Kamis, 26 Februari 2015

WALI HAKIM DAN QADI SULTAN DALAM PROSFEKTIF FIQH



WALI HAKIM DAN QADI SULTAN  DALAM PROSFEKTIF FIQH

Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA


A.   MUKADDIMAH
            Pada akhir-akhir ini praktek prostitusi semakin marak, rumah-rumah kos terselubung semakin menjamur, semi lokalisasi kejahatan terorganisasi semakin memprihatinkan. Tapi dibalik itu semua ada praktek yang belum terungkap secara terang benderang yang mengatas namakan dirinya Wali Hakim atau Wali al-Sultan.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara pengangkatan Wali Hakim atau Wali Sultan?, Apa saja syarat-sayrat sah menduduki sebagai Wali Hakim?, Kapankah  hak perwalian berpindah kepada Wali Hakim? Apakah pengertian Wali Muhakkam (mengangkat seseorang sebagai wali hakim bagi dirinya)?, Bagaimana kedudukan Wali Sultan atau Wali Hakim?.
Pertanyaan-pertanyaan terdahulu perlu dikupas dengan jelas dan terang agar masyarakat tidak terjebak dengan praktek legalisasi pernikahan dengan kedok “Wali Hakim”.
Makna wali ditinjau dari segi lughah datang dengan makna “Mahabbah” dan “Nushrah” sedangkan menurut tinjauan syariat : “Menetapkan satu keputusan tetap dengan ucapan atau shighah terhadap orang lain yang tidak memiliki kuasa atas dirinya, sama ada ia suka atau tidak”.
 

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS. Al-Maidah: 56). (al-Fiqh al-Manhaji 2/3 juz 4-5 hal: 60 Ahwal Syakhshiyah, Dr. Mushthafa al-Khin dan Dr. Mushthafa al-Bugha).
            Dari defenisi diatas Qadhi Sultan atau Wali Hakim memiliki makna dan tujuan yang sama, hanya saja dikalangan masyarakat, Wali Hakim lebih populer di bandingkan dengan Qadi Sultan.

"Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. An-Nisaa’ : 58)

B.   PENGERTIAN QADI SULTAN DAN WALI HAKIM
            Qadi berasal dari kata qodho – yaqdhi – qodhoan – dalam tinjauan bahasa dapat diartikan dengan makna hakim, sedangkan kata qadi merupakan kata sifat (isim fail) yang berarti yang memutuskan hukum. Kata sultan berasal dari kata : salatha - yaslithu – sulthanan dengan makna penguasa.
            Qadi dalam kajian syariat : “Penyelesaian diantara dua pihak bertikai sesuai dengan syariat”.
  
“dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-Isra’: 23) (al-Tahdzib Fi-Adillati Matni al-Ghayah wa-Altaqrib, Dr. Mushthafa Dib al-Bugha hal: 258).

            Dikalangan masyarakat Indonesia penggunaan Qadhi dengan sebutan Tuan Qadi sama dengan penghulu atau asisten pencatat nikah. Penggunaan itu sebenarnya salah jika ditelusuri dari makna sebenarnya dari kata al-Qodhi. Karena pada dasarnya seorang Qadi (dengan makna yang dipahami sekarang)  belum bisa bertindak sebagai wali nikah.

C.   CARA PENGANGKATAN WALI HAKIM ATAU WALI SULTAN
            Dijelaskan dalam kitab : al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i jilid II halaman 237 : “Karya Imam Gozali Rahimahullah : Sesungguhnya mengangkat wali atau qadi hukumnya adalah fardhu kifayah, karena mentauliyah seorang hakim atau qadi mengandung maslahat bagi semua orang, namun memegang kedudukan sebagai hakim atau qadi bukanlah hal yang enteng dan mudah, pada jabatan itu cukup membahayakan bagi dirinya, jika ia tidak yakin benar bahwa ia sanggup mengemban tugas. Mengemban tugas sebagai wali hakim atau sultan tanpa meminta adalah tindakan terpuji, dan menuntut untuk menjadi hakim sangat tercela. Jika ada yang lebih baik dari pada dirinya maka haram ia meminta jabatan itu”.

D.   APA SAJA SYARAT-SYARAT SAH MENDUDUKI SEBAGAI WALI HAKIM?,
            Kriteria seorang qadi atau hakim harus seorang yang merdeka (hurriyah), laki-laki, memiliki kafasitas ilmu pada tingkat mujtahid, memiliki wawasan berpikir luas (bashiran), adil, baligh. Maka tidak boleh seorang wanita menjadi qadi (hakim), seorang buta, anak-anak, fasik, bodoh dan muqollid (kafasitas ilmu terbatas). Seorang yang mahir dalam satu aliran madzhab saja maka ia boleh berfatwa melalui fatwa imam yang diikutnya. Seandainya kriteria-kritera tersebut sulit untuk didapat, pada zamannya diwarnai kefasikan, dalam keadaan darurat  penguasa boleh mengangkat wali hakim walaupun wali hakim yang diangkat tidak mencapai derajat mujtahid. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 237 ).

E.   KAPANKAH  HAK PERWALIAN BERPINDAH KEPADA WALI HAKIM?
Perpindahan wali kepada wali hakim tidak dapat dilakukan dengan keinginan pihak dua memplai atau keinginan pihak tertentu yang menganggap dirinya sebagai wali hakim. Para ulama mujtahid dan imam telah menjelaskan secara terang benderang kapan bolehnya hak perwalian berpindah kepada wali hakim. Berkata Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala : “Seorang wali sultan (wali hakim) boleh menikahkan wanita balighah hanya pada ketika walinya tidak ada sama sekali, atau walinya enggan menikahkan perempuan mereka yang sudah mencapai baligh akil dengan seorang laki-laki kufu’ atau setara jika ia minta untuk dinikahkan (‘adhol). (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 215. Dr. Wahbah Zuhaily), atau walinya sedang gaib (tidak tau keberadaannya). (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’i jilid kedua halaman 11).
            Imam Muhyiddin Abi Zakariya Bin Syraf al-Nawawi wafat : 631-676 H Rahimahullahu Ta’ala berkata : “Wali Hakim (Wali Sultan) tidak boleh bertindak sebagai wali bagi wanita lain jika wali kirabatnya masih berada jarak dibawah dua marhalah”. (Minhaju al-Thalibin wa al Umdat al- Muftin hal: 377).
Syekh Dr. Wahbah Zuhaily berkata : “Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa wali sultan pengganti wali nikah, jika semua wali tidak ada sama sekali atau karena semua wali adhol (enggan menikahkan)”, berdasarkan hadis Aisyah R.Ah : “Sultan adalah menjadi wali bagi yang tidak ada walinya”. Maksud sultan disini adalah : “Imam atau hakim atau wakil dari imam”. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily).
Ulama telah membagi wali kepada dua bagian yaitu: Wali Mujbir dan Wali Ghoro Mujbir. Wali Mujbir ialah wali tersebut memiliki wewenang untuk memaksa wanita yang akan menikah dan mereka itu adalah ayah kandung, kakek kandung, dan laki-laki yang memerdekakan hambanya. Dan ghoiro mujbir selain dari yang tiga tersebut.
Urutan wali menurut mazdhab Syafi’i sebagai berikut :
1.      Ayah kandung (mujbir),
2.      Kakek kandung (mujbir jika tidak ada ayah kandung),
3.      Saudara-saudara kandung,
4.      Saudara-saudara sebapak,
5.      Anak saudara kandung,
6.      Anak saudara sebapak,
7.      Paman kandung,
8.      Anak paman kandung,
9.      Anak paman sebapak,
10.  Seluruh ashobah pada pembagian warisan,
11.  Mu’tiq (yang memerdekakannya) (mujbir bagi yang dimerdekakannya menurut qoul yang paling ashoh),
12.  Ashobahnya sesuai urutan,
13.  Wali sultan (wali hakim) (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily,
14.  Terakhir dan paling lemah wali muhakkam jika para wali yang sebelumnya tidak ada.

F.   PENGERTIAN WALI MUHAKKAM
      (MENGANGKAT SESEORANG SEBAGAI WALI HAKIM BAGI DIRINYA)
Wali Muhakkam dapat diberlakukan jika seorang wanita yang ingin menikah tidak memiliki wali sama sekali atau dia tinggal disatu tempat yang tidak memiliki aktifitas pemerintahan, demikian juga jika ia tidak memungkinkan untuk menjangkau wali hakim karena kediamannya sangat terpencil.
            Berkata iamam al-Qurthubi: Dan apabila keberadaan seorang wanita tinggal disatu tempat yang tidak memiliki penguasa dan tidak memiliki wali sama sekali, maka ketika itu ia boleh menyerahkan perwaliannya kepada orang yang ia percayai dari tetangganya untuk menikahkannya. (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120 merujuk kepada al-Jami’ Li Ahkam al-Quran hal 79 juz 3, Sayyid Sabiq).
            Demikian juga mazdhab Imam Malik Rahimahullah Ta’ala : Wanita yang lemah tidak memiliki wali tidak memungkinkan untuk menemui Qadi Sultan atau Wali Hakim maka yang bertindak sebagai walinya adalah orang-orang Islam lainnya.
            Dan berkata Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala : “Apabila ada seoarang wanita dalam satu perjalanan jauh (seperti berada di atas kapal laut bersama penumpang lainnya) dia tidak memiliki wali dan tidak ada Qadi Sultan atau Wali Hakim maka ia boleh  mengangkat seorang laki-laki sebagai walinya untuk menikahkannya, sebab keadaan itu termasuk dalam pengertian tahkim atau muhakkam yang menempati posisi wali hakim. (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120-121, Sayyid Sabiq).
            Para ulama fiqh telah mengurutkan hak perwalian sesuai urutannya, jika urutan tersebut dilanggar maka nikahnya tidak sah, dan wali muhakkam berada pada urutan terakhir sesudah wali hakim atau wali sultan. Al-Allamah syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Milibari dalam kitabnya Fathul Muin Bi Syarhi Qurrot al-‘Ain  hal: 104. Urutannya berpindah kepada wali hakim sebagai berikut :
1.      Jika semua wali nasab dan ashobah tidak ada, atau walinya gaib, jauh dan sulit untuk dijangkau (disini perlu kajian dengan dikaitkannya dengan sulit untuk dijangkau, sekarang sudah banyak kemudahan walaupun sudah melewati jarak dua marhalah, maka jika jarak tempuh yang sangat jauh sekarang sudah mudah diakses maka illat jarak dua marhalah dapat diabaikan, sebagai tindakan prefentif  illat dua marhalah dapat diabaikan, agar tidak sesuka wali hakim mengarahkan pernikahan kepada wali hakim apabila walinya berada pada jarak dua marhalah),
2.      Ada wali nasab tinggal di satu tempat namun tidak mungkin hadir seperti ada ancaman terhadap dirinya walaupun jaraknya dekat, 
3.      Wali hilang dan tidak jelas apakah masih hidup atau tidak, dan pada saat itu tidak ada wali nasab lainnya sama sekali,
4.      Terjadi adhol, walinya enggan untuk menikahkannya,
5.      Jika urutan sebelumnya tidak ada maka pindah kepada wali hakim,
6.      Jatuh kepada wali muhakkam jika wali hakim tidak ada sama sekali. 
           
Kejadian yang mungkin terjadi seperti yang disebutkan Imam Qurthubi, Imam Malik dan Imam Syafi’i sulit dikatakan terjadi dizaman sekarang ini, dan itu bersifat kasuistik, apalagi masyarakat yang tinggal di perkotaan seperti kota kisaran atau Kabupaten Asahan tidak ada lagi namanya wali muhakkam dikarenakan wali hakim sudah tersedia dengan mudah dan semua orang tau kedudukannya. Jika wali muhakkam sangat sulit terwujud maka lebih tidak memungkinkan seseorang menganggap atau mengangkat dirinya sebagai wali hakim. Tindakan mengangkat dirinya sebagai wali hakam dalam kondisi sekarang merupakan tindakan illegal secara syar’i dan wajib menghentikannya. Apabila ia bertindak sebagai wali maka pernikahan itu bathil dan tidak sah sama sekali dan dianggap sebagai kejahatan yang sangat membahayakan bagi agama dan umat.
            Berkata Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husni al-Dimasyqi al-Syafi’I : “Inilah urutan yang telah kami sebutkan tentang para wali, jika ada urutan yang lebih dekat maka wali yang lebih jauh tidak boleh menikahkan, karena wali yang lebih dekat menempati ashobah pada warisan, maka jika seseorang menikahkan menyalahi urutan dan tertib wali tersebut, maka nikahnya tidak sah”. (Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghoyat al-Ikhtishor hal: 477-478).

G.   KEDUDUKAN WALI SULTAN ATAU WALI HAKIM
            Wali sultan adalah wali yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi, sedangkan wali hakim lebih cenderung dipahami sebagai perpanjangan tangan dari wali sultan, atau yang ditugaskannya sebagai wakilnya disuatu tempat dan wali sultan merupakan perpanjangan tangan dari al-Imam (pemimpin tertinggi). Di Indonesia sebutan Wali Sultan tidak begitu populer, sejauh ini dimasyarakat lebih dikenal dengan Wali Hakim.
            Jika Wali Sultan bertindak sebagai pengayom rakyatnya, maka ia tidak boleh tersembunyi atau bersifat rahasia umum, bahkan seorang wali harus diperkenalkan dimana dan bagaimana kedudukannya, baik Wali Sultan atau Wali Hakim harus diketahui oleh semua pihak, semua lapisan masyarakat. Namun sekarang untuk publikasi seorang Wali Hakim terlibih dalam Wali Hakim Nikah sudah lebih mudah dikenal melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Imam mujtahid Muhammad bin Idris al-Syafi’i Rahimahullah menjelaskan bagaimana dan dimana posisi seorang wali sultan, sebagai berikut :
1.      Kehadiran seorang wali hakim harus terlebih dahulu di publikasikan kekhalayak ramai sebelum ia menjalankan tugasnya sebagai wali hakim. Dan kedudukannya sebagai wali hakim haruslah disertai dengan tanda bukti pengangkatannya atau dua saksi yang dipercaya. (Di zaman sekarang dikenal dengan SK Pengankatan).
2.      Seorang Wali Hakim harus lebih sering memeriksa dan mengamati perkara orang yang terkait dengan kasus hukum, jika ada yang terzalimi agar segara melepaskannya, begitu juga dengan kasus pelaku kejahatan agar segera diselesaikan dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan (poin kedua ini sekarang dikenal dengan Hakim Pengadilan).
3.      Seorang hakim diharuskan mengangkat seorang juru tulis atau panitra, demikian juga menyiapkan pembela dan penerjamah lebih dari satu orang, bersikap adil, punya harga diri (‘afif) dan tidak rakus dengan harta benda.
4.      Seorang hakim dituntut memposisikan diri pada tempat terhormat, memiliki aula majelis yang luas. Dan karakter seorang hakim dituntut bersikap sabar pada kaondisi panas atau dingin dan sulit.
5.      Seorang Kadi (hakim) tidak boleh memutuskan hukum dalam keadaan marah, dalam keadaan lapar atau dalam keadaan labil. Dalam setiap putusan dituntut untuk mengarsipkan  amar putusan.
6.      Sebelum melaksanakan tugas terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan para ulama fiqh dan selalu bermusyawarah agar terhindar dari tuduhan-tuduhan.

Seorang wali hakim dituntut untuk tidak membuat transaksi jual beli dengan sendiri atau melalui asisten pribadinya untuk menghindari rasa toleran dalam jual beli. Tidak dibenarkan menerima hadiah dari pihak-pihak bertikai, jika ia menerimanya maka tindakan itu termasuk haram. Dan lebih baik ia menghindar dari pemberian hadiah dari orang yang sudah akrab selama ini dengannya dan biasa bertandang kerumahnya. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i jilid kedua halaman : 239/240).
            Imam Abi al-Hasan Yahya bin al-Khair Salim al-Imrani al-Syafi’i al-Yamani (489-558 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Bayan Fi al-Madzhaf al-Syafi’i Jilid 13 hal: 11-13) : Manusia dalam masalah menjabat sebagai Qadi atau Wali Hakim ada pada tiga kategori, yaitu : Pertama: Fardu ‘Ain, kedua: Haram untuk dijabatnya dan ketiga: Fardu kifayah.
Apabila seseorang memiliki kemampuan untuk ber ijtihad, amanah dan tidak ada yang mampu untuk menjabat kedudukan tersebut, maka wajib atasnya untuk menjabat sebagai hakim sebab hukumnya ketika itu jatuh menjadi fardu ‘ain, dan wajib bagi imam untuk mengangkatnya sebagai qadi atau hakim. Seorang yang tidak mampu berijtihad atau keilmuannya terbatas, atau dianggap mampu untuk berijtid namun tergolong fasik, maka tidak boleh ia menjabat sebagai qadi, dan seandainya imam mengangkatnya sebagai qadi maka keputusannya tidak sah. Apabila ahli ijtihad dan memiliki sifat amanah lebih dari satu orang maka hukumnya fardu kifayah, dia boleh menjabat dan boleh juga ditinggalkannya jika sudah diemban yang setara dengannya.

H.   PENUTUP DAN KESIMPULAN
            Dari diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.      Mengangkat diri sendiri sebagai Wali Hakim tidak sah sama sekali, apa bila ia bertindak sebagai Wali Hakim maka aqadnya bathil,
2.      Wali Hakim dapat dijadikan sebagai wali, jika Wali Nasab atau Wali Qirabat tidak ada sama sekali,
3.      Pengangkatan Wali Hakim dilakukan dengan dua cara, pertama: Pengangkatan melalui pemerintahan yang sah sebagai perpanjangan tangan dari imam atau wali sultan. sebagai landasan hukum hadis Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أيما إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لاولي له" أخرجه الأربعة إلا النسائي وصححه أبوا عوانة وابن حبان والحاكم   بلوغ المرام من أدلة الأحكام 211-212
 Kedua: Pengangkatan yang dilakukan oleh ahlil halli wa al-Aqdi dan di publikasikan kepada seluruh masyarakat. Berlandaskan hadis Nabi SAW bersumber dari Abdullah Bin Amar:
لايحل لثلاثة يكونون في فلاة من الارض، الا أمروا عليهم أحدهم. رواه الإمام أحمد
وعن أبي سعيد :"إذا خرج ثلاثة في سفر، فليؤمروا أحدهم". رواه أبو داود. وقال ابن كثير: فيؤخذ من ذلك وجوبولاية القضاء بطريق الأولى.
(Irsyadul Faqih Ila Ma’rifat Adillat al-Tanbih, jilid 2 hal 389, Imam al- Hafidz al- Mufassir al-Faqih Ismail Bin Kastir).
4.      Orang yang tidak memiliki kafasitas keilmuan yang memadai di bidangnya, maka tidak layak diangkat menjadi wali hakim, syarat wali hakim harus memahami Alquran, hadis dan madzhab para ulama mujtahid.
5.      Wali muhakkam diberlakukan jika urutan dan tertib hak perwalian yang diatasnya  tidak ada, jika masih ada wali nasab, qirabat atau wali sultan/wali hakim kosong maka wali muhakkam tidak berlaku.
6.      Mengakui diri sendiri sebagai wali hakim kedudukannya sangat lemah dan tidak mendasar, bahkan tidak sampai ketingkat wali muhakkam.
7.      Tindakan wali hakim yang tidak resmi yang ada sekarang ini, telah membuka pintu perzinahan dan prostitusi dibalik bahasa wali hakim, yang harus diberantas dan pernikahan yang telah dilakukannya telah melanggar hukum agama dan hukum negara, dan mereka wajib bertaubat dan mengulangi pernikahan mereka dengan wali yang sah. Anak keturunan yang terlahir dari hasil pernikahan wali hakim palsu adalah anak keturunan yang tidak sah dan paling rendah anak tersebut  anak syubhat.
8.      Disinyalir ada oknum masyarakat yang tinggal dikota kisaran dan sekitarnya menganggap dirinya sebagai wali hakim. Dihimbau kepada masyarakat agar mewaspadai praktek perwalian palsu yang menamakan dirinya sebagai wali hakim, karena taruhannya merusak keturunan dan akan makin banyak anak yang tidak sah dari praktek tersebut. Wallahu A’lam Bi al-Showab.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr wb
    Dengan penjelasan di atas, bisa di simpulkan bahwa :
    *-Di negara indonesia ini tidak mungkin atau tidak bisa mengangkat wali muhakkam, karena semua daerah bahkan sampai pelosok sdh ada wakil dari sultan,
    Lalu pertanyaannya,
    a. Apakah yang menjadi hakim baik di pusat atau di daerah sudah masuk dalam kriteria hakim secara hukum syariat.....?
    b. Jika tidak memenuhi kriteria di atas, masih tidak bisakah mengangkat wali muhakkam yg lain.....?
    c. Yang menjadi acuan dari penjelasan di atas, adalah penuduhan zina pada praktek yang di lakukan oleh muhakkam yang di bawah, lalu bagaimana dgn seorang hakim yang di sahkan pemerintah tapi tidak masuk dalam kriteria hukum agama, tidakkah itu juga berakibat pada rusaknya nikah dan terjadi perzinahan......?

    BalasHapus