikenal dengan Wali Hakim.
Jika Wali Sultan bertindak sebagai
pengayom rakyatnya, maka ia tidak boleh tersembunyi atau bersifat rahasia umum,
bahkan seorang wali harus diperkenalkan dimana dan bagaimana kedudukannya, baik
Wali Sultan atau Wali Hakim harus diketahui oleh semua pihak, semua lapisan
masyarakat. Namun sekarang untuk publikasi seorang Wali Hakim terlibih dalam Wali
Hakim Nikah sudah lebih mudah dikenal melalui Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat.
Imam
mujtahid Muhammad bin Idris al-Syafi’i Rahimahullah menjelaskan bagaimana dan
dimana posisi seorang wali sultan, sebagai berikut :
1.
Kehadiran
seorang wali hakim harus terlebih dahulu di publikasikan kekhalayak ramai
sebelum ia menjalankan tugasnya sebagai wali hakim. Dan kedudukannya sebagai
wali hakim haruslah disertai dengan tanda bukti pengangkatannya atau dua saksi
yang dipercaya. (Di zaman sekarang dikenal dengan SK Pengankatan).
2.
Seorang Wali
Hakim harus lebih sering memeriksa dan mengamati perkara orang yang terkait
dengan kasus hukum, jika ada yang terzalimi agar segara melepaskannya, begitu
juga dengan kasus pelaku kejahatan agar segera diselesaikan dengan bukti-bukti
yang dapat dipertanggung jawabkan (poin kedua ini sekarang dikenal dengan Hakim
Pengadilan).
3.
Seorang hakim
diharuskan mengangkat seorang juru tulis atau panitra, demikian juga menyiapkan
pembela dan penerjamah lebih dari satu orang, bersikap adil, punya harga diri
(‘afif) dan tidak rakus dengan harta benda.
4.
Seorang hakim
dituntut memposisikan diri pada tempat terhormat, memiliki aula majelis yang
luas. Dan karakter seorang hakim dituntut bersikap sabar pada kaondisi panas
atau dingin dan sulit.
5.
Seorang Kadi (hakim)
tidak boleh memutuskan hukum dalam keadaan marah, dalam keadaan lapar atau
dalam keadaan labil. Dalam setiap putusan dituntut untuk mengarsipkan amar putusan.
6.
Sebelum
melaksanakan tugas terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan para ulama fiqh
dan selalu bermusyawarah agar terhindar dari tuduhan-tuduhan.
Seorang
wali hakim dituntut untuk tidak membuat transaksi jual beli dengan sendiri atau
melalui asisten pribadinya untuk menghindari rasa toleran dalam jual beli.
Tidak dibenarkan menerima hadiah dari pihak-pihak bertikai, jika ia menerimanya
maka tindakan itu termasuk haram. Dan lebih baik ia menghindar dari pemberian
hadiah dari orang yang sudah akrab selama ini dengannya dan biasa bertandang
kerumahnya. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i jilid kedua halaman :
239/240).
Imam Abi
al-Hasan Yahya bin al-Khair Salim al-Imrani al-Syafi’i al-Yamani (489-558 H)
menjelaskan dalam kitabnya al-Bayan Fi al-Madzhaf al-Syafi’i Jilid 13 hal:
11-13) : Manusia dalam masalah menjabat sebagai Qadi atau Wali Hakim ada pada
tiga kategori, yaitu : Pertama: Fardu ‘Ain, kedua: Haram untuk
dijabatnya dan ketiga: Fardu kifayah.
Apabila seseorang memiliki kemampuan untuk ber ijtihad, amanah dan
tidak ada yang mampu untuk menjabat kedudukan tersebut, maka wajib atasnya
untuk menjabat sebagai hakim sebab hukumnya ketika itu jatuh menjadi fardu ‘ain,
dan wajib bagi imam untuk mengangkatnya sebagai qadi atau hakim. Seorang yang
tidak mampu berijtihad atau keilmuannya terbatas, atau dianggap mampu untuk
berijtid namun tergolong fasik, maka tidak boleh ia menjabat sebagai qadi, dan
seandainya imam mengangkatnya sebagai qadi maka keputusannya tidak sah. Apabila
ahli ijtihad dan memiliki sifat amanah lebih dari satu orang maka hukumnya
fardu kifayah, dia boleh menjabat dan boleh juga ditinggalkannya jika sudah
diemban yang setara dengannya.
H. PENUTUP DAN KESIMPULAN
Dari
diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Mengangkat diri
sendiri sebagai Wali Hakim tidak sah sama sekali, apa bila ia bertindak sebagai
Wali Hakim maka aqadnya bathil,
2.
Wali Hakim dapat
dijadikan sebagai wali, jika Wali Nasab atau Wali Qirabat tidak ada sama
sekali,
3.
Pengangkatan Wali
Hakim dilakukan dengan dua cara, pertama: Pengangkatan melalui
pemerintahan yang sah sebagai perpanjangan tangan dari imam atau wali sultan. sebagai landasan hukum hadis Nabi SAW:
عن
عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أيما إمرأة نكحت
بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها، فإن
اشتجروا فالسلطان ولي من لاولي له" أخرجه الأربعة إلا النسائي وصححه أبوا
عوانة وابن حبان والحاكم بلوغ
المرام من أدلة الأحكام 211-212
Kedua: Pengangkatan
yang dilakukan oleh ahlil halli wa al-Aqdi dan di publikasikan kepada
seluruh masyarakat. Berlandaskan hadis Nabi SAW bersumber dari Abdullah Bin
Amar:
لايحل لثلاثة يكونون في فلاة من الارض، الا
أمروا عليهم أحدهم. رواه الإمام أحمد
وعن
أبي سعيد :"إذا خرج ثلاثة في سفر، فليؤمروا أحدهم". رواه أبو داود. وقال
ابن كثير: فيؤخذ من ذلك وجوبولاية القضاء بطريق الأولى.
(Irsyadul Faqih Ila
Ma’rifat Adillat al-Tanbih, jilid 2 hal 389, Imam al- Hafidz al- Mufassir al-Faqih
Ismail Bin Kastir).
4.
Orang yang tidak
memiliki kafasitas keilmuan yang memadai di bidangnya, maka tidak layak
diangkat menjadi wali hakim, syarat wali hakim harus memahami Alquran, hadis
dan madzhab para ulama mujtahid.
5.
Wali muhakkam
diberlakukan jika urutan dan tertib hak perwalian yang diatasnya tidak ada, jika masih ada wali nasab, qirabat
atau wali sultan/wali hakim kosong maka wali muhakkam tidak berlaku.
6.
Mengakui diri
sendiri sebagai wali hakim kedudukannya sangat lemah dan tidak mendasar, bahkan
tidak sampai ketingkat wali muhakkam.
7.
Tindakan wali
hakim yang tidak resmi yang ada sekarang ini, telah membuka pintu perzinahan
dan prostitusi dibalik bahasa wali hakim, yang harus diberantas dan pernikahan
yang telah dilakukannya telah melanggar hukum agama dan hukum negara, dan
mereka wajib bertaubat dan mengulangi pernikahan mereka dengan wali yang sah.
Anak keturunan yang terlahir dari hasil pernikahan wali hakim palsu adalah anak
keturunan yang tidak sah dan paling rendah anak tersebut anak syubhat.
8.
Disinyalir ada
oknum masyarakat yang tinggal dikota kisaran dan sekitarnya menganggap dirinya
sebagai wali hakim. Dihimbau kepada masyarakat agar mewaspadai praktek
perwalian palsu yang menamakan dirinya sebagai wali hakim, karena taruhannya
merusak keturunan dan akan makin banyak anak yang tidak sah dari praktek
tersebut. Wallahu A’lam Bi al-Showab.
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusDengan penjelasan di atas, bisa di simpulkan bahwa :
*-Di negara indonesia ini tidak mungkin atau tidak bisa mengangkat wali muhakkam, karena semua daerah bahkan sampai pelosok sdh ada wakil dari sultan,
Lalu pertanyaannya,
a. Apakah yang menjadi hakim baik di pusat atau di daerah sudah masuk dalam kriteria hakim secara hukum syariat.....?
b. Jika tidak memenuhi kriteria di atas, masih tidak bisakah mengangkat wali muhakkam yg lain.....?
c. Yang menjadi acuan dari penjelasan di atas, adalah penuduhan zina pada praktek yang di lakukan oleh muhakkam yang di bawah, lalu bagaimana dgn seorang hakim yang di sahkan pemerintah tapi tidak masuk dalam kriteria hukum agama, tidakkah itu juga berakibat pada rusaknya nikah dan terjadi perzinahan......?