Selasa, 19 Mei 2015

Hukum Memakai Emas Bagi Laki - Laki, Letak Cincin Pada Jari Dan Hukum Menggunakan Wadah Emas dan Perak

HUKUM MEMAKAI  EMAS BAGI LAKI-LAKI, LETAK CINCIN PADA JARI
DAN HUKUM MENGGUNAKAN WADAH EMAS ATAU PERAK
Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung, MA
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)

Hukum dasar dari berpakaian dan memakai perhiasan adalah halal dan boleh, baik perhiasan itu dikenakan pada baju, tubuh, atau tempat tertentu. Dasarnya dalah firman Allah swt : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”.1 Firman Allah : “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?...”.2 dan firman-Nya : “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan...”.3

Menurut penafsiran Ibnu Abbas, “riisy” di sini adalah seluruh hal yang tampak pada pakaian dan peralatan hidup sehari-hari, baik yang dipakai maupun yang dibentangkan. Seluruh imam madzhab sepakat bahwa diharamkan menggunakan emas dan perak bagi laki-laki dan perempuan sebagai wadah penyimpanan (makanan dan minuman), alat-alat tulis, alat-alat untuk berhias, dan sebagainya, yaitu diluar kepentingan jual beli.4

Dengan demikian, tidak dibolehkan menggunakan wadah emas dan perak untuk tempat makan dan minum, menaruh minyak rambut, celak, parfum, dan tempat manaruh air wudhu, sebagaimana tidak dibolehkan menggunakan jam tangan, pena, perkakas kantor, cermin, dan perkakas berhias yang terbuat dari emas dan perak. Tidak boleh juga menghias rumah dan tempat-tempat perkumpulan dengan hiasan dari emas dan perak. Semua hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw :
لَاتَشْرَبُوْا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهِمَا فَاِنَّهَا لَـهُمْ – أَيْ لِلْمُشْرِكِيْنَ – فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
“Janganlah kalian minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula makan pada wadah yang terbuat dari keduanya. Sesungguhnya hal tersebut (wadah emas dan perak itu) adalah untuk mereka – orang-orang musyrik – di dunia ini. Sebaliknya, ia diperuntukkan bagi kalian di akhirat nanti”.5 Dan sabda beliau :
الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّـمَا يُـجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارُ جَهَنَّمَ
“Seorang yang minum dari wadah yang terbuat dari perak sama saja dengan memasukkan api neraka ke dalam perutnya”.6

Dalam hal larangan memakai wadah emas dan perak ini, terdapat beberapa pengecualian, yaitu pemakaian untuk hal-hal yang termasuk kategori darurat atau kebutuhan. Beberapa bentuknya seperti : Untuk pembuatan batang hidung atau gigi palsu sebagai pengganti hidung dan gigi seseorang yang hilang. Dalam hal ini dibolehkan menggunakan bahan emas dan perak. Ini adalah pendapat jumhur ulama, termasuk di antaranya Muhammad (sahabat Abu Hanifah) dan Abu Yusuf dalam salah satu riwayat yang dinisbatkan kepadanya. Demikian juga, dibolehkan menggunakan emas dan perak pada pedang, bingkai cermin rias, untuk melapisi mushaf, pada tali kekang kuda dan pelananya.

Apabila penambalan bejana (wadah) dengan perak bukan emas dengan ukuran kecil untuk kebutuhan tertentu seperti pengikat, hukumnya tidak makruh. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ashim bin Ahwal yang berkata, “Saya melihat gelas Nabi saw di rumah Anas bin Malik. Gelas tersebut awalnya retak, lalu Anas menambalnya dengan perak”. Adapun penambalan dengan lempengan emas diharamkan secara mutlak, baik dengan ukuran besar atau kecil, baik karena ada kebutuhan untuk itu maupun untuk sekedar hiasan, dan baik penggunaannya pada keseluruhan benda atau separuhnya, sekalipun benda dimaksud hanyalah berupa tempat celak.

Selanjutnya, dibolehkan juga bagi laki-laki dan perempuan melapisi mushaf dengan lempengan tipis dari emas dan perak, sebagaimana dibolehkan bagi laki-laki melapisi peralatan perang seperti pedang, tombak, dan kepala ikat pinggang dengan perak. Karena, hal itu membuat jengkel orang-orang kafir. Adapun bagi perempuan, dilarang melapisi hal-hal tadi dengan emas dan perak, sebagaimana tidak dibolehkan melapisi perkakas perang yang tidak digunakan oleh laki-laki, seperti pelana dan tali kekang.

Diharamkan melapisi atap dan dinding rumah dengan emas dan perak, baik dimungkinkan untuk mengambil sesuatu darinya dengan mendekatkannya ke api atau tidak. Para ulama fiqih biasa melatar-belakangi keharaman memakai emas dan perak ini dengan alasan bisa membawa pada sikap sombong dan melampaui batas.

Adapun penggunaan wadah atau bejana dari mineral berharga lain selain emas dan perak seperti bejana dari yakut, zamrud, kaca, kristal, akik, batu permata (seperti zamrud), batu merjan, mutiara, kuningan, timah, dan sebagainya, maka hal itu dibolehkan. Alasannya, semua mineral tersebut tidak memiliki fungsi seperti emas dan perak. Selain itu, prinsip dasar dari segala hal adalah boleh. Dalil selanjutnya adalah dikarenakan Rasulullah saw pernah berwudhu dari bejana kuningan.7

Memakai kain sutra serta memakai cincin emas dan perak
Diharamkan bagi laki-laki memakai kain sutra asli dan cincin emas, sementara bagi perempuan dibolehkan memakainya dan memakai perhiasan lainnya dari emas dan perak.8 Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw :
الذَّهَبُ وَالْـحَرِيْرُ حِلٌّ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِهَا
“Emas dan sutra dihalalkan bagi umatku yang perempuan dan diharamkan bagi yang laki-laki”.9

Juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, “Rasulullah saw melarang memakai cincin dari emas”.10 Juga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra :
“Suatu hari, Rasulullah saw melihat di jari seorang laki-laki cincin dari emas. Beliau lalu mencopotnya dan membuangnya (ke tanah) seraya berkata :
يَعْمِدُ اَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ
“Salah seorang dari kalian telah dengan sengaja mengambil seonggok bara api lantas mengenakannya di tangannya”. (HR Muslim, Nashbur Raayah, jilid 4, h. 225). Juga sabda Rasulullah saw :
إِنَّـمَا يَلْبَسُ الْـحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا مَنْ لَاخَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
“Sesungguhnya yang memakai kain sutra di dunia ini hanyalah orang yang tidak mempunyai bagian sedikit pun di akhirat kelak”. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra, Nashbur Raayah, jilid 4, h. 222).

Para imam madzhab selanjutnya mengecualikan cincin perak untuk dipakai kaum laki-laki. Mereka membolehkan memakainya dan menjadikannya sebagai stempel apabila ukuran perak tersebut sedikit. Ukuran yang dibolehkan itu menurut madzhab Hanafi adalah seukuran satu mitsqal (2,975 gram) atau kurang dari itu. Sementara menurut madzhab Maliki dibolehkan, jika harganya tidak lebih dari dua dirham dan juga dengan syarat mengikuti petunjuk Nabi saw dalam hal ini. Sementara itu, dalam pendapat yang benar menurut madzhab Syafi’i adalah baru dibolehkan jika kurang dari satu mitsqal.

Adapun yang sebenarnya dijadikan patokan dalam hal ini adalah kebiasaan dan adat yang berlaku, baik ukurannya lebih dari satu mitasqal atau kurang. Artinya, apabila ukurannya dipandang di luar kewajaran menurut kebiasaan, maka diharamkan memakainya.

Letak pemakaian cincin pada jari-jari menurut Sunnah Nabi
a)    Memakai cincin diletakkan pada jari-jari kelingking tangan sebelah kiri sebagaimana Rasul saw memakainya  (H.R. Muslim: 2095). Namun Rasulullah juga memakai cincin pada tangan sebelah kanan. (H.R. Ahmad: 3/265 Hasan).
b)    Boleh memakai cincin pada jari manis sebelah kanan atau kiri, dan dilarang memakainya pada jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi SAW bersumber dari sahabat Ali Bi Abi Tallib Ra : “Rasulullah SAW telah melarang saya untuk memakai cincin pada dua jari ini dan ini, dan ia mengisyaratkan kepada jari tengah, telunjuk dan ibu jari”. (H.R. Muslim: 2078).

Selanjutnya, tidak dibolehkan bagi laki-laki memakai cincin emas sekalipun dalam situasi pinangan atau pernikahan, dikarenakan adanya larangan dari Rasulullah saw untuk itu. Tingkat keharaman tersebut semakin tinggi, apabila yang bersangkutan memakainya dengan tujuan mencontoh perbuatan golongan non Muslim. Wallahu A’lam Bi al-Showab.




1 Surah al-Baqarah ayat 29 : ..... هُوَ الَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْأَرْضِ جَمِيْعًا
2 Surah al-A’raf ayat 32 : ..... قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَتِ مِنَ الرِّزْقِ
3 Surah al-A’raf ayat 26 : ..... يَبَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِى سَوءَتِكُمْ وَرِيْشًا
4 Takmiilaat Fath al-Qadiir, jilid 8, h. 81-82; al-Lubaab Syarhul Kitaab, jilid 4, h. 159 dan setelahnya, Syarhur Risaalah, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, jilid 2, h. 371-373; Haasyiyat al-Baajuurii ‘alaa Ibni Qasim, jilid 1, h. 42; al-Mughnii, jilid 1, h. 75-78; al-Muhadzdzab, jilid 1, h. 11; Bajirmi al-Khatiib, jilid 3, h. 294 dan setelahnya.
5 HR Muttafaq ‘alaih dari Hudzaifah bin Yaman (Subulus Salam, jilid 1, h. 29).
6 HR Muttafaq ‘alaih dari Ummu Salamah (Nashbur Raayah, jilid 4, h. 220; Subulus Salaam, jilid 1, h. 30).
7 Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid yang berkata, “Suatu ketika, Rasulullah saw berkunjung kerumah kami. Kami lalu menyediakan air (wudhu) untuk beliau di sebuah bejana dari kuningan, dan beliau lantas berwudhu dengan air dari bejana itu”. Lebih lanjut, Abu Dawud juga meriwayatkan dari Aisyah yang berkata, “Saya pernah mandi bersama-sama Rasulullah saw dari air yang diletakkan di sebuah bejana dari syabah (kuningan berkualitas tinggi)”.
8 Takmiilaat Fath al-Qadiir, jilid 8, h. 83 dan 91-97; al-Lubaab Syarhul Kitaab, jilid 4, h. 157-158; Tabyiinul Haqaa’iq, jilid 6, h. 14; ad-Durul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar, jilid 5, h. 255; Syarhur Risaalah, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, jilid 2, h. 371; Muntaqaa’alal Muwaththa’, jilid 7, h. 254; al-Muhadzdzab, jilid 1, h. 11; Bajirmi al-Khathiib, jilid 2, h. 227-230 dan 295; Nailul Authaar, jilid 2, h. 275-279; al-Mughnii, jilid 1, h. 588-591.
9 HR Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Arqam. At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari dengan lafal lain. At-Tirmidzi berkata, “Kualitas hadis ini hasan shahih”. Selain itu, juga banyak diriwayatkan hadis-hadis lain dengan makna senada (Nashbur Raayah, jilid 4, h. 222-225).
10 Diriwayatkan oleh para penyusun kitab hadis, kecuali Bukhari. At-Tirmidzi mengomentari kualitas hadis ini dengan berkata, “Hasan shahih”. Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadis ini dalam kitab shahihnya (Nashbur Raayah, jilid 4, h. 235).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar