MEWASPADAI PERGERAKAN DAN PEMAHAMAN SYI’AH
Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung, MA
W
|
alaupun tidak
semua pemahaman Syi’ah berseberangan dengan pemahaman Ahlussunnah wa
al-Jama’ah, baik dari segi konsep akidah maupun dari sudut pandang syari’ah.
Akan tetapi bila ditelusuri cukup banyak pertentangan dan perselisihan paham
yang sangat tajam antara paham Sunni dan paham Syi’ah. Demikian juga Syi’ah
sebenarnya bukan hanya satu aliran saja, Syia’ah juga terbagi-bagi kepada
berbagai macam aliran yang cukup banyak dan saling memiliki ciri khas yang
sangat berbeda dan saling bertentangan. Diantara pemahaman-pemahaman Syi’ah
yang lebih dekat dengan pemahaman dan akidah Ahlussunnah Waljamaah adalah
pemahaman aliran Syi’ah Zaidiyah[1]. Pehaman Syi’ah
yang paling menonjol dan sangat progresip dipanggung dunia internasional saat
ini adalah pemahaman Syi’ah Imamiyah Itsnaiy ’Asyariyah, atau yang
sangat populer sekarang ini dengan sebuatan Syi’ah Iraniyah, karena
lebih terpusat pergerakannya saat ini di negeri Persia (Iran). Pada akhir-akhir
ini Syi’ah Iraniyah progresivitasnya telah mampu menunjukkan esensi dan
existensinya ke negara-negara luar, termasuk Indonesia, Malaysia dan
sekitarnya, bahkan sudah berani dengan terang-terangan menunjukkan keberadaan
mereka di wilayah kawasan Asia Tenggara.
Penulis risalah ini, sangat terpanggil untuk menjelaskan paham-paham syi’ah
yang bertentangan dengan paham dan akidah Ahlussunnah Waljamaah, bertujuan agar
para da’i, da’iyah dan seluruh umat
Islam yang berpahaman Ahlussunnah tidak keliru dalam memahami ciri-ciri
golongan Syi’ah saat ini, terutama di sekitar Kabupaten Asahan dan seluruh
tanah air pada umumnya.
Negara Bahrain bergejolak disinyalir dibelakangnya dikomandoi oleh kalangan
Syi’ah, di Syria juga di ketahui pemimpinnya adalah berpahaman Syi’ah,
bergejolaknya Mesir juga tak terlepas dari pengaruh Syi’ah, di Indonesia pada
peristiwa berdarah di Madura (Sampang) juga ada keterkaitannya dengan isu
aliran Syi’ah.
Sebagian kalangan ulama dan para cendikiawan muslim menyeru agar kedua
belah pihak sering mengadakan dialog, ternyata dialog itu berhasil dilakukan
diberbagai negara Islam. Pada realitanya dialog tersebut lebih banyak
menguntungkan kalangan Syi’ah dibanding Ahlussunnah. Karena melalui dialog
tersebut mereka berhasil menjadikan seminar-seminar yang digelar sebagai tameng
yang sangat relevan dengan konsep keyakinan taqiyah yang dianut madzhab
Syi’ah Imamiyah. Melalui konsep taqiyah mereka dapat menyembunyikan
paham-paham radikal mereka yang dibalut dengan kelembutan. Ternyata semua itu
hanya sebatas retorika diatas kertas saja dan pada hakikatnya justru melalui
itu mereka lebih leluasa masuk kenegara-negara yang berpahaman Ahlussunnah.
Sementara Ahlussunnah dengan segala keterbukaannya, berbicara apa adanya,
kemudian kalangan Syi’ah menjadikan keterbukaan itu sebagai peluang untuk
membuka dialog terbuka.
Oleh sebab itu kalangan akademisi, da’i/da’iyah, Ormas Islam dan tidak
terlepas seluruh pemangku jabatan di negeri ini, sudah saatnya kembali membuka
mata, mempertajam analisa dan pemikiran untuk membendung terjadinya komplik
sosial di tengah-tengah masyarakat. Saat ini tidak ada cara lain kecuali
kembali menggerakkan dan memperbanyak kajian terhadap akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah, untuk memurnikan akidah dan syari’ah dari pemahaman keliru dan sesat.
A. PENTINGNYA MEMELIHARA AKIDAH
AHLUSSUNNAH WALJAMAAH
Untuk mengkaunter dan membentengi diri dari akidah yang salah dan sesat,
seseorang harus mampu memahami dan
mengamalkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah pada dirinya. Semenjak berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara dan tidak terlepas Indonesia. Dapat
kita simpulkan secara mayoritas negara-negara Islam berdasarkan dan berpedoman
kepada akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Demikian itu dapat kita lihat dari masa kemasa ulama-ulama yang muncul membawa akidah Asy’ariyah[2] dan
al-Maturidiyah yang merupakan kelompok pembawa akidah Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Diantara ulama-ulama Asia tenggara yang tidak diragukan lagi keilmuan dan
kafasitas mereka pada zamannya cukup banyak yaitu[3] :
NO
|
NAMA ULAMA
|
ASAL NEGARA
|
LAHIR / WAFAT
|
KARYA
|
1
|
Syeikh Muhammad Zein Bin Jalaluddin al-Aceh
|
Aceh Indonesia
|
Pada abad
ke 10 Hijriyah
|
kitab bidayah al-Hidayah
|
2
|
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani
|
Fatani Thailand
|
Lahir 187 H
|
Sullam al-Mubtadi
|
3
|
Syeikh Abdul Shomad al-Falembani
|
Palembang Indonesia
|
Wafat 126 H
|
Sabilal muhtadin
|
4
|
Syeikh Abdulkadir Bin Abdurrahim
|
Terengganu Malaysia
|
Wafat
sekitar 1280 H
|
|
5
|
Syeikh Tuan Minal Zainul Abidin al-Fatani
|
Patani Thailand
|
Hidup pada abad ke 13 H
|
Aqidatunnajin
|
6
|
Syeikh Muhammad Umar Bin Nawawi al-Bantani
|
Banten Indonesia
|
Wafat 1314 H
|
Syarih Sullaam al-Taufiq
|
7
|
Syeikh Haji Muhammad Shalih derajat, Teman syekh al-bantani dan murid
Syeikh Ahmad zaini Dahlan
|
Jawa Indonesia
|
Wafat 1321 H
|
|
8
|
Syekh Abdullah Fahim
|
Wafat 1330 H
|
||
9
|
Syekh Wan Ali Bin Abdurrahman Bin Abdulghafur Kutan al-Kelantani
|
Kelantan Malaysia
|
Wafat 1331 H
|
|
10
|
Syeikh muhammad Daud al-Fatani
|
Patani Thailand
|
Wafat 1333 H
|
Matla’ al-badroin
|
11
|
Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi
|
Minangkabau Indonesia
|
Wafat 1334 H
|
|
12
|
Syekh Husain Bin Muhammad Nastir Bin thaib al-Mas’udi al-banjari
|
Banjar Indonesia
|
Wafat 1354 H
|
Hidayat al-mutafakkirin
|
13
|
Syeikh mukhtar Bin ’Atarid al-Bantawi al-Bugori
|
Bogor Indonesia dan menetap di Makkah
|
Ushuluddin I’tiqad Ahlussunah Waljamaah
|
|
14
|
Syeikh Sirajuddin Abbas
|
Jawa Indonesia
|
Aqidah Ahlussunnah Waljamaah
|
|
15
|
Syeikh Wan ismail Abdulqadir Bin Mushtafa al-fatani
|
Patani Thailand
|
Wafat 1410 H
|
Bakurah al-Aman
|
16
|
Syeikh al-Muhaddits Syeikh Yasin al-Fadani
|
Padang Indonesia menetap di Makkah
|
Wafat 1410 H
|
Banyak menulis dalam kajian hadis, Bahasa arab (nahu, Saraf dan Faraidh).
|
B. UPAYA PENDEKATAN ANTAR PEMAHAMAN
SYI’AH DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Syeikh al-Marhum Sayid Muhibbuddin al-Khatib, seorang penulis besar dalam bukunya
“al-Khuthut al-’Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah
al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah” (Jurang pemisah yang ditegakkan oleh
agama Syi’ah Imamiyah dua belas)”. Syeikh Muhibbuddin al-Khathib, menyebut
aliran Syi’ah Itsnay ’Asyariyah dengan sebutan sebuah agama, tidak hanya dengan
sebutan aliran atau madzhab. Tentu sebutan itu seolah-olah menyatakan bahwa
pemahaman Syi’ah Imamiyah sudah sangat jauh melenceng dari pemahaman
Ahlussunnah wal-Jama’ah, baik dari segi akidah, syari’ah maupun manhaj[4].
Upaya pendekatan antara Sunni dan Syi’ah pertama-tama dilakukan oleh
pemerintah Mesir, dan telah mengalokasikan dana untuk itu dari APBN, proyek ini
gencar di mulai sekitar tahun 1380 H/1959 M. Akan tetapi menurut Syeikh
Muhibbuddin al-Khathib keinginan itu masih bertolak belakang dengan keinginan
pemerintah kota Teheran, Qum, Najaf, Jabal Ain maupun kota-kota lainnya di
Iran. Baik ulama maupun Pemerintah Iran masih memandang masalah perbaikan
pemahaman antara Sunni dan Syi’ah dengan sebelah mata[5]. Mereka ingin
dipahami tapi mereka enggan memahami orang lain.
Dibelakang upaya membangun paradigma baru antara Sunni dan Syi’ah sangat
sulit atau menyerupai mustahil untuk disatukan, karena para ulama Syi’ah di
Iran masih menjadikan dialog hanya sebatas tameng atau alat untuk menyebarkan
pemahaman Syi’ah dikalangan golongan Sunni. Syeikh Muhibbuddin al-Khatib
mengemukakan contoh terbitnya buku berjudul “al-Zahro’” tiga jilid yang
ditulis oleh ulama Najaf, mereka menyebut dalam kitab tersebut bahwa Amirul
Mukminin Umar bin Khatthab menderita satu penyakit yang tidak dapat diobati
kecuali dengan air mani laki-laki, buku itu beredar luas di Irak sebagaimana
dijelaskan oleh Ustadz al-Basyir al- Ibrahim seorang ulama Jazair ketika ia
mengadakan kunjungan ke Irak. Sikap pemahaman zalim seperti itu tentunya mereka
yang harus lebih tepat untuk melakukan pendekatan, bukan kita dari kalangan
Ahlussunnah. Pemahaman seperti itu cukup dikatakan sebagai pemahaman pelampau
dan sangat ekstrim (Mutathorrif) sebab sudah mencederai diantara para
sahabat terbaik Rasulullah. Sebutan itu kepada Khalifah Umar ra menimbulkan
aroma permusuhan, kedengkian dan sangat jauh dari sifat toleran (tasamuh).
Ahlussunnah sangat menghormati ahli bait Rasulullah saw, dan menempatkan mereka
pada posisi mulia dan tinggi, namun tidaklah mengangkat derajat mereka menjadi
tuhan, karena pengkultusan itu sangat bertentangan dengan kemurnian tauhid.
Bebeda dengan mereka yang terlalu mengkultuskan ahlu bait Rasulullah,
sampai-sampai mereka memposisikan Sayidina Ali ra sebagai tuhan[6]. Dari 2 sisi
ini saja sangat sulit mempertemukan antara Sunni dan Syi’ah terutama dengan
Syi’ah Ibadhiyah, Imamiyah (Ja’fariyah Iraniyah) dan Syi’ah ’Alawiyah.
C. MASALAH-MASALAH YANG TIDAK PERNAH
BERTEMU ANTARA SUNNI DAN SYI’AH
Perseberangan pemahaman antara Ahlussunnah dan Syi’ah sangat banyak, dalam
masalah Fiqh al-Islami misalnya metode Istinbat Hukum dikalangan Syi’ah sangat
berbeda denga cara Istinbath Fiqh Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama Sunni
terutama ulama mazdhab yang empat. Jika perberdaan metode Istinbat Hukum sudah
berbeda maka tidak akan mungkin akan menghasilkan kesepahaman diantara dua
belah pihak. Sebab untuk menghasilkan hukum yang relevan dan sesuai harus
melalui uji materi sesuai dengan metode yang dijadikan sebagai rujukan. Kita
sebutkan hal-hal yang sangat berbeda antara Ahlussunnah dengan kalangan Syi’ah.
1.
Masalah Taqiyah
Masalah taqiyyah dikalangan Syi’ah merupakan masalah serius, sehingga taqiyyah
merupakan bahagian akidah. Bagi orang yang tidak berpegang dengan konsep
taqiyyah dianggap tidak beragama dan keluar dari Islam. Makna taqiyyah
ialah : Boleh bagi mereka mengutarakan yang tidak sebenarnya sesuka mereka sewaktu-waktu jika keadaan nampak
membahayakan bagi mereka, walaupun itu bertentangan dengan isi hati mereka yang
sebenarnya. Prinsip seperti ini tentu satu prinsip yang mengajarkan bahkan
menekankan sifat dan sikap munafik dihadapan orang yang berbeda akidah atau
berbeda pendapat dengan mereka.
Muhammad Jawad al-Maghniyah salah seorang ulama Syi’ah saat ini menyebutkan dalam kitabnya” Asy-Syi’ah fi
al-Mizan” tentang taqiyyah :
اَلتَّقِيَّةُ أَنْ تَقُوْلَ أَوْ تَفْعَلَ غَيْرُ مَاتَعْتَقِدُ لِتَدْفَعَ الضَّرَرَ عَنْ نَفْسِكَ أَوْ مَالَكَ أَوْ لِتَحْتَفِظَ كَرَامَتَكَ.
“Taqiyyah ialah bahwa engkau mengatakan atau engkau berbuat
diluar dari yang engkau percayai, karena bermaksud mencegah dirimu dari bahaya
atau ingin menjaga hartamu atau harga dirimu (kedudukanmu)”.[7]
2.
Masalah
Pencederaan dan Merendahkan Alquranulkarim
Seyogianya, jika kita ingin melakukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah,
yang pertama-tama yang harus disepakati adalah menjadikan Alquran al-Karim
sebagai sumber Syari’at dan menjadikannya sebagai rujukan terpenting, baik
dalam asfek akidah maupun asfek syariat, kemudian memaknainya sesuai dengan
tujuan nash, dan tidak menginterpretasikannya kepada yang aneh-aneh (syazd).
Tapi
yang terjadi malah sebaliknya, kalangan ulama Syi’ah sangat banyak melakukan
penafsiran terhadap nash Alquran sesuka mereka dan sangat bertentangan dengan
penafsiran dan pemahaman para sahabat dari Nabi Muhammad saw. Almarhum syeikh
Muhibbuddin al-Khathib menyebut ulama yang sangat dihormati kalangan Syi’ah
berasal dari Najaf Iran bernama : Haji Mirza Husain Bin Muhammad Taqi al-Nuri
al-Thabrusi, wafat pada tahun 1320 H, dan mereka makamkan di pekuburan
al-Masyhad al-Murtadhawi di Kota Najaf dekat batu pelataran Banu al-Uzhma Bunti
Sulthan al-Nashirlidinillah, merupakan salah satu tempat tersuci diatas bumi
ini dikalangan golongan Syi’ah. Haji Mirza Husain ini telah menulis satu buku
pada tahun 1292 H di Najaf dekat satu kuburan yang diklaim mereka kuburan
Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah. Nama kitab yang dia karang “Fashlul
Khithab Fi Itsbati tahrifi Kitabi Rabbil Arbab” dalam kitabnya tersebut dia
menyimpulkan bahwa Alquranul Karim - Rasm Utsmani - telah terjadi penambahan
dan pengurangan.
Kitab Haji
Husain al-Thabrusi telah dicetak dan beredar dikalangan orang awam pada tahu
1289 H. Setelah beredarnya disemua kalangan ternyata menimbulkan pro dan kontra
dikalangan pembaca, para kalangan ulama Syi’ah berharap Haji Husain al-Thabrusi
tidak mengumpulkan pendapat-pendapat miring terhadap Alquran dalam satu kitab,
mereka menginginkan pendapat-pendapat tersebut dibiarkan terpencar-pencar dalam
berbagai kitab dan tulisan, agar kalangan Sunni tidak langsung merespon dan
tertuju kepada satu kumpulan. Pendapat agar tidak dikumpulkan dalam satu
kitab tiada lain bertujuan untuk mengamalkan taqiyah.
Diantara keterangan Haji Husain al-Thabrusi tentang adanya pengurangan
dalam Alquran dijelaskan pada kitabnya halaman 180 yang disebut mereka dengan
surat wilayah yang bunyinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالنَّبِيِّ وَالْوَلِيِّ اللَّذَيْنِ بَعَثْنَاهُمَا يَهْدِ يَانِكُمْ إِلَى صِرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
“Hai orang-orang beriman kepada nabi dan wali, yang kedua-duanya
kami bangkitkan untuk memberi petunjuk kepada kamu ke jalan yang lurus”.
Dan diantara
penyelewengan yang dilakukan oleh Haji Husain al-Thabrusi, sebagaimana di
nukilnya dari al-Kafi halaman 289 terbit pada tahun 1278 H di Iran, kitab
al-Kafi ini kedudukannya dikalangan Syi’ah Imamiyah seperti kedudukan Shaheh
Bukhari dikalangan Ahulussunnah wal-Jamaah, bunyinya sebagai berikut :
رَوَى عِدَّةٌ مِّنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهَلِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِه عَنْ أَبِي الْـحَسَنِ عَلَيْهِ السَّلَامِ
(أَيْ أَبُو الْـحَسَنِ الثَّانِيْ عَلِيِّ بْنِ مُوْسَى الرِّضَا الْمُتَوَفّٰى سَنَةَ 206 الهجري)
قَالَ:
قُلْتُ لَهُ جَعَلْتُكَ فِدَاكَ، أَنَّا نَسْمَعُ الْاٰيَاتِ فِي الْقُرْآنِ لَيْسَ هِيَ عِنْدَنَا كَمَا نَسْمَعُهَا، وَلَانُحْسِنُ أَنْ نَقْرَأَهَا كَمَا بَلَغَنَا عَنْكُمْ، فَهَلْ نَأْثَمُ؟ فَقَالَ:
لَا، اِقْرَؤُوْا كَمَا تَعَلَّمْتُمْ فَسَيَجِيْئُكُمْ مَنْ يُّعَلِّمُكُمْ.
“Telah
meriwayatkan dari kalangan kita dari Sahal Bin Ziyad, dari Muhammad bin
Sulaiman dari sebagian Sahabatnya dari al-Hasan Alaihissalam (yaitu : Abul Hasan al-Tsani Ali Bin Musa al-Ridha wafat
pada tahun 206 H), ia berkata : aku katakan padanya : aku jadikan diriku
tebusan untukmu, kita mendengar ayat-ayat dalam Alquran yang tidak ada dalam
kitab kita seperti yang kita dengarkan, dan kita tidak terbiasa membaca seperti
yang sampai kepada kita dari kamu, apakah kita berdosa? Di jawab: Tidak, baca kamulah sebagaimana kamu pelajari, maka akan datang
orang yang akan mengajari kamu”.
Syeikh Muhibbuddin al-Khatib mengomentari teks diatas, bahwa perkataan itu
jelas telah dibuat-buat oleh kalangan Syi’ah terhadap Imam Ali Bin Musa
al-Ridha. Tapi yang menjadi pegangan dan fatwa dikalangan mereka bahwa membaca
Alquran melalui Rosm mushab Utsmani yang beredar dikalangan Sunni tidak berdosa
membacanya.
Namun demikian dikalangan tertentu atau kalangan yang dianggap kompeten
menurut mereka berkeyakinan akan mengajarkan kepada orang lain yang menyalahi
apa yang sebenarnya tercantum dalam Alquran Rosm Utsmani dan mereka mengklaim
bahwa Alquran versi mereka ada dikalangan ulama-ulama ahlu bait. Pada
kenyataannya mereka menyebut tidak berdosa membaca Alquran melalui Alquran yang
dipegang Ahlussunnah sebenarnya hanya sebatas Rethorika dan mengamalkan akidah taqiyyah.
Contoh kongkritnya adanya buku yang dikarang oleh Haji Mirza Husain Bin
Muhammad Taqi al-Nuri al-Thabrusi :
فَصْلُ الْخِطَابِ فِيْ إِثْبَاتِ تَحْرِيْفِ كِتَابِ رَبِّ الْأَرْبَابِ
“Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbab” (Keterangan
rinci tentang kebenaran adanya penyelewengan kitab Tuhan segala Tuhan.[8]
Diantara klaim Syi’ah adanya pengurangan dalam Alquran Rosm al-Utsmani seperti
pengurangan dari surat al-Insyirah nashnya sebagai berikut :
وَجَعَلْنَا عَلِيًّا صِهْرَكَ
“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu”
Apakah dengan klaim keji ini tidak membuat kalangan Syi’ah tidak merasa
malu, karena jika kita pikirkan dengan benar, surat al-Insyirah diketahui turun
di Makkah (Surat al-Makkiyah), dan pada periode Makkah Sayyidina Ali
Karramallahu Wajhah belum menjadi menantu Nabi Muhammad saw, satu-satunya
menantu Nabi pada periode Makkah hanya al-Ash Bin al-Robi’ al-Umawi. Demikian juga
diketahui ketika Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah ingin memadu Fathimah Binti
Muhammad saw dengan salah seorang putri Abu Jahal, lalu kemudian Fathimah
Radhiyallahu ‘Anha mengadu kepada Rasulullah saw (kemudian tidak jadi di nikahi
Sayyidina Ali). Jika Sayyidina Ali telah menjadi menantu Nabi Muhammad saw, maka
Sayyidina Utsman pun sudah menjadi menantu Rasulullah saw dan telah menikahi
dua putrinya. Sewaktu salah satu putrinya wafat, Rasulullah kembali berkata
kepada sayyidina Utsman : “Seandainya kami memiliki anak ketiga niscaya kami
nikahkan kepadamu (Utsman Radhiyallahu ‘Anhu)”[9]
Diantara pertentangan yang dianut oleh kalangan Syi’ah Imamiyah disebutkan
dengan tegas pada kitab al-Kafi al-Kulaini pada halaman 54 cetakan Iran tahun
1278 H, atau pada halaman 228 cetakan 1381 H bunyinya :
عَنْ جَابِرِ الْجُعْفِيْ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُوْلُ: "مَاادَّعٰى أَحَدٌ مِّنَ النَّاسِ أَنَّهُ جَمَعَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَمَا أُنْزِلَ اِلَّا كَذَّابٌ وَمَا جَمَعَهُ وَحَفِظَهُ كَمَا أَنْزَلَهُ اِلَّا عَلِيٌّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ وَالْأَئِمَّةُ مِنْ بَعْدِهِ".
Bersumber dari Jabir al-Ju’fi ia berkata : Saya
telah mendengar Aba Ja’far Alaihissalam berkata : “Barang siapa yang
mengaku-ngaku dari manusia bahwa dia telah mengumpulkan Alquran seluruhnya
sebagaimana telah diturunkan, melainkan ia tukang pembohong, dan ia tidaklah
mengumpulkan atau menghafalnya seperti apa yang diturunkan melainkan kepada Ali
Bin Abi Thalib dan imam-imam sesudahnya”.
Syeikh Muhibbun al-Khatib mengomentari pernyataan diatas : Setiap orang
dari penganut Syi’ah membaca kitab al-Kafi yang dianggap sederajat dengan
shaheh Bukhari dikalangan Ahlussunnah, sebenarnya mereka berbohong terhadap Ali
al-Baqir Abi Ja’far Rahimahullah, dengan alasan sayyidina Ali Rodhiyallahu Anhu
tidak pernah menggunakan kitab suci semasa ia menjabat Khalifah, kecuali
menggunakan Alquran rosm Utsmani, atau yang dikumpulkan sahabat Utsman Bin
Affan Radhiyallahu Anhu, bahkan ia ikut serta menyebar luaskannya dikhalayak
ramai dan memerintahkan agar itu yang menjadi rujukan pada setiap kota atau
distrik dizaman itu. Padahal ketika itu Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah
pemegang mandat kekhilafahan, kekuasaan ditangannya, tidaklah seorang khalifah
menyembunyikan sebagian Alquran, jika itu dilakukannya – Na’udzu Billah – tentu
ia sudah pengkhianat besar bagi Allah swt dan Rasul-Nya demikian juga dia telah
mengkhianati umat Islam.
Jabir al-Ju’fi dikalangan Syi’ah sangat dihormati, meraka memposisikannya
setara Imam Bukhari dikalangan Ahlussunnah waljamaah. Namun dikalangan
ulama-ulama ahlussunnah Jabir al-Ju’fi dia dijuluki lebih dari seorang
pembohong. Berkata Yahya al-Hammani saya telah mendengar Abu Hanifah berkata :
مَا رَأَيْتُ فِيْمَنْ رَأَيْتُ أَفْضَلَ مِنْ عَطَاءٍ، وَلَا أَكْذَبٌ مِنْ جَابِرِ الْجُعْفِيِّ
“Saya tidak pernah melihat
yang pernah saya lihat lebih afdhal daripada ‘Atha’, dan tidak pernah aku lihat
yang lebih pembohong melebihi Jabir al-Ju’fi”.
Dan yang paling nampak kebohongan yang dibuat-buat mereka terhadap Ja’far
al-Shadiq dijelaskan dalam kitab Al-Kafi hal : 57 cetakan 1278 H, Iran, dan hal
: 238 cetakan tahun 1381 H, bunyinya sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ قَالَ: دَخَلْتُ عَلٰى أَبِيْ عَبْدِ اللهِ ... إِلٰى أَنْ قَالَ أَبُوْ عَبْدُاللهِ (أَيْ جَعْفَرُ الصَّادِقُ): وِإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ ... قَالَ: قُلْتُ: وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هٰذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَاللهِ مَافِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ.
“Bersumber dari Abi Bashir, ia
berkata : Saya pernah bertemu dengan Abi Abdillah... yakni Ja’far al-Shadiq : Sesungguhnya kami
memiliki Mush-haf (Alquran) Fathimah Alaihassalam..... Abi Bashir berkata : Apa
yang dimaksud dengan Mush-haf Fathimah? Ia menjawab : Mush-haf didalamnya
seperti Quran kelian ini lebih banyak tiga kali dibanding Quran kalian, dan
didalamnya tidak ada satu hurufpun seperti Quran kalian”.
Syeikh Muhibbun al-Khathib mengomentari teks diatas
: Ini adalah teks-teks kalangan Syi’ah yang penuh dengan kebohongan terhadap
Ahlu Bait, dan itu sudah mereka lakukan semenjak dulu, Muhammad Bin Ya’kub
al-Kulaibi al-Rozi seorang tokoh Sy’ah telah menulisnya didalam kitab Al-Kafi
lebih dari seribu tahun yang lalu[10].
3.
Pendapat mereka terhadap Kepemimpinan Khilafah
Sudah menjadi kenyataan dan perhatian serius
dikalangan Ahlussunnah wal-Jamaah, bahwa prinsip Syi’ah Imamiyah dua belas atau
yang dikenal dengan Syi’ah Ja’fariyah yang berpendapat : Kepemimpinan khilafah
yang di emban oleh Sayyidina Abu Bakr, Umar dan Ustman Rodhiyallahu Anhum
sampai terangkatnya Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah dianggap tidak sah.
Kekhilafahan sahabat yang sah terhitung setelah sayyidina Ali terangkat menjadi
khalifah, dan khilafah yang sah menurut mereka secara syar’i dan merupakan
bagian dari akidah yang tidak bisa ditawar-tawar adalah khilafah yang di emban
oleh dua belas Imam ahlu bait. Adapun kepemimpinan sayyidina Abu Bakr, Umar dan sesudah mereka,
walaupun sudah banyak berjasa dan berkhidmat untuk menyebarkan panji Islam di
muka bumi, mereka tetap dianggap sebagai terkecuali dan tetap perampas
kekuasaan sampai hari kiamat.[11]
4.
Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma dijuluki “al-Jibt
dan al-Thaghut”
Kalangan Syi’ah Imamiyah dua belas (Ja’fariyah) terang-terangan menyebut
sayyidina Abu Bakar, Umar dan khalifah sesudah mereka, atau yang tidak mengangkat sayyidina Ali
Karromallahu Wajhah sebagai Khalifah dengan julukan “al-Jibt dan
al-Thaghut”. Mereka telah mengklaim bahkan berbohong bahwa sebutan itu di
dibenarkan oleh Imam Abil Hasan Ali Bin Muhammad Bin Musa kepada Abu Bakar dan
Umar.
Di jelaskan pada salah satu kitab pegangan mereka, yang mereka anggap
sebagai kitab paling sempurna dalam masalah “Jarah wa Al-Ta’dil” yaitu kitab
: “Tankih al-Maqol fi Ahwal al-Rijal”, karangan Syeikh al-Allamah
al-Tsani Ayatullah al-Maqomi juz I, halaman 207 cetakan al-Murtadhowiyah, Najaf
Tahun 1352 H. Ayatullah al-Maqomi menaqal dari Syeikh Muhammad Bin Idris
al-Huli di penutup kitab “al-Saroir” bersumber dari kitab “Masail
al-Rijal wa Mukatabatihim ila Maulana Abi Alhasan Ali Bin Muhammad Bin Musa
Alaihissal”.
Berkata Muhammad Bin Ali Bin Isa ia bercerita : “Aku menulis kepadanya
menanyakan tentang orang yang meletakkan permusuhan kepada Ahli bait, apakah
saya perlu menguji mereka dengan menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Jibt
dan Thaghut? Di jawabnya : Cukup bagi orang yang mengutamakan Abu Bakar dan
Umar dibanding Ali sebagai Jibt dan Thaghut. Mereka tidak cukup
menjuluki kedua sahabat tersebut dengan Jibt dan Thaghut, bahkan mereka
menyebut dalam doa mereka : Do’a atas penyembah berhala (Abu Bakar dan Umar),
seperti di jelaskan dalam kitab mereka “Miftahul Jinan” halaman 114,
kumpulan do’a itu disejajarkan dengan kumpulan do’a-do’a Dalail al-Khoirat.
Seperti contoh :
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، وألعن صنمي قريش وجبتيهما وطاغوتيهما وابنتيهما...
“Ya Allah! Limpahkanlah Rahmat dan karunia-Mu atas
Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan la’natlah dua penyembah berhala Quraisy
(Abu Bakar dan Umar) dan kedua jibt dan thaghut dan anak keduanya …… (Aisyah dan Hafshah)”.[12]
5.
Penghormatan kepada pembunuh Sayyidina Umar
Para pengikut Syi’ah telah memberikan pengahargaan
setinggi-tingginya kepada pembunuh Sayyidina Umar, dan mereka menyebut Abu Lu’luah
dengan gelaran : “Ibnu Syuja’” atau anak pemberani.
Telah melansir Ali Bin Muthahir dari Ahmad Bin
Ishak al-Qumi al-Ahwashi yang merupakan Syekh kalangan Syi’ah Imamiyah, bahwa
hari terbunuhnya Umar di jadikan sebagai hari paling akbar, dan paling digembirakan
dan merupakan hari kebanggaan, bahkan disebut dengan hari penyembelihan paling
agung juga disebut dengan hari yang berkah dan hari penghibur.[13]
6.
Pandangan Syi’ah Imamiyah terhadap pemimpin yang berlatar belakang
Ahlussunnah
Mulai dari kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan
Umar sampai kepada kepemimpinan Sholahuddin al-Ayyubi dan seluruh pemimpin yang
berlatar belakang Ahlussunnah Waljamaah, walaupun mereka sudah banyak berjasa
dalam mengemban misi dakwah, bahkan banyak negeri di belahan dunia ini yang
telah mereka taklukkan, mereka itu semuanya menurut pandangan Syi’ah
pemimpin-pemimpin zalim dan mereka termasuk ahli neraka. Karena mereka itu pemimpin yang illegal menurut Syari’at dan bagi
penganut Syi’ah tidak berhak untuk menunjukkan kesetiaan dan tidak boleh
tolong-menolong dengan mereka. Namun boleh menunjukkan kesetiaan kepada mereka
dengan mengamalkan konsep “taqiyyah”.
Diantara akidah yang sangat mendasar dikalangan Syi’ah Imamiyah, mereka
berkeyakinan bahwa al-Mahdi yakni Ja’far al-Shadiq yang merupakan imam mereka
ke-12, yang mana menurut mereka al-Mahdi masih hidup sampai sekarang, dan
kedatangannya sedang ditunggu-tunggu yang akan menjadi komandan mereka untuk
ambil balas dendam dari musuh-musuh mereka. Apabila mereka menulis namanya dalam
عَجْ kepanjangannya عَجَّلَ اللهُ فَرَجَهُ artinya “semoga Allah mensegerakan
kedatangannya”. Manakala ia nanti bangun dari tidurnya yang sangat panjang
sudah lebih dari 1500 tahun lamanya, ketika ia terbangun dia akan membawa untuk
agama Allah dan agama nenek moyangnya dan menerapkan segala hukum-hukumnya.
Kemudian ia akan menegakkan hukum kepada kepala “jibit” atau “thaghut”
yakni kepala syetan yaitu Abu Bakar dan Umar
dan yang 1 jalan dengan mereka berdua.
Setelah itu akan memerintah imam kedua
belas mereka dan imam tersebut akan memerintahkan agar membunuh limaratus
penguasa serentak sampai mencukupi tiga ribu penguasa pada setiap periode
sebelumnya. Dan kejadian itu akan terjadi didunia sebelum berbangkit
penghabisan pada hari kiamat, hari itu disebut dengan hari pembalasan (qishos)
dan di sebut juga dengan hari al-raja’ah (reingkarnasi dalam agama
Hindu), dan selain mereka bermatian dan ketika itulah terjadi hari berbangkit
yang paling akbar, kemudian menuju sorga atau neraka. Sorga adalah milik ahli bait
dan yang seakidah dengan mereka, sedangkan api neraka untuk orang-orang yang
diluar Syi’ah.
7.
Semangat untuk menghancurkan dan balas dendam
Telah tercatat dalam kitab-kitab pegangan mereka
seperti berikut ini : Telah berkata Abdullah (Ja’far al-Shadiq) ia dipanggil
dengan sebutan Imam mereka yang kedua belas, mereka mengklaim dia telah
terlahir lebih dari sebelas abad yang lalu dan ia belum pernah wafat, dengan
alasan ia akan menegakkan hukum. Namanya akan dipanggil pada malam kedua
puluh tiga dan ia akan bangkit pada sepuluh ‘Asyura (sepuluh Muharram).
Ja’far al-Shadiq berkata : Seolah-olah aku berada pada sepuluh ‘Asyura dari
bulan Muharram berdiri diantara sudut Ka’bah dengan Makam Ibrahim, sedangkan
jibril berada disamping kanannya dan memanggil-manggil: Janji setia hanya
kepada Allah, lalu berbondong-bondonglah kearahnya kalangan Syi’ah berdatangan
dari semua penjuru bumi, seolah-olah bumi didekatkan sehingga mereka
membai’atnya. Menurut atsar yang mereka perpegangi imam kedua belas mereka
tersebut akan berjalan dari Makkah sampai ke kota Kufah dan ia akan tinggal di
Najaf, kemudian ia menebar bala tentaranya keseluruh wilayah dan kota.
Telah meriwayatkan Hijal dari Tsa’labah dari Abu Bakar al-Hadhromi dari
Ja’far al-Shadiq Alaihissalam ya’ni Muhammad al-Baqir, ia berkata : Seolah-olah
aku berdiri di atas Najaf – Kufah dan ia berjalan dari Makkah ke Najaf diiringi
15.000 Malaikat, Jibril dari sebelah kanannya, Mikail dari sebelah kirinya dan
orang-orang beriman dihadapannya, kemudian ia menebar bala tentara di seluruh
negeri.
Telah meriwayatkan Abdul Karim al-Ju’fi ia berkata : Aku bertanya kepada
Abi Abdillah (Ja’far al-Shadiq), berapa lama ia memerintah? Dijawabnya: 7
tahun, 1 tahun seperti 10 tahun, maka kerajaannya 70 tahun dibandingkan dengan
tahun-tahun kalian. Berkata Abu Nushoir bagi Abdul Karim: Aku jadikan diriku
tebusan bagimu, bagaimana Allah memanjangkan tahun-tahun tersebut? Ia jawab:
Allah memerintahkan tatasurya berhenti dan sedikit berjalan, maka makin
panjanglah hari tersebut, dan apabila telah dekat masanya turunlah hujan lebat
pada bulan Jumadil Akhir dan 10 hari dari bulan Rajab belum pernah seorang
makhlukpun melihat selebat hujan tersebut. Setelah itu Allah menumbuhkan
daging-daging orang beriman dari kuburan mereka, seolah-olah aku melihat mereka
berdatangan, mereka membersihkan rambut mereka dari tanah.
Telah meriwayatkan Abdullah Bin Mughirah dari Abdullah (Ja’far
al-Shadiq), ia berkata: Apabila datang saatnya yang bangkit dari keluarga
Muhammad saw, ia akan membangkitkan 500 orang dari kabilah Quraisy lalu ia
memenggal kepala mereka, kemudian ia memenggal 500 lainnya, sehingga ia
melakukannya enam kali. Bertanya Abdullah Bin Mughirah terheran-heran, apakah
jumlah mereka sebanyak itu? (Dia terheran karena jumlah keluarga Khulafa
Arrasyidin dan Bani Umayyah, Bani Abbas dan seluruh pemimpin Islam sampai masa
Ja’far al-Shadiq tidak sampai seperseratus dari jumlah yang disebutkan),
berkata Ja’far al-Shadiq: Ya, dari kalangan mereka dan keturunan budak-budak
mereka.
Dan datang pada riwayat yang lain, berkata Ja’far al-Shadiq:
Sesungguhnya negeri kita lain dari negeri yang lain, tidak ada yang tinggal
dari Ahli Bait melainkan mereka telah menguasai kita sebelumnya, agar mereka
tidak berkata apabila mereka telah melihat perjalanan kita: Kita berjalan
seperti sejarah mereka.
Meriwayatkan Jabir al-Ju’fi dari Abi Abdillah ia berkata: Apabila telah
bangkit seorang yang bangkit dari Ahli Bait Muhammad ia akan berjalan
mengajarkan Alquran semenjak ia telah di turunkan, maka itulah sesulit-sulit
yang ada dibanding yang dihafal orang sekarang yakni Mush-haf Utsmani. Dan pada
riwayat yang lain telah meriwayatkan Abdullah Bin ‘Ajlan dari Abi Abdillah ia
berkata: Apabila bangkit orang yang bangkit dari Ahli Bait Muhammad ia akan
memerintah seperti pemerintahan Daud Alaihissalam. Dan meriwayatkan
al-Mufadhdhol Bin Umar dari Abi Abdillah ia berkata: Akan datang bersama orang
yang akan bangkit dari belakang kota Kufah 27 orang laki-laki dari kaum Nabi
Musa dan 7 orang dari Ahli Gua Kahfi dan Yusya’ Bin Nun dan Sulaiman dan Abu
Dujanah al-Anshari dan al-Miqdad dan Malik al-Asytar, mereka akan menjadi
penolong dihadapannya.
Sayyid Muhibbun al-Khatib mengomentari riwayat-riwayat diatas semuanya benar-benar tertulis di dalam
kitab-kitab pegangan Syi’ah dan dicetak di Iran, dan itu semua adalah
riwayat-riwayat yang penuh dengan kebohongan.[14]
Syeikh Muihibbun al-Khatib menyebutkan bahwa pemikiran mereka sebenarnya
tidak berubah, walaupun mereka mengajak untuk melakukan pendekatan antara
Syi’ah dengan Ahlussunnah. Pendapat mereka terhadap Sayyidina Abu Bakar, Umar
dan seluruh tokoh-tokoh Islam lainnya dari kalangan Ahlussunnah masih tetap dan
tidak berubah mulai dari dulu sampai sekarang.
Kalangan Syi’ah mengklaim bahwa mereka tidak seperti dulu, itu adalah kebohongan
dan tipu daya saja. Buktinya kitab-kitab mereka masih tetap menjadi pegangan di
perguruan-perguruan mereka bahkan dianggap sebagai kurikulum penting.
Ulama-ulama Iran, Jabal ‘Amil dan Najaf tetap dan senantiasa menyebarkan
karangan-karangan lama, dan yang paling membahayakan dan merusak adalah upaya
mengadakan pendekatan-pendekatan diantara dua Madzhab.
Syeikh Muhibbun al-Khatib memberi contoh : Diantara orang yang paling
semangat untuk melakukan pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah dan bekerja keras
pada siang dan malam seperti Syeikh Muhammad Bin Muhammad Mahdi al-Khalishi,
dia memiliki banyak kawan di Mesir dan negara-negara Arab lainnya, namun pada
kenyataannya dalam satu tulisannya dia mengecualikan Abu Bakar dan Umar dari
kalangan yang telah Allah berikan kepada mereka keridhoan-Nya bahkan mereka
tidak diberi kenikmatan iman. Dia telah menyebutkan hal tersebut pada kitabnya:
“Ahya’ al-Syari’ah Fi Madzhab al-Syi’ah” Juz : 1 hal : 63-64.[15]
8.
Hal-hal gaib hanya milik para Imam (aimmah)
Bila Abu Bakar dan Umar tidak termasuk dari
kalangan yang mendapat ridha dari Allah Ta’ala, sebaliknya mereka menyebarkan
melalui kitab-kitab mereka yang menyebut bahwa para Imam mereka mengetahui
hal-hal gaib seperti kitab : Al-Kafi, didalam kitab ini tertera judul-judul bab
seperti : “Bab para aimmah yang mengetahui seluruh ilmu yang bersumber melalui
Malaikat dan Nabi-nabi dan Rasul” (al-Kafi hal: 255), “Bab Para imam mengetahui
kapan mereka mati dan mereka mati dengan pilihan mereka” (al-Kafi hal: 258),
Bab para Aimmah mengetahui ilmu-ilmu terdahulu dan yang datang, tidak ada yang
tersembunyi bagi mereka” ( al-Kafi hal: 260), “Bab Para Aimmah semua kitab ada
pada mereka dan mereka mengetahui semua bahasanya” (al-Kafi hal: 227), “Bab
hanya para aimmah yang telah mengumpulkan Alquran dan mereka mengetahui semua
ilmunya” ( al-Kafi hal: 228), “Bab Ayat-ayat Nabi-nabi yang ada pada para
aimmah” (al-Kafi hal: 231), “Bab bahwa seluruh aimmah bila datang masanya
mereka akan menghukum seperti hukum Nabi Daud dan keluarganya dan mereka tidak
meminta tanda bukti” ( al-Kafi hal: 297), “Bab segala sesuatu yang haq yang ada
pada manusia semuanya bersumber dari para aimmah, dan yang tidak bersumber dari
mereka adalah bathil” (al-Kafi: 399), dan “Bab sesungguhnya bumi ini seluruhnya
milik imam” (al-Kafi hal: 407)3.
Dari teks-teks dan tema-tema yang mereka kemukakan
dalam kitab-kitab rujukan Syiah imamiyah, sangat jelas bertentangan dengan
akidah Islam yang telah tercantum dalam Alqur’anul Karim, demikian juga dengan
akidah tauhid yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya. Oleh karena itu kita wajib mewaspadai pemahaman, pemikiran dan
penyebaran Syi’ah merasuki kita, keluarga dan kalangan umat Islam lainnya.
Camkanlah!
9.
Kedudukan para imam mereka derajatnya diatas para
Rasul
Termasuk diantara keyakinan kalangan Syi’ah yang
sangat bertentang dengan akidah Ahlussunnah, mereka meyakini bahwa kedudukan
para imam-imam mereka melebihi derajat para rasul. Padahal penerima wahyu
adalah para Nabi dan Rasul dan para Nabi dan Rasul tersebut tidak ada yang
mengaku dirinya diatas Nabi yang lain.
Menurut sepanjang sejarah, mayoritas penganut
Syi’ah memiliki pendirian tertentu terhadap pemimpin-pemimpin Ahlussunnah.
Apabila mereka memiliki kekuatan dinegerinya maka mereka dengan mudah mencaci
dan memaki penganut Ahlussunnah bahkan mencaci maki banyak sahabat kemudian
menyerang dan membumi hanguskan mereka. Namun sebaliknya, jika mereka dalam
posisi lemah maka dengan segera mereka menggunakan senjata “taqiyah”
penuh dengan pura-pura. Begitulah mereka lakukan ketika melemahnya kekuasaan
Umawiyah di Syiria, bahkan pada akhirnya merekalah yang mendorong Hulaku dan
Mogol untuk menyerang kedaulatan Abbasiyah.
Dalam sejarah kelam kota Bagdad, seorang ulama
Syi’ah al-Nushoir al-Thusiy menyusun bait-bait sya’ir yang berisikan nada
permusuhan untuk menghancurkan dinasti Abbasiyah yang pada saat itu tampuk
kekhalifahan dipegang al-Mu’tashim, tidak lama kemudian al-Mu’tashim tersingkir
dari jabatannya sebagai Khalifah pada tahun 655 SM. Pada saat itulah terjadinya
pembantaian besar-besaran yang dilakukan Hulaku dan para pengikutnya dengan
membantai anak-anak, wanita dan para orang tua. Dia juga dengan beringas
membakar perpustakaan-perpustakaan Islam dengan membuang bekas-bekas bakaran ke
sungai Dijlah yang membuat airnya hitam berhari-hari dan bermalam-malam.
Penghianatan terhadap dinasti Abbasiyah yang di
motori oleh al-Nushoir dan kedua kawannya yang satu pernah menjabat sebagai
menteri Syi’ah yaitu al-‘Alqomiy dan Abdul Hamid Bin Abi al-Hadid yang merupakan
tangan kanan al-‘Alqomi sebagai penulis beraliran Mu’tazilah, dalam
tulisan-tulisannya ia banyak menunjukkan permusuhan terhadap para sahabat Nabi
saw, permusuhan itu banyak dihidangkannya dalam syarah kita Nahjul Balaghoh
yang banyak memberikan komentar penuh kebohongan terutama dalam masalah sejarah
Islam.
Sangat disayangkan sampai saat sekarang ini banyak
kalangan pembaca bahkan tokoh Ahlussunnah yang terperdaya dengan
tulisan-tulisannya.
Syeikh Muhibbin al-Khatib menyebutkan Ibnu
al-‘Alqomiy leluasa melakukan pengkhianatan kepada kekuasaan yang dipegang oleh
al-Mu’tashim dikarenakan sifat toleran yang ditunjukkannya kepada kalangan
Syi’ah pada masa itu, sehingga al-‘Alqomiy diberikan posisi sangat terhormat
sebagai menterinya. Ternyata dibalik sifat tasamuh (toleran) sang
khalifah dimanfaatkan oleh al-‘Alqomiy dengan menusuknya dari belakang,
al-‘Alqomiy membalas kebaikan sang khalifah dengan segala tipu dan
pengkhianatan.
Sampai saat ini kalangan Syi’ah imamiyah senantiasa
menunjukkan kegembiraan mereka terhadap tragedi yang dilakukan oleh Hulaku,
yang ingin mengetahuinya lebih dalam dapat membaca biografi al-Nushoir
al-thusiy dalam kitab-kitab sejarah tokoh Syi’ah yang dikarang oleh mereka,
seperti kitab “Raudhat al-jinan” yang ditulis oleh al-Khonsawi, tulisannya
penuh dengan ragam pujian terhadap para penjahat perang Hulaku dan menunjukkan
permusuhan dan cacian terhadap apa yang menimpa kalangan Ahlussunnah saat itu.[16]
10. Keselamatan tidak
akan tercapai melainkan dengan penobatan wilayah bagi ahli bait
Berkata al-Khonsawi (salah satu tokoh Syi’ah),
berkata al-Sayyid Ni’matullah al-Musawi : “Kesimpulannya bahwa seluruh firqoh
(golongan) mengklaim bahwa mengucap dua kalimat syahadatlah yang menjadi tolak
ukur tercapainya keselamatan, yaitu kembali kepada hadis Nabi saw. Barang siapa
yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dia akan masuk sorga. Adapun firqoh
Imamiyah sepakat bahwa tercapainya keselamatan tidak akan tercapai kecuali
dengan membaiat ahli bait dan dua belas Imam yang dua belas, demikian juga
harus menunjukkan baroah (ketidak loyalan) kepada musuh-musuh mereka
yakni Abu Bakar, Umar dan seluruh pengikut mereka atau selain Syi’ah, baik
pemimpinnya begitu juga dengan pengikutnya”[17]
11. Jurang pemisah antara
Ahlussunnah dengan Syi’ah imamiyah perbedaan antara akidah bukan hanya pada
masalah furuiyah
Menyatukan Ahlussunnah dengan Syi’ah imamiyah suatu
hal yang menyerupai mustahil, sebab banyaknya perbedaan yang sangat prinsip
diantara kedua belah pihak, perbedaan itu ada pada pokok-pokok agama atau akidah.
Diantara perbedaan itu seperti:
1.
Penyebutan mereka yang sangat kasar dan tidak
manusiawi terhadap Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “al-Jibt wa-Althaghut”
yang berarti : Syetan betina dan jantan.
2.
Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak
termasuk dari golongan Syi’ah sampai kepada kedua putri Nabi saw yang dinikahi
Utsman ra, sampai kepada keturunannya.
3.
Termasuk juga mereka mengkafirkan imam Zainul
‘Abidin Bin al-Husain Bin Ali Bin Abi Thalib, karena ia enggan mengkafirkan
Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman.
4.
Mereka juga mengkafirkan sahabat mulia Robi’ Bin
al-‘Ash karena dia berasal dari keturunan Umawiyah, padahal Nabi saw telah
memujinya dihadapan orang banyak melalui minbar Masjid Annabawi.
5.
Syi’ah juga menyebutkan bahwa Alquranul Karim telah
diselewengkan.3
Sebagian penulis telah mengumpulkan
keanehan-keanehan pemahaman akidah Syiah Imamiyah Itsnai ‘Asyariyah, seperti
Mahbub Yafa Ibrohim dengan judul : “Ketawa Merinding ala Syi’ah”. Kita sebutkan
ringkasan dari kutipan buku tersebut sebanyak 60 butir pemahaman syi’ah
Imamiyah Iraniyah yang sangat mencengangkan:
1. Tuhan Syi’ah Imamiyah dan aliran lain
berbeda, begitu juga nabi aliran lain berbeda dengan aliran mereka dan
kekhilafahan Abu Bakar Tuhan dan Nabinya bukan Tuhan dan bukan Nabi kita.
2. Menurut Syi’ah Imamiyah sebagian anggota
tubuh Rasulullah saw akan masuk neraka,
3. Sayyidina Ali Bin Abi Thalib lebih dulu masuk
sorga daripada Nabi Muhammad saw,
4. Setiap orang hanya masuk sorga atas
pembolehan Ali Bin Abi Thalib,
5. Allah Swt Turun kebumi dan duduk dengan cucu
Nabi saw al-Husain dan Tuhan menziarahi dan menyalami al-Husain,
6. Allah Swt dan para Malaikat menziarahi makam
Ali Bin Abi Thalib,
7. Wujud Fatimah Az-Zahra adalah wujud Allah
yang Maha Kuasa,
8. Selain Nama-nama Allah yang 99 ada lagi
namanya yang mereka sebut “aah” dan yang menyebut nama itu dia telah minta
pertolongan kepada Allah, bahkan “Ramadhan” termasuk nama Allah Swt,
9. Tidak sah iman seseorang tanpa mengakui
keimaman imam yang 12, yaitu: Ali Bin Abi thalib, Al-Hasan Bin Ali, Al-Husain
Bin Ali, Ali Zainal Abidin Bin Husain, Muhammad Ali Baqir Bin Ali, Ja’far
al-Shadiq Bin Muhammad, Musa al-Kazhim Bin Ja’far, Ali ar-Ridha Bin Musa,
Muhammad al-Jawwad Bin Ali, Ali al-Hadi Bin Muhammad, Al-Hasan al-Askari Bin
Ali, Muhammad al-Mahdi Bin al-Hasan,
10. Derajat imam dan kenabian sama menurut Syi’ah,
11. Orang yang mengingkari Imamah kafir dan kekal
dalam neraka,
12. Ali Bin Abi Thalib adalah penguasa bumi,
13. Ali Bin Abi Thalib adalah mata, tangan dan
pintu Allah Swt,
14. Para Imam lebih utama daripada para Nabi dan
Rasul,
15. Para Imam terlindung daripada dosa besar dan
kecil serta sifat lupa,
16. Para imam mati atas dasar pilihan mereka
sendiri,
17. Kehendak para imam pasti dituruti Allah Swt,
18. Para imam mengetahui yang ada dan tiada,
19. Para Imam pelunas utang para Nabi,
20. Para imam mengaku lebih pandai daripada Nabi
Musa dan Khidhir Alaihisssalam,
21. Imamah adalah saudara kandung kenabian,
22. Kedudukan para imam lebih tinggi daripada para
Malaikat dan para Nabi,
23. Mut’ah (Nikah kontrak) adalah agama nenek
moyang,
24. Orang yang melakukan nikah kontrak satu kali
akan selamat dari murka Allah Swt,
25. Allah Swt mengampuni dosa-dosa pelaku nikah
kontrak sebanyak helai rambut,
26. Yang tidak melakukan nikah kontrak tidak akan
berhidung pada hari kiamat,
27. Allah Swt menciptakan 70 Malaikat bagi orang
yang melakukan mut’ah (kontrak),
28. Tubuh orang yang melakukan nikah Mut’ah tiga
kali akan selamat dari api neraka,
29. Derajat orang yang melakukan mut’ah empat kali
sama derajatnya dengan Rasul saw,
30. Pahala Mut’ah sama seperti pahala menziarahi
Makkah dan Madinah 70 kali,
31. Mut’ah
sebagai pengganti Khamar,
32. Wanita
Mut’ah dipersewakan,
33. Meninggalkan Taqiyah sama seperti meninggalkan
Shalat,
34. Taqiyah adalah keutamaan orang-orang beriman
dan perisai Allah, sorga dan cahaya orang beriman,
35. Seorang Imam mampu menciptakan gajah dari tanah
liat, dapat menciptakan uang dari tisu,
sandal putih bisa menghasilkan uang, sandal hitam bisa membuat impoten,
36. Nabi Yunus Alaihissalam dimakan ikan paus
karena mengingkari imamah,
37. Pedang Ali Bin Abi Thalib bisa membalikkan
bumi,
38. Tanda-tanda anak yang tidak jahat yaitu lemas
buah pelirnya, kecil zakarnya, tenang pandangannya dan kebalikannya pertanda
anak jahat,
39. Makan wortel dapat membuat ereksi,
40. Membaca ayat kursi akan terpelihara dari dua
Syetan,
41. Menziarahi makam al-Husain Bin Abi Thalib lebih
utama daripada pergi haji, dan meninggalkan ziarah kemakamnya tanpa alasan ahli
neraka,
42. Kewenangan para imam adalah kewenangan Allah,
43. Allah Ta’ala berfirman dengan suara dan bahasa
Ali Bin Abi Thalib,
44. Menziarahi makam al-Husain sama seperti
menziarahi Allah Swt,
45. Petir dan guntur berasal dari Ali Bin Abi
thalib,
46. Melihat kemaluan wanita mengakibatkan kebutaan,
47. Imam al-mahdi muncul dalam keadaan telanjang
bulat,
48. Wanita itu untuk dipermainkan,
49. Membaca Alquran dalam kamar mandi tidak
apa-apa,
50. Hukum bersenang-senang dengan paha bayi yang
masih menyusui tidak apa-apa walaupun disertai syahwat,
51. Aurat hanya qubul dan dubur,
52. Memainkan kemaluan dalam saat shalat tidak
salah, walaupun sampai ejakulasi,
53. Boleh bertayammum dengan kemaluan wanita,
54. Mensetubuhi wanita melalui dubur tidak salah
menurut Syi’ah,
55. Boleh shalat jenazah dalam keadaan junub,
56. Wanita tidak memperoleh warisan,
57. Peci yang terkena najis boleh dipakai salat,
58. Melihat aurat seorang non muslim seperti
melihat aurat keledai,
59. Kemampuan Rasulullah saw masih dibawah
kemampuan imam-imam Syi’ah,
60. Seluruh ahlussunnah wal jamaah adalah kafir,
termasuk sebagian besar sahabat.4 Na’udzu
Billahi min dzalik Kita mohon perlindungan kepada Allah dari pemahaman seperti
itu !
12. Loyalitas dan Kecintaan Antara Sesama Muslim
Sesama muslim dituntut adanya saling menunjukkan kecintaan dan loyalitas
atas dasar keimanan yang benar. Tidak terkecuali loyalitas itu ditunjukkan
kepada Ahli Bait Rasul saw tanpa pilih bulu, yang paling terdepan dan harus
dicintai adalah mereka yang telah digembirakan oleh Rasulullah saw dengan sorga.[18]
Sudah lebih dari cukup untuk menyebut kalangan Syi’ah telah menunjukkan ketidak
loyalan mereka terhadap Nabi saw dengan keputusan mereka menyebut kalangan yang
sudah digembirakan oleh Rasul saw dengan sorga sebagai seorang kafir. Kecintaan
terhadap pada sahabat Nabi saw merupakan satu hal yang sudah di puji oleh
Alquranulkarim sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Alquran surah
Albayyinah ayat 8:
“Balasan
mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.
Para sahabat
semasa hidupnya, mereka sangat saling mencintai, layaknya seperti saudara
kandung, oleh sebab itu Rasulullah saw tidak membenarkan sesiapapun yang
menyakiti salah seorang dari mereka, sebagaimana dalam makna hadis : “Jangan
sekali-kali kamu mencaci sahabat-sahabat-Ku, demi Allah seandainya ada diantara
kamu yang menginfakkan emas sebesar gunung uhud, maka tidak akan menyamai
setelapak tangannya atau setengahnya”.[19]
Allah swt
juga telah memuji para sahabat Nabi saw sebagaimana dalam firman-Nya :
“Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath
: 29).
Dan Allah
Ta’ala telah membedakan sahabat Nabi antara satu orang dengan yang lain
walaupun Allah Ta’ala tetap membalas mereka dengan pahala masing-masing,
sebagaimana Allah berfirman :
“Dan mengapa kamu tidak
menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang
mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih
tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan)
yang lebih baik, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS.
Al-Hadid : 10).
Kasih sayang
antara Amirulmukminin sayyidina Ali Bin Abi Thalib dengan saudaranya yang tiga
(Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum) terlihat dari pemberian
nama-nama sebagian anaknya dengan nama mereka. Diantara anaknya ada yang
dinamainya dengan Abu Bakar, ada juga nama Umar dan Utsman.
Tidak hanya
dengan cara itu menunjukkan kecintaan kepada teman, bahkan sayyidina Ali
Karramallahu Wajhah telah menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsum kepada
sayyidina Umar Bin Khatthab, setelah wafat sayyidina Umar Sayyidah, Ummu
Kultsum dinikahi Muhammad Bin Ja’far Bin Abi Thalib saudara sepupu sayyidina
Ali, setelah Muhammad Bin Ja’far wafat kemudian dinikahi saudaranya ‘Aun Bin
Abi Thalib.
Diantara anak
Ja’far Bin Abi Thalib ada yang bernama Abdullah Bin Ja’far atau yang digelar
dengan Dzi al-Janahain Bin Abi Thalib memberi nama anaknya dengan nama
Mu’awiyah, dan Mu’awiyah Bin Abdullah Bin Ja’far Bin Abi Thalib menamakan
anaknya dengan Yazid, sebab sebagian mereka melihat bahwa Yazid sejarah hidupnya baik, sebagaimana Muhammad
Bin al-Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib melihatnya baik, padahal sebutan
Mu’awiyah berasal dari nama sahabat yang dikebiri oleh Syi’ah Imamiyah.[20]
Yazid dan yang berlatar belakang Umawiyah juga sangat dibencihi kalangan Syi’ah
Imamiyah.
Kalangan
Syi’ah yang sangat membencihi sebagian besar sahabat seperti sahabat besar Abu
Bakar, Umar dan Utsman tentu mereka sendiri yang telah menyalahkan bahkan
menunjukkan ketidak loyalan terhadap sayyidina Ali Bin Abi Thalib, bahkan
mereka lebih menyalahkan sayyidina Ali ketika ia rela menikahkan putrinya
kepada sayyidina Umar, bahkan tidak itu saja kalangan Syi’ah telah menyalahkan
sayyidina Muhammad saw karena telah menikahkan dua putrinya kepada sayyidina
Utsman Radhiyallahu Anhum. Demikian juga mereka telah menuduh Muhammad Bin
Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib pembohong, sebab Muhammad Bin Hanafiyah Bin
Ali Bin Abi Thalib telah pernah bersaksi, tatkala Abdullah Bin Zubair mengutus
Abdullah Bin Muthi’ untuk melihat Yazid apa benar ia minum khamar dan
meninggalkan shalat dan ia melanggar hukum Allah?, maka berkata baginya
Muhammad Bin Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib (sebagaimana telah dijelaskan
dalam kitab Hidayat wal-Nihayat 8/232) : “Saya tidak pernah melihatnya seperti
yang kalian sebutkan, bahkan saya telah melihatnya dan aku pernah tinggal
bersamanya, saya menyaksikan ia senantiasa shalat, sangat hati-hati dalam
mencari kebaikan, dia suka bertanya tentang fiqh, senantiasa mengikut sunnah”,
berkata Ibnu Muthi’ : “Barangkali ia hanya pura-pura dihadapanmu?” Dijawab
Muhammad Bin Hanafiyah : “Apa yang membuat dia takut sama saya, sampai-sampai
ia menunjukkan kekhusyu’annya dihadapanku, apa harus saya katakan dia pernah
minum khamar, sedangkan saya tidak pernah melihatnya minum khamar, seandainya
saya bisa menunjukkan itu pada kalian berarti kalian sudah ikut minum
bersamanya, dan jika aku tidak pernah melihat tentu saya tidak boleh mengatakan
ia pernah minum khamar”. Ibnu Muthi’ dan utusan lainnya berkata : “Tapi menurut
kami itu benar!, walaupun kami tidak melihatnya”, Muhammad Bin Hanafiyah
menjawab mereka dengan firman Allah (Melainkan orang yang telah menyaksikan
dengan kebenaran, padahal mereka mengetahui), kemudian Muhammad bin Hanafiyah
berkata : “Saya tidak ikut dengan urusan kalian dalam urusan apapun”.[21]
Syi’ah Rafhidhah
(yang tidak mau mengakui kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu
Anhum) tidak ada kaitannya dengan Ahli Bait Rasulullah saw, sebagaimana
dijelaskan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam : “Pada
hakikatnya sekte Syi’ah sudah menjadi tempat berlindung bagi setiap orang yang
ingin meruntuhkan eksistensi Islam, dikarenakan adanya rasa dengki atau rasa
permusuhan, atau mereka yang ingin memasukkan ajaran nenek
moyang mereka seperti
Yahudi, Nashrani, Zoroester
dan Hindu. Mereka semua menjadikan
kata rasa cinta kepada Ahli Bait Rasulullah saw sebagai tabir untuk menutupi
tujuan yang mereka inginkan”.[22]
Pendapat
Syi’ah Imamiyah dan al-Rafidhah sangat bertentangan dengan apa yang
diriwayatkan dari sayyidina Ali tentang khalifah sebelumnya. Dijelaskan dalam
satu riwayat dalam kitab Tatsbit Dalail An-Nubuwah yang ditulis oleh al-Hamzani
menyebutkan bahwa Suwaid Bin Ghaflah yang merupakan pembantu sayyidina Ali
memberi tahu sayyidina Ali tentang adanya sekumpulan orang yang mengaku sebagai
pengikut Ali Bin Abi thalib, mereka terang-terangan mencerca dan memaki
sayyidina Abu Bakar dan Umar dengan mengatas namakan Ali Bin Abi Thalib.
Setelah Ali Bin Abi Thalib mendengar berita itu, ia lalu berlindung kepada
Allah dua kali atas tuduhan itu kepada pendahulunya dan sayyidina Ali berkata
dengan nada marah : “Laknat Allah terhadap sesiapa yang menyimpan rasa benci terhadap
mereka”. Kemudian sayyidina Ali memasuki mesjid dan menyampaikan khutbah,
isinya sebagai berikut : “Saya dikasih tahu ada sekelompok orang yang
memburuk-burukkan dua penghulu Quraiys (Abu Bakar dan Umar) dan melibatkan nama
saya, sesiapa saja yang memburuk-burukkan mereka, maka saya akan menghukum
mereka seberat-beratnya. Demi Allah tidak ada yang mengasihi mereka berdua
melainkan ia seorang mukmin dan bertaqwa, dan tidak ada yang membencihi mereka
melainkan ia orang jahat dan keji”. Diakhir khutbahnya sayyidina Ali
menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka.[23]
[1]
Syi’ah Zaidiyah tidak mengkafirkan
Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum, tapi mereka mengatakan bahwa
sayyidina Ali lebih berhak menjadi Khalifah di banding mereka. Sementara
kalangan Sunni beranggapan bahwa keutamaan khalifah yang empat sesuai dengan
urutan dan pengangkatan Khalifah sesudah wafat Rasulullah saw.
[2] Pada awalnya Abu Musa al-Asyari penganut
Mu’tazilah, namun kemudian kembali kepada pemahaman Ahlussunnah, pemahaman
Mu’tazilah yang mengandalkan akal semata dalam memahami nash tidak dapat
dinisbahkan lagi kepada Abu Musa Asy’ari.
[3] Ahlussunnah wal Jama’ah Hum Firqoh
Annajiyah, Makalah pada Seminar
Pemurnian Akidah, Dr. Syeikh Jamal Shoqor al-Husaini, h. 10-12, Attin Press SDN
BHD Kuala Lumpur, 2013.
[4] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi
al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid
Muhibbuddin al-khathib, mukaddimah hal:3, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ath
al-Islami 1380 H/1959 M.
[8] Al-Khuthut al-‘Aridhoh Lilusasi al-Lati Qoma ’Alaiha Din
al-Syi’ah al-Imamiyah al-Istnai ’Asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-Khathib, Muassah Makkah
Lith-Thiba’ah al-Islami, Makkah, 1380 H
/ 1959 M, h. 8-11.
[10] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din
al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib, h. 13-16, Makkah, Muassah Makkah
Lith-Thiba’ah al-Islami 1380 H / 1959 M.
[11] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din
al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib, h. 16, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah
al-Islami 1380 H / 1959 M.
[13]
Ibid.,
[14]
Ibid, h. 22-24.
[15] Ibid,
h. 24-25.
3 Ibid, h. 25-26.
[16] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din
al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib, h.
28- 32, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami 1380 H / 1959 M.
4 Ketawa
Merinding ala Syi’ah, Mahbub Yafa Ibrohim, Pustaka al-Kautsar, h. 5-117.
cetakan 2012.
[18] Sahabat-sahabat yang telah digembirakan masuk sorga: Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman Bin Auf, Thalhah Bin Zubair, Abdullah Bin
Zubair, Abu ‘Ubaidah Bin Jarrah, Said Bin Zaid dan Sa’ad Bin ABi Waqqash
Radhiyallahu Anhum.
[20] Seyid Muhibbuddin al-Khathib, Al-Khuthut al-‘Aridhoh
Lilusasi al-Lati Qoma ’Alaiha Din al-Syi’ah al-Imamiyah al-Istnai ’Asyariyah,
Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami, Makkah,
1380 H / 1959 M, h. 36-37.
[22]
Hakikat Syi’ah, Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan
Malaysia, cet. I, 2012, h. 46-47.
[23]
Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar