HUKUM MEMAKAI EMAS BAGI LAKI-LAKI, LETAK CINCIN PADA JARI
DAN HUKUM MENGGUNAKAN WADAH EMAS
ATAU PERAK
Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung,
MA
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)
Hukum dasar dari berpakaian dan
memakai perhiasan adalah halal dan boleh, baik perhiasan itu dikenakan pada
baju, tubuh, atau tempat tertentu. Dasarnya dalah firman Allah swt : “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”.1 Firman Allah : “Katakanlah: Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?...”.2 dan firman-Nya : “Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan...”.3
Menurut penafsiran Ibnu Abbas, “riisy”
di sini adalah seluruh hal yang tampak pada pakaian dan peralatan hidup
sehari-hari, baik yang dipakai maupun yang dibentangkan. Seluruh imam madzhab
sepakat bahwa diharamkan menggunakan emas dan perak bagi laki-laki dan
perempuan sebagai wadah penyimpanan (makanan dan minuman), alat-alat tulis,
alat-alat untuk berhias, dan sebagainya, yaitu diluar kepentingan jual beli.4
لَاتَشْرَبُوْا
فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهِمَا
فَاِنَّهَا لَـهُمْ – أَيْ لِلْمُشْرِكِيْنَ – فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي
الْآخِرَةِ
“Janganlah kalian
minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula makan pada
wadah yang terbuat dari keduanya. Sesungguhnya hal tersebut (wadah emas dan
perak itu) adalah untuk mereka – orang-orang musyrik – di dunia ini.
Sebaliknya, ia diperuntukkan bagi kalian di akhirat nanti”.5
Dan sabda beliau :
الَّذِي
يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّـمَا يُـجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارُ
جَهَنَّمَ
“Seorang yang
minum dari wadah yang terbuat dari perak sama saja dengan memasukkan api neraka
ke dalam perutnya”.6
Dalam hal larangan memakai wadah
emas dan perak ini, terdapat beberapa pengecualian, yaitu pemakaian untuk
hal-hal yang termasuk kategori darurat atau kebutuhan. Beberapa bentuknya
seperti : Untuk pembuatan batang hidung atau gigi palsu sebagai pengganti
hidung dan gigi seseorang yang hilang. Dalam hal ini dibolehkan menggunakan
bahan emas dan perak. Ini adalah pendapat jumhur ulama, termasuk di antaranya
Muhammad (sahabat Abu Hanifah) dan Abu Yusuf dalam salah satu riwayat yang
dinisbatkan kepadanya. Demikian juga, dibolehkan menggunakan emas dan perak pada
pedang, bingkai cermin rias, untuk melapisi mushaf, pada tali kekang kuda dan
pelananya.
Apabila penambalan bejana (wadah)
dengan perak bukan emas dengan ukuran kecil untuk kebutuhan tertentu seperti
pengikat, hukumnya tidak makruh. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dari Ashim bin Ahwal yang berkata, “Saya melihat gelas Nabi saw di
rumah Anas bin Malik. Gelas tersebut awalnya retak, lalu Anas menambalnya
dengan perak”. Adapun penambalan dengan lempengan emas diharamkan secara
mutlak, baik dengan ukuran besar atau kecil, baik karena ada kebutuhan untuk
itu maupun untuk sekedar hiasan, dan baik penggunaannya pada keseluruhan benda
atau separuhnya, sekalipun benda dimaksud hanyalah berupa tempat celak.
Selanjutnya, dibolehkan juga bagi
laki-laki dan perempuan melapisi mushaf dengan lempengan tipis dari emas dan
perak, sebagaimana dibolehkan bagi laki-laki melapisi peralatan perang seperti
pedang, tombak, dan kepala ikat pinggang dengan perak. Karena, hal itu membuat
jengkel orang-orang kafir. Adapun bagi perempuan, dilarang melapisi hal-hal
tadi dengan emas dan perak, sebagaimana tidak dibolehkan melapisi perkakas
perang yang tidak digunakan oleh laki-laki, seperti pelana dan tali kekang.
Diharamkan melapisi atap dan
dinding rumah dengan emas dan perak, baik dimungkinkan untuk mengambil sesuatu
darinya dengan mendekatkannya ke api atau tidak. Para ulama fiqih biasa melatar-belakangi
keharaman memakai emas dan perak ini dengan alasan bisa membawa pada sikap
sombong dan melampaui batas.
Adapun penggunaan wadah atau
bejana dari mineral berharga lain selain emas dan perak seperti bejana dari
yakut, zamrud, kaca, kristal, akik, batu permata (seperti zamrud), batu merjan,
mutiara, kuningan, timah, dan sebagainya, maka hal itu dibolehkan. Alasannya,
semua mineral tersebut tidak memiliki fungsi seperti emas dan perak. Selain
itu, prinsip dasar dari segala hal adalah boleh. Dalil selanjutnya adalah
dikarenakan Rasulullah saw pernah berwudhu dari bejana kuningan.7
Memakai kain sutra serta memakai cincin emas dan perak
Diharamkan bagi laki-laki memakai
kain sutra asli dan cincin emas, sementara bagi perempuan dibolehkan memakainya
dan memakai perhiasan lainnya dari emas dan perak.8
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw :
الذَّهَبُ
وَالْـحَرِيْرُ حِلٌّ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِهَا
“Emas dan
sutra dihalalkan bagi umatku yang perempuan dan diharamkan bagi yang laki-laki”.9
Juga diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib ra, “Rasulullah saw melarang memakai cincin dari emas”.10 Juga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra
:
“Suatu hari, Rasulullah saw
melihat di jari seorang laki-laki cincin dari emas. Beliau lalu mencopotnya dan
membuangnya (ke tanah) seraya berkata :
يَعْمِدُ
اَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ
“Salah
seorang dari kalian telah dengan sengaja mengambil seonggok bara api lantas
mengenakannya di tangannya”. (HR Muslim, Nashbur Raayah, jilid 4, h. 225). Juga sabda
Rasulullah saw :
إِنَّـمَا يَلْبَسُ
الْـحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا مَنْ لَاخَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
“Sesungguhnya
yang memakai kain sutra di dunia ini hanyalah orang yang tidak mempunyai bagian
sedikit pun di akhirat kelak”. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra, Nashbur
Raayah, jilid 4, h. 222).
Para imam madzhab selanjutnya
mengecualikan cincin perak untuk dipakai kaum laki-laki. Mereka membolehkan
memakainya dan menjadikannya sebagai stempel apabila ukuran perak tersebut
sedikit. Ukuran yang dibolehkan itu menurut madzhab Hanafi adalah seukuran satu
mitsqal (2,975 gram) atau kurang dari itu. Sementara menurut madzhab Maliki
dibolehkan, jika harganya tidak lebih dari dua dirham dan juga dengan syarat
mengikuti petunjuk Nabi saw dalam hal ini. Sementara itu, dalam pendapat yang
benar menurut madzhab Syafi’i adalah baru dibolehkan jika kurang dari satu mitsqal.
Adapun yang sebenarnya dijadikan
patokan dalam hal ini adalah kebiasaan dan adat yang berlaku, baik ukurannya
lebih dari satu mitasqal atau kurang. Artinya, apabila ukurannya
dipandang di luar kewajaran menurut kebiasaan, maka diharamkan memakainya.
Letak pemakaian cincin pada jari-jari menurut Sunnah Nabi
a) Memakai cincin diletakkan pada jari-jari
kelingking tangan sebelah kiri sebagaimana Rasul saw memakainya (H.R. Muslim: 2095). Namun Rasulullah juga
memakai cincin pada tangan sebelah kanan. (H.R. Ahmad: 3/265 Hasan).
b) Boleh memakai cincin pada jari manis sebelah
kanan atau kiri, dan dilarang memakainya pada jari tengah, jari telunjuk dan
ibu jari, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi SAW bersumber dari sahabat
Ali Bi Abi Tallib Ra : “Rasulullah SAW telah melarang saya untuk memakai cincin
pada dua jari ini dan ini, dan ia mengisyaratkan kepada jari tengah, telunjuk
dan ibu jari”. (H.R. Muslim: 2078).
Selanjutnya, tidak dibolehkan bagi
laki-laki memakai cincin emas sekalipun dalam situasi pinangan atau pernikahan,
dikarenakan adanya larangan dari Rasulullah saw untuk itu. Tingkat keharaman
tersebut semakin tinggi, apabila yang bersangkutan memakainya dengan tujuan
mencontoh perbuatan golongan non Muslim. Wallahu A’lam Bi al-Showab.
2 Surah al-A’raf ayat 32 : ..... قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ
اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَتِ مِنَ الرِّزْقِ
3 Surah al-A’raf ayat 26 : ..... يَبَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا
يُوَارِى سَوءَتِكُمْ وَرِيْشًا
4 Takmiilaat Fath al-Qadiir, jilid
8, h. 81-82; al-Lubaab Syarhul Kitaab, jilid 4, h. 159 dan setelahnya, Syarhur
Risaalah, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, jilid 2, h. 371-373; Haasyiyat
al-Baajuurii ‘alaa Ibni Qasim, jilid 1, h. 42; al-Mughnii, jilid 1,
h. 75-78; al-Muhadzdzab, jilid 1, h. 11; Bajirmi al-Khatiib,
jilid 3, h. 294 dan setelahnya.
5 HR Muttafaq ‘alaih dari Hudzaifah bin
Yaman (Subulus Salam, jilid 1, h. 29).
6 HR Muttafaq ‘alaih dari Ummu Salamah (Nashbur
Raayah, jilid 4, h. 220; Subulus Salaam, jilid 1, h. 30).
7 Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Abdullah bin Zaid yang berkata, “Suatu ketika, Rasulullah saw berkunjung
kerumah kami. Kami lalu menyediakan air (wudhu) untuk beliau di sebuah bejana
dari kuningan, dan beliau lantas berwudhu dengan air dari bejana itu”. Lebih
lanjut, Abu Dawud juga meriwayatkan dari Aisyah yang berkata, “Saya pernah
mandi bersama-sama Rasulullah saw dari air yang diletakkan di sebuah bejana
dari syabah (kuningan berkualitas tinggi)”.
8 Takmiilaat Fath al-Qadiir, jilid
8, h. 83 dan 91-97; al-Lubaab Syarhul Kitaab, jilid 4, h. 157-158; Tabyiinul
Haqaa’iq, jilid 6, h. 14; ad-Durul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar, jilid
5, h. 255; Syarhur Risaalah, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, jilid 2,
h. 371; Muntaqaa’alal Muwaththa’, jilid 7, h. 254; al-Muhadzdzab,
jilid 1, h. 11; Bajirmi al-Khathiib, jilid 2, h. 227-230 dan 295; Nailul
Authaar, jilid 2, h. 275-279; al-Mughnii, jilid 1, h. 588-591.
9 HR Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin
Arqam. At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari dengan lafal
lain. At-Tirmidzi berkata, “Kualitas hadis ini hasan shahih”. Selain
itu, juga banyak diriwayatkan hadis-hadis lain dengan makna senada (Nashbur
Raayah, jilid 4, h. 222-225).
10 Diriwayatkan oleh para penyusun kitab
hadis, kecuali Bukhari. At-Tirmidzi mengomentari kualitas hadis ini dengan
berkata, “Hasan shahih”. Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadis ini dalam
kitab shahihnya (Nashbur Raayah, jilid 4, h. 235).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar