Kamis, 19 Februari 2015

MEWASPADAI PERGERAKAN DAN PEMAHAMAN SYI’AH



MEWASPADAI PERGERAKAN DAN PEMAHAMAN SYI’AH
Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung, MA

 
W
alaupun tidak semua pemahaman Syi’ah berseberangan dengan pemahaman Ahlussunnah wa al-Jama’ah, baik dari segi konsep akidah maupun dari sudut pandang syari’ah. Akan tetapi bila ditelusuri cukup banyak pertentangan dan perselisihan paham yang sangat tajam antara paham Sunni dan paham Syi’ah. Demikian juga Syi’ah sebenarnya bukan hanya satu aliran saja, Syia’ah juga terbagi-bagi kepada berbagai macam aliran yang cukup banyak dan saling memiliki ciri khas yang sangat berbeda dan saling bertentangan. Diantara pemahaman-pemahaman Syi’ah yang lebih dekat dengan pemahaman dan akidah Ahlussunnah Waljamaah adalah pemahaman aliran Syi’ah Zaidiyah[1]. Pehaman Syi’ah yang paling menonjol dan sangat progresip dipanggung dunia internasional saat ini adalah pemahaman Syi’ah Imamiyah Itsnaiy ’Asyariyah, atau yang sangat populer sekarang ini dengan sebuatan Syi’ah Iraniyah, karena lebih terpusat pergerakannya saat ini di negeri Persia (Iran). Pada akhir-akhir ini Syi’ah Iraniyah progresivitasnya telah mampu menunjukkan esensi dan existensinya ke negara-negara luar, termasuk Indonesia, Malaysia dan sekitarnya, bahkan sudah berani dengan terang-terangan menunjukkan keberadaan mereka di wilayah kawasan Asia Tenggara.

Penulis risalah ini, sangat terpanggil untuk menjelaskan paham-paham syi’ah yang bertentangan dengan paham dan akidah Ahlussunnah Waljamaah, bertujuan agar para da’i, da’iyah  dan seluruh umat Islam yang berpahaman Ahlussunnah tidak keliru dalam memahami ciri-ciri golongan Syi’ah saat ini, terutama di sekitar Kabupaten Asahan dan seluruh tanah air pada umumnya.


Negara Bahrain bergejolak disinyalir dibelakangnya dikomandoi oleh kalangan Syi’ah, di Syria juga di ketahui pemimpinnya adalah berpahaman Syi’ah, bergejolaknya Mesir juga tak terlepas dari pengaruh Syi’ah, di Indonesia pada peristiwa berdarah di Madura (Sampang) juga ada keterkaitannya dengan isu aliran Syi’ah.

Sebagian kalangan ulama dan para cendikiawan muslim menyeru agar kedua belah pihak sering mengadakan dialog, ternyata dialog itu berhasil dilakukan diberbagai negara Islam. Pada realitanya dialog tersebut lebih banyak menguntungkan kalangan Syi’ah dibanding Ahlussunnah. Karena melalui dialog tersebut mereka berhasil menjadikan seminar-seminar yang digelar sebagai tameng yang sangat relevan dengan konsep keyakinan taqiyah yang dianut madzhab Syi’ah Imamiyah. Melalui konsep taqiyah mereka dapat menyembunyikan paham-paham radikal mereka yang dibalut dengan kelembutan. Ternyata semua itu hanya sebatas retorika diatas kertas saja dan pada hakikatnya justru melalui itu mereka lebih leluasa masuk kenegara-negara yang berpahaman Ahlussunnah. Sementara Ahlussunnah dengan segala keterbukaannya, berbicara apa adanya, kemudian kalangan Syi’ah menjadikan keterbukaan itu sebagai peluang untuk membuka dialog terbuka.
Oleh sebab itu kalangan akademisi, da’i/da’iyah, Ormas Islam dan tidak terlepas seluruh pemangku jabatan di negeri ini, sudah saatnya kembali membuka mata, mempertajam analisa dan pemikiran untuk membendung terjadinya komplik sosial di tengah-tengah masyarakat. Saat ini tidak ada cara lain kecuali kembali menggerakkan dan memperbanyak kajian terhadap akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, untuk memurnikan akidah dan syari’ah dari pemahaman keliru dan sesat.

A.   PENTINGNYA MEMELIHARA AKIDAH
      AHLUSSUNNAH WALJAMAAH
Untuk mengkaunter dan membentengi diri dari akidah yang salah dan sesat, seseorang  harus mampu memahami dan mengamalkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah pada dirinya. Semenjak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara dan tidak terlepas Indonesia. Dapat kita simpulkan secara mayoritas negara-negara Islam berdasarkan dan berpedoman kepada akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Demikian itu dapat kita lihat dari masa kemasa ulama-ulama  yang muncul membawa akidah Asy’ariyah[2] dan al-Maturidiyah yang merupakan kelompok pembawa akidah Ahlussunnah wal-Jama’ah.

Diantara ulama-ulama Asia tenggara yang tidak diragukan lagi keilmuan dan kafasitas mereka pada zamannya cukup banyak yaitu[3] :
NO
NAMA ULAMA
ASAL NEGARA
LAHIR / WAFAT
KARYA
1
Syeikh Muhammad Zein Bin Jalaluddin al-Aceh 
Aceh Indonesia
Pada abad
ke 10 Hijriyah
kitab bidayah al-Hidayah
2
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani
Fatani Thailand
Lahir 187 H
Sullam al-Mubtadi
3
Syeikh Abdul Shomad al-Falembani
Palembang Indonesia
Wafat 126 H
Sabilal muhtadin
4
Syeikh Abdulkadir Bin Abdurrahim
Terengganu Malaysia
Wafat
sekitar 1280 H

5
Syeikh Tuan Minal Zainul Abidin al-Fatani
Patani Thailand
Hidup pada abad ke 13 H
Aqidatunnajin
6
Syeikh Muhammad Umar Bin Nawawi al-Bantani
Banten Indonesia
Wafat 1314 H
Syarih Sullaam al-Taufiq
7
Syeikh Haji Muhammad Shalih derajat, Teman syekh al-bantani dan murid Syeikh Ahmad zaini Dahlan
Jawa Indonesia
Wafat 1321 H

8
Syekh Abdullah Fahim

Wafat 1330 H

9
Syekh Wan Ali Bin Abdurrahman Bin Abdulghafur Kutan al-Kelantani
Kelantan Malaysia
Wafat 1331 H

10
Syeikh muhammad Daud al-Fatani
Patani Thailand
Wafat 1333 H
Matla’ al-badroin
11
Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi
Minangkabau Indonesia
Wafat 1334 H

12
Syekh Husain Bin Muhammad Nastir Bin thaib al-Mas’udi al-banjari
Banjar Indonesia
Wafat 1354 H
Hidayat al-mutafakkirin
13
Syeikh mukhtar Bin ’Atarid al-Bantawi al-Bugori
Bogor Indonesia dan menetap di Makkah

Ushuluddin I’tiqad Ahlussunah Waljamaah
14
Syeikh Sirajuddin Abbas
Jawa Indonesia

Aqidah Ahlussunnah Waljamaah
15
Syeikh Wan ismail Abdulqadir Bin Mushtafa al-fatani
Patani Thailand
Wafat 1410 H
Bakurah al-Aman
16
Syeikh al-Muhaddits Syeikh Yasin al-Fadani
Padang Indonesia menetap di Makkah
Wafat 1410 H
Banyak menulis dalam kajian hadis, Bahasa arab (nahu, Saraf dan Faraidh).

B.   UPAYA PENDEKATAN ANTAR PEMAHAMAN SYI’AH DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Syeikh al-Marhum Sayid Muhibbuddin al-Khatib, seorang penulis besar dalam bukunya “al-Khuthut al-’Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah” (Jurang pemisah yang ditegakkan oleh agama Syi’ah Imamiyah dua belas)”. Syeikh Muhibbuddin al-Khathib, menyebut aliran Syi’ah Itsnay ’Asyariyah dengan sebutan sebuah agama, tidak hanya dengan sebutan aliran atau madzhab. Tentu sebutan itu seolah-olah menyatakan bahwa pemahaman Syi’ah Imamiyah sudah sangat jauh melenceng dari pemahaman Ahlussunnah wal-Jama’ah, baik dari segi akidah, syari’ah maupun manhaj[4].


Upaya pendekatan antara Sunni dan Syi’ah pertama-tama dilakukan oleh pemerintah Mesir, dan telah mengalokasikan dana untuk itu dari APBN, proyek ini gencar di mulai sekitar tahun 1380 H/1959 M. Akan tetapi menurut Syeikh Muhibbuddin al-Khathib keinginan itu masih bertolak belakang dengan keinginan pemerintah kota Teheran, Qum, Najaf, Jabal Ain maupun kota-kota lainnya di Iran. Baik ulama maupun Pemerintah Iran masih memandang masalah perbaikan pemahaman antara Sunni dan Syi’ah dengan sebelah mata[5]. Mereka ingin dipahami tapi mereka enggan memahami orang lain.

Dibelakang upaya membangun paradigma baru antara Sunni dan Syi’ah sangat sulit atau menyerupai mustahil untuk disatukan, karena para ulama Syi’ah di Iran masih menjadikan dialog hanya sebatas tameng atau alat untuk menyebarkan pemahaman Syi’ah dikalangan golongan Sunni. Syeikh Muhibbuddin al-Khatib mengemukakan contoh terbitnya buku berjudul “al-Zahro’” tiga jilid yang ditulis oleh ulama Najaf, mereka menyebut dalam kitab tersebut bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khatthab menderita satu penyakit yang tidak dapat diobati kecuali dengan air mani laki-laki, buku itu beredar luas di Irak sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz al-Basyir al- Ibrahim seorang ulama Jazair ketika ia mengadakan kunjungan ke Irak. Sikap pemahaman zalim seperti itu tentunya mereka yang harus lebih tepat untuk melakukan pendekatan, bukan kita dari kalangan Ahlussunnah. Pemahaman seperti itu cukup dikatakan sebagai pemahaman pelampau dan sangat ekstrim (Mutathorrif) sebab sudah mencederai diantara para sahabat terbaik Rasulullah. Sebutan itu kepada Khalifah Umar ra menimbulkan aroma permusuhan, kedengkian dan sangat jauh dari sifat toleran (tasamuh). Ahlussunnah sangat menghormati ahli bait Rasulullah saw, dan menempatkan mereka pada posisi mulia dan tinggi, namun tidaklah mengangkat derajat mereka menjadi tuhan, karena pengkultusan itu sangat bertentangan dengan kemurnian tauhid. Bebeda dengan mereka yang terlalu mengkultuskan ahlu bait Rasulullah, sampai-sampai mereka memposisikan Sayidina Ali ra sebagai tuhan[6]. Dari 2 sisi ini saja sangat sulit mempertemukan antara Sunni dan Syi’ah terutama dengan Syi’ah Ibadhiyah, Imamiyah (Ja’fariyah Iraniyah) dan Syi’ah ’Alawiyah.

C.   MASALAH-MASALAH YANG TIDAK PERNAH BERTEMU ANTARA SUNNI DAN SYI’AH
Perseberangan pemahaman antara Ahlussunnah dan Syi’ah sangat banyak, dalam masalah Fiqh al-Islami misalnya metode Istinbat Hukum dikalangan Syi’ah sangat berbeda denga cara Istinbath Fiqh Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama Sunni terutama ulama mazdhab yang empat. Jika perberdaan metode Istinbat Hukum sudah berbeda maka tidak akan mungkin akan menghasilkan kesepahaman diantara dua belah pihak. Sebab untuk menghasilkan hukum yang relevan dan sesuai harus melalui uji materi sesuai dengan metode yang dijadikan sebagai rujukan. Kita sebutkan hal-hal yang sangat berbeda antara Ahlussunnah dengan kalangan Syi’ah.
                                                         
1.      Masalah Taqiyah
Masalah taqiyyah dikalangan Syi’ah merupakan masalah serius, sehingga taqiyyah merupakan bahagian akidah. Bagi orang yang tidak berpegang dengan konsep taqiyyah dianggap tidak beragama dan keluar dari Islam. Makna taqiyyah ialah : Boleh bagi mereka mengutarakan yang tidak sebenarnya sesuka mereka  sewaktu-waktu jika keadaan nampak membahayakan bagi mereka, walaupun itu bertentangan dengan isi hati mereka yang sebenarnya. Prinsip seperti ini tentu satu prinsip yang mengajarkan bahkan menekankan sifat dan sikap munafik dihadapan orang yang berbeda akidah atau berbeda pendapat dengan mereka.

Muhammad Jawad al-Maghniyah salah seorang ulama Syi’ah saat ini  menyebutkan dalam kitabnya” Asy-Syi’ah fi al-Mizan” tentang taqiyyah :
اَلتَّقِيَّةُ أَنْ تَقُوْلَ أَوْ تَفْعَلَ غَيْرُ مَاتَعْتَقِدُ لِتَدْفَعَ الضَّرَرَ عَنْ نَفْسِكَ أَوْ مَالَكَ أَوْ لِتَحْتَفِظَ كَرَامَتَكَ.
“Taqiyyah ialah bahwa engkau mengatakan atau engkau berbuat diluar dari yang engkau percayai, karena bermaksud mencegah dirimu dari bahaya atau ingin menjaga hartamu atau harga dirimu (kedudukanmu)”.[7]

2.      Masalah Pencederaan dan Merendahkan Alquranulkarim
Seyogianya, jika kita ingin melakukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah, yang pertama-tama yang harus disepakati adalah menjadikan Alquran al-Karim sebagai sumber Syari’at dan menjadikannya sebagai rujukan terpenting, baik dalam asfek akidah maupun asfek syariat, kemudian memaknainya sesuai dengan tujuan nash, dan tidak menginterpretasikannya kepada yang aneh-aneh (syazd). Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kalangan ulama Syi’ah sangat banyak melakukan penafsiran terhadap nash Alquran sesuka mereka dan sangat bertentangan dengan penafsiran dan pemahaman para sahabat dari Nabi Muhammad saw. Almarhum syeikh Muhibbuddin al-Khathib menyebut ulama yang sangat dihormati kalangan Syi’ah berasal dari Najaf Iran bernama : Haji Mirza Husain Bin Muhammad Taqi al-Nuri al-Thabrusi, wafat pada tahun 1320 H, dan mereka makamkan di pekuburan al-Masyhad al-Murtadhawi di Kota Najaf dekat batu pelataran Banu al-Uzhma Bunti Sulthan al-Nashirlidinillah, merupakan salah satu tempat tersuci diatas bumi ini dikalangan golongan Syi’ah. Haji Mirza Husain ini telah menulis satu buku pada tahun 1292 H di Najaf dekat satu kuburan yang diklaim mereka kuburan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah. Nama kitab yang dia karang “Fashlul Khithab Fi Itsbati tahrifi Kitabi Rabbil Arbab” dalam kitabnya tersebut dia menyimpulkan bahwa Alquranul Karim - Rasm Utsmani - telah terjadi penambahan dan pengurangan.

Kitab Haji Husain al-Thabrusi telah dicetak dan beredar dikalangan orang awam pada tahu 1289 H. Setelah beredarnya disemua kalangan ternyata menimbulkan pro dan kontra dikalangan pembaca, para kalangan ulama Syi’ah berharap Haji Husain al-Thabrusi tidak mengumpulkan pendapat-pendapat miring terhadap Alquran dalam satu kitab, mereka menginginkan pendapat-pendapat tersebut dibiarkan terpencar-pencar dalam berbagai kitab dan tulisan, agar kalangan Sunni tidak langsung merespon dan tertuju kepada satu kumpulan. Pendapat agar tidak dikumpulkan dalam satu kitab tiada lain bertujuan untuk mengamalkan taqiyah.

Diantara keterangan Haji Husain al-Thabrusi tentang adanya pengurangan dalam Alquran dijelaskan pada kitabnya halaman 180 yang disebut mereka dengan surat wilayah yang bunyinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالنَّبِيِّ وَالْوَلِيِّ اللَّذَيْنِ بَعَثْنَاهُمَا يَهْدِ يَانِكُمْ إِلَى صِرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
“Hai orang-orang beriman kepada nabi dan wali, yang kedua-duanya kami bangkitkan untuk memberi petunjuk kepada kamu ke jalan yang lurus”.

Dan diantara penyelewengan yang dilakukan oleh Haji Husain al-Thabrusi, sebagaimana di nukilnya dari al-Kafi halaman 289 terbit pada tahun 1278 H di Iran, kitab al-Kafi ini kedudukannya dikalangan Syi’ah Imamiyah seperti kedudukan Shaheh Bukhari dikalangan Ahulussunnah wal-Jamaah, bunyinya sebagai berikut :
رَوَى عِدَّةٌ مِّنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهَلِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِه عَنْ أَبِي الْـحَسَنِ عَلَيْهِ السَّلَامِ (أَيْ أَبُو الْـحَسَنِ الثَّانِيْ عَلِيِّ بْنِ مُوْسَى الرِّضَا الْمُتَوَفّٰى سَنَةَ 206 الهجري) قَالَ: قُلْتُ لَهُ جَعَلْتُكَ فِدَاكَ، أَنَّا نَسْمَعُ الْاٰيَاتِ فِي الْقُرْآنِ لَيْسَ هِيَ عِنْدَنَا كَمَا نَسْمَعُهَا، وَلَانُحْسِنُ أَنْ نَقْرَأَهَا كَمَا بَلَغَنَا عَنْكُمْ، فَهَلْ نَأْثَمُ؟ فَقَالَ: لَا، اِقْرَؤُوْا كَمَا تَعَلَّمْتُمْ فَسَيَجِيْئُكُمْ مَنْ يُّعَلِّمُكُمْ.
“Telah meriwayatkan dari kalangan kita dari Sahal Bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman dari sebagian Sahabatnya dari al-Hasan Alaihissalam (yaitu : Abul  Hasan al-Tsani Ali Bin Musa al-Ridha wafat pada tahun 206 H), ia berkata : aku katakan padanya : aku jadikan diriku tebusan untukmu, kita mendengar ayat-ayat dalam Alquran yang tidak ada dalam kitab kita seperti yang kita dengarkan, dan kita tidak terbiasa membaca seperti yang sampai kepada kita dari kamu, apakah kita berdosa? Di jawab: Tidak, baca kamulah sebagaimana kamu pelajari, maka akan datang orang yang akan mengajari kamu”.

Syeikh Muhibbuddin al-Khatib mengomentari teks diatas, bahwa perkataan itu jelas telah dibuat-buat oleh kalangan Syi’ah terhadap Imam Ali Bin Musa al-Ridha. Tapi yang menjadi pegangan dan fatwa dikalangan mereka bahwa membaca Alquran melalui Rosm mushab Utsmani yang beredar dikalangan Sunni tidak berdosa membacanya.

Namun demikian dikalangan tertentu atau kalangan yang dianggap kompeten menurut mereka berkeyakinan akan mengajarkan kepada orang lain yang menyalahi apa yang sebenarnya tercantum dalam Alquran Rosm Utsmani dan mereka mengklaim bahwa Alquran versi mereka ada dikalangan ulama-ulama ahlu bait. Pada kenyataannya mereka menyebut tidak berdosa membaca Alquran melalui Alquran yang dipegang Ahlussunnah sebenarnya hanya sebatas Rethorika dan mengamalkan akidah taqiyyah. Contoh kongkritnya adanya buku yang dikarang oleh Haji Mirza Husain Bin Muhammad Taqi al-Nuri al-Thabrusi :
فَصْلُ الْخِطَابِ فِيْ إِثْبَاتِ تَحْرِيْفِ كِتَابِ رَبِّ الْأَرْبَابِ
“Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbab” (Keterangan rinci tentang kebenaran adanya penyelewengan kitab Tuhan segala Tuhan.[8]
Diantara klaim Syi’ah adanya pengurangan dalam Alquran Rosm al-Utsmani seperti pengurangan dari surat al-Insyirah nashnya sebagai berikut :
وَجَعَلْنَا عَلِيًّا صِهْرَكَ
“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu”

Apakah dengan klaim keji ini tidak membuat kalangan Syi’ah tidak merasa malu, karena jika kita pikirkan dengan benar, surat al-Insyirah diketahui turun di Makkah (Surat al-Makkiyah), dan pada periode Makkah Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah belum menjadi menantu Nabi Muhammad saw, satu-satunya menantu Nabi pada periode Makkah hanya al-Ash Bin al-Robi’ al-Umawi. Demikian juga diketahui ketika Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah ingin memadu Fathimah Binti Muhammad saw dengan salah seorang putri Abu Jahal, lalu kemudian Fathimah Radhiyallahu ‘Anha mengadu kepada Rasulullah saw (kemudian tidak jadi di nikahi Sayyidina Ali). Jika Sayyidina Ali telah menjadi menantu Nabi Muhammad saw, maka Sayyidina Utsman pun sudah menjadi menantu Rasulullah saw dan telah menikahi dua putrinya. Sewaktu salah satu putrinya wafat, Rasulullah kembali berkata kepada sayyidina Utsman : “Seandainya kami memiliki anak ketiga niscaya kami nikahkan kepadamu (Utsman Radhiyallahu ‘Anhu)”[9]

Diantara pertentangan yang dianut oleh kalangan Syi’ah Imamiyah disebutkan dengan tegas pada kitab al-Kafi al-Kulaini pada halaman 54 cetakan Iran tahun 1278 H, atau pada halaman 228 cetakan 1381 H bunyinya :
عَنْ جَابِرِ الْجُعْفِيْ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُوْلُ: "مَاادَّعٰى أَحَدٌ مِّنَ النَّاسِ أَنَّهُ جَمَعَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَمَا أُنْزِلَ اِلَّا كَذَّابٌ وَمَا جَمَعَهُ وَحَفِظَهُ كَمَا أَنْزَلَهُ اِلَّا عَلِيٌّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ وَالْأَئِمَّةُ مِنْ بَعْدِهِ".
Bersumber dari Jabir al-Ju’fi ia berkata : Saya telah mendengar Aba Ja’far Alaihissalam berkata : “Barang siapa yang mengaku-ngaku dari manusia bahwa dia telah mengumpulkan Alquran seluruhnya sebagaimana telah diturunkan, melainkan ia tukang pembohong, dan ia tidaklah mengumpulkan atau menghafalnya seperti apa yang diturunkan melainkan kepada Ali Bin Abi Thalib dan imam-imam sesudahnya”.

Syeikh Muhibbun al-Khatib mengomentari pernyataan diatas : Setiap orang dari penganut Syi’ah membaca kitab al-Kafi yang dianggap sederajat dengan shaheh Bukhari dikalangan Ahlussunnah, sebenarnya mereka berbohong terhadap Ali al-Baqir Abi Ja’far Rahimahullah, dengan alasan sayyidina Ali Rodhiyallahu Anhu tidak pernah menggunakan kitab suci semasa ia menjabat Khalifah, kecuali menggunakan Alquran rosm Utsmani, atau yang dikumpulkan sahabat Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu, bahkan ia ikut serta menyebar luaskannya dikhalayak ramai dan memerintahkan agar itu yang menjadi rujukan pada setiap kota atau distrik dizaman itu. Padahal ketika itu Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah pemegang mandat kekhilafahan, kekuasaan ditangannya, tidaklah seorang khalifah menyembunyikan sebagian Alquran, jika itu dilakukannya – Na’udzu Billah – tentu ia sudah pengkhianat besar bagi Allah swt dan Rasul-Nya demikian juga dia telah mengkhianati umat Islam.
Jabir al-Ju’fi dikalangan Syi’ah sangat dihormati, meraka memposisikannya setara Imam Bukhari dikalangan Ahlussunnah waljamaah. Namun dikalangan ulama-ulama ahlussunnah Jabir al-Ju’fi dia dijuluki lebih dari seorang pembohong. Berkata Yahya al-Hammani saya telah mendengar Abu Hanifah berkata :
مَا رَأَيْتُ فِيْمَنْ رَأَيْتُ أَفْضَلَ مِنْ عَطَاءٍ، وَلَا أَكْذَبٌ مِنْ جَابِرِ الْجُعْفِيِّ
“Saya tidak pernah melihat yang pernah saya lihat lebih afdhal daripada ‘Atha’, dan tidak pernah aku lihat yang lebih pembohong melebihi Jabir al-Ju’fi”.

Dan yang paling nampak kebohongan yang dibuat-buat mereka terhadap Ja’far al-Shadiq dijelaskan dalam kitab Al-Kafi hal : 57 cetakan 1278 H, Iran, dan hal : 238 cetakan tahun 1381 H, bunyinya sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ قَالَ: دَخَلْتُ عَلٰى أَبِيْ عَبْدِ اللهِ ... إِلٰى أَنْ قَالَ أَبُوْ عَبْدُاللهِ (أَيْ جَعْفَرُ الصَّادِقُ): وِإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ ... قَالَ: قُلْتُ: وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هٰذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَاللهِ مَافِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ.
“Bersumber dari Abi Bashir, ia berkata : Saya pernah bertemu dengan Abi Abdillah...  yakni Ja’far al-Shadiq : Sesungguhnya kami memiliki Mush-haf (Alquran) Fathimah Alaihassalam..... Abi Bashir berkata : Apa yang dimaksud dengan Mush-haf Fathimah? Ia menjawab : Mush-haf didalamnya seperti Quran kelian ini lebih banyak tiga kali dibanding Quran kalian, dan didalamnya tidak ada satu hurufpun seperti Quran kalian”.
Syeikh Muhibbun al-Khathib mengomentari teks diatas : Ini adalah teks-teks kalangan Syi’ah yang penuh dengan kebohongan terhadap Ahlu Bait, dan itu sudah mereka lakukan semenjak dulu, Muhammad Bin Ya’kub al-Kulaibi al-Rozi seorang tokoh Sy’ah telah menulisnya didalam kitab Al-Kafi lebih dari seribu tahun yang lalu[10].

3.      Pendapat mereka terhadap Kepemimpinan Khilafah
Sudah menjadi kenyataan dan perhatian serius dikalangan Ahlussunnah wal-Jamaah, bahwa prinsip Syi’ah Imamiyah dua belas atau yang dikenal dengan Syi’ah Ja’fariyah yang berpendapat : Kepemimpinan khilafah yang di emban oleh Sayyidina Abu Bakr, Umar dan Ustman Rodhiyallahu Anhum sampai terangkatnya Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah dianggap tidak sah. Kekhilafahan sahabat yang sah terhitung setelah sayyidina Ali terangkat menjadi khalifah, dan khilafah yang sah menurut mereka secara syar’i dan merupakan bagian dari akidah yang tidak bisa ditawar-tawar adalah khilafah yang di emban oleh dua belas Imam ahlu bait. Adapun kepemimpinan  sayyidina Abu Bakr, Umar dan sesudah mereka, walaupun sudah banyak berjasa dan berkhidmat untuk menyebarkan panji Islam di muka bumi, mereka tetap dianggap sebagai terkecuali dan tetap perampas kekuasaan sampai hari kiamat.[11]


4.      Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma dijuluki “al-Jibt dan al-Thaghut”
Kalangan Syi’ah Imamiyah dua belas (Ja’fariyah) terang-terangan menyebut sayyidina Abu Bakar, Umar dan khalifah sesudah mereka, atau  yang tidak mengangkat sayyidina Ali Karromallahu Wajhah sebagai Khalifah dengan julukan “al-Jibt dan al-Thaghut”. Mereka telah mengklaim bahkan berbohong bahwa sebutan itu di dibenarkan oleh Imam Abil Hasan Ali Bin Muhammad Bin Musa kepada Abu Bakar dan Umar.

Di jelaskan pada salah satu kitab pegangan mereka, yang mereka anggap sebagai kitab paling sempurna dalam masalah “Jarah wa Al-Ta’dil” yaitu kitab : “Tankih al-Maqol fi Ahwal al-Rijal”, karangan Syeikh al-Allamah al-Tsani Ayatullah al-Maqomi juz I, halaman 207 cetakan al-Murtadhowiyah, Najaf Tahun 1352 H. Ayatullah al-Maqomi menaqal dari Syeikh Muhammad Bin Idris al-Huli di penutup kitab “al-Saroir” bersumber dari kitab “Masail al-Rijal wa Mukatabatihim ila Maulana Abi Alhasan Ali Bin Muhammad Bin Musa Alaihissal”.

Berkata Muhammad Bin Ali Bin Isa ia bercerita : “Aku menulis kepadanya menanyakan tentang orang yang meletakkan permusuhan kepada Ahli bait, apakah saya perlu menguji mereka dengan menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Jibt dan Thaghut? Di jawabnya : Cukup bagi orang yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding Ali sebagai Jibt dan Thaghut. Mereka tidak cukup menjuluki kedua sahabat tersebut dengan Jibt dan Thaghut, bahkan mereka menyebut dalam doa mereka : Do’a atas penyembah berhala (Abu Bakar dan Umar), seperti di jelaskan dalam kitab mereka “Miftahul Jinan” halaman 114, kumpulan do’a itu disejajarkan dengan kumpulan do’a-do’a Dalail al-Khoirat.

Seperti contoh :
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، وألعن صنمي قريش وجبتيهما وطاغوتيهما وابنتيهما...
“Ya Allah! Limpahkanlah Rahmat dan karunia-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan la’natlah dua penyembah berhala Quraisy (Abu Bakar dan Umar) dan kedua jibt dan thaghut dan anak keduanya …… (Aisyah dan Hafshah)”.[12]

5.      Penghormatan kepada pembunuh Sayyidina Umar
Para pengikut Syi’ah telah memberikan pengahargaan setinggi-tingginya kepada pembunuh Sayyidina Umar, dan mereka menyebut Abu Lu’luah dengan gelaran : “Ibnu Syuja’” atau anak pemberani.

Telah melansir Ali Bin Muthahir dari Ahmad Bin Ishak al-Qumi al-Ahwashi yang merupakan Syekh kalangan Syi’ah Imamiyah, bahwa hari terbunuhnya Umar di jadikan sebagai hari paling akbar, dan paling digembirakan dan merupakan hari kebanggaan, bahkan disebut dengan hari penyembelihan paling agung juga disebut dengan hari yang berkah dan hari penghibur.[13]

6.      Pandangan Syi’ah Imamiyah terhadap pemimpin yang berlatar belakang Ahlussunnah
Mulai dari kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar sampai kepada kepemimpinan Sholahuddin al-Ayyubi dan seluruh pemimpin yang berlatar belakang Ahlussunnah Waljamaah, walaupun mereka sudah banyak berjasa dalam mengemban misi dakwah, bahkan banyak negeri di belahan dunia ini yang telah mereka taklukkan, mereka itu semuanya menurut pandangan Syi’ah pemimpin-pemimpin zalim dan mereka termasuk ahli neraka. Karena mereka itu pemimpin yang illegal menurut Syari’at dan bagi penganut Syi’ah tidak berhak untuk menunjukkan kesetiaan dan tidak boleh tolong-menolong dengan mereka. Namun boleh menunjukkan kesetiaan kepada mereka dengan mengamalkan konsep “taqiyyah”.

Diantara akidah yang sangat mendasar dikalangan Syi’ah Imamiyah, mereka berkeyakinan bahwa al-Mahdi yakni Ja’far al-Shadiq yang merupakan imam mereka ke-12, yang mana menurut mereka al-Mahdi masih hidup sampai sekarang, dan kedatangannya sedang ditunggu-tunggu yang akan menjadi komandan mereka untuk ambil balas dendam dari musuh-musuh mereka. Apabila mereka menulis namanya dalam عَجْ kepanjangannya عَجَّلَ اللهُ فَرَجَهُ  artinya “semoga Allah mensegerakan kedatangannya”. Manakala ia nanti bangun dari tidurnya yang sangat panjang sudah lebih dari 1500 tahun lamanya, ketika ia terbangun dia akan membawa untuk agama Allah dan agama nenek moyangnya dan menerapkan segala hukum-hukumnya. Kemudian ia akan menegakkan hukum kepada kepala “jibit” atau “thaghut” yakni kepala syetan yaitu Abu Bakar dan Umar  dan yang 1 jalan dengan mereka berdua.
Setelah itu akan memerintah imam kedua belas mereka dan imam tersebut akan memerintahkan agar membunuh limaratus penguasa serentak sampai mencukupi tiga ribu penguasa pada setiap periode sebelumnya. Dan kejadian itu akan terjadi didunia sebelum berbangkit penghabisan pada hari kiamat, hari itu disebut dengan hari pembalasan (qishos) dan di sebut juga dengan hari al-raja’ah (reingkarnasi dalam agama Hindu), dan selain mereka bermatian dan ketika itulah terjadi hari berbangkit yang paling akbar, kemudian menuju sorga atau neraka. Sorga adalah milik ahli bait dan yang seakidah dengan mereka, sedangkan api neraka untuk orang-orang yang diluar Syi’ah.

7.      Semangat untuk menghancurkan dan balas dendam
Telah tercatat dalam kitab-kitab pegangan mereka seperti berikut ini : Telah berkata Abdullah (Ja’far al-Shadiq) ia dipanggil dengan sebutan Imam mereka yang kedua belas, mereka mengklaim dia telah terlahir lebih dari sebelas abad yang lalu dan ia belum pernah wafat, dengan alasan ia akan menegakkan hukum. Namanya akan dipanggil pada malam kedua puluh tiga dan ia akan bangkit pada sepuluh ‘Asyura (sepuluh Muharram). Ja’far al-Shadiq berkata : Seolah-olah aku berada pada sepuluh ‘Asyura dari bulan Muharram berdiri diantara sudut Ka’bah dengan Makam Ibrahim, sedangkan jibril berada disamping kanannya dan memanggil-manggil: Janji setia hanya kepada Allah, lalu berbondong-bondonglah kearahnya kalangan Syi’ah berdatangan dari semua penjuru bumi, seolah-olah bumi didekatkan sehingga mereka membai’atnya. Menurut atsar yang mereka perpegangi imam kedua belas mereka tersebut akan berjalan dari Makkah sampai ke kota Kufah dan ia akan tinggal di Najaf, kemudian ia menebar bala tentaranya keseluruh wilayah dan kota.

Telah meriwayatkan Hijal dari Tsa’labah dari Abu Bakar al-Hadhromi dari Ja’far al-Shadiq Alaihissalam ya’ni Muhammad al-Baqir, ia berkata : Seolah-olah aku berdiri di atas Najaf – Kufah dan ia berjalan dari Makkah ke Najaf diiringi 15.000 Malaikat, Jibril dari sebelah kanannya, Mikail dari sebelah kirinya dan orang-orang beriman dihadapannya, kemudian ia menebar bala tentara di seluruh negeri.

Telah meriwayatkan Abdul Karim al-Ju’fi ia berkata : Aku bertanya kepada Abi Abdillah (Ja’far al-Shadiq), berapa lama ia memerintah? Dijawabnya: 7 tahun, 1 tahun seperti 10 tahun, maka kerajaannya 70 tahun dibandingkan dengan tahun-tahun kalian. Berkata Abu Nushoir bagi Abdul Karim: Aku jadikan diriku tebusan bagimu, bagaimana Allah memanjangkan tahun-tahun tersebut? Ia jawab: Allah memerintahkan tatasurya berhenti dan sedikit berjalan, maka makin panjanglah hari tersebut, dan apabila telah dekat masanya turunlah hujan lebat pada bulan Jumadil Akhir dan 10 hari dari bulan Rajab belum pernah seorang makhlukpun melihat selebat hujan tersebut. Setelah itu Allah menumbuhkan daging-daging orang beriman dari kuburan mereka, seolah-olah aku melihat mereka berdatangan, mereka membersihkan rambut mereka dari tanah.

Telah meriwayatkan Abdullah Bin Mughirah dari Abdullah (Ja’far al-Shadiq), ia berkata: Apabila datang saatnya yang bangkit dari keluarga Muhammad saw, ia akan membangkitkan 500 orang dari kabilah Quraisy lalu ia memenggal kepala mereka, kemudian ia memenggal 500 lainnya, sehingga ia melakukannya enam kali. Bertanya Abdullah Bin Mughirah terheran-heran, apakah jumlah mereka sebanyak itu? (Dia terheran karena jumlah keluarga Khulafa Arrasyidin dan Bani Umayyah, Bani Abbas dan seluruh pemimpin Islam sampai masa Ja’far al-Shadiq tidak sampai seperseratus dari jumlah yang disebutkan), berkata Ja’far al-Shadiq: Ya, dari kalangan mereka dan keturunan budak-budak mereka.

Dan datang pada riwayat yang lain, berkata Ja’far al-Shadiq: Sesungguhnya negeri kita lain dari negeri yang lain, tidak ada yang tinggal dari Ahli Bait melainkan mereka telah menguasai kita sebelumnya, agar mereka tidak berkata apabila mereka telah melihat perjalanan kita: Kita berjalan seperti sejarah mereka.

Meriwayatkan Jabir al-Ju’fi dari Abi Abdillah ia berkata: Apabila telah bangkit seorang yang bangkit dari Ahli Bait Muhammad ia akan berjalan mengajarkan Alquran semenjak ia telah di turunkan, maka itulah sesulit-sulit yang ada dibanding yang dihafal orang sekarang yakni Mush-haf Utsmani. Dan pada riwayat yang lain telah meriwayatkan Abdullah Bin ‘Ajlan dari Abi Abdillah ia berkata: Apabila bangkit orang yang bangkit dari Ahli Bait Muhammad ia akan memerintah seperti pemerintahan Daud Alaihissalam. Dan meriwayatkan al-Mufadhdhol Bin Umar dari Abi Abdillah ia berkata: Akan datang bersama orang yang akan bangkit dari belakang kota Kufah 27 orang laki-laki dari kaum Nabi Musa dan 7 orang dari Ahli Gua Kahfi dan Yusya’ Bin Nun dan Sulaiman dan Abu Dujanah al-Anshari dan al-Miqdad dan Malik al-Asytar, mereka akan menjadi penolong dihadapannya.

Sayyid Muhibbun al-Khatib mengomentari riwayat-riwayat  diatas semuanya benar-benar tertulis di dalam kitab-kitab pegangan Syi’ah dan dicetak di Iran, dan itu semua adalah riwayat-riwayat yang penuh dengan kebohongan.[14]

Syeikh Muihibbun al-Khatib menyebutkan bahwa pemikiran mereka sebenarnya tidak berubah, walaupun mereka mengajak untuk melakukan pendekatan antara Syi’ah dengan Ahlussunnah. Pendapat mereka terhadap Sayyidina Abu Bakar, Umar dan seluruh tokoh-tokoh Islam lainnya dari kalangan Ahlussunnah masih tetap dan tidak berubah mulai dari dulu sampai sekarang.

Kalangan Syi’ah mengklaim bahwa mereka tidak seperti dulu, itu adalah kebohongan dan tipu daya saja. Buktinya kitab-kitab mereka masih tetap menjadi pegangan di perguruan-perguruan mereka bahkan dianggap sebagai kurikulum penting. Ulama-ulama Iran, Jabal ‘Amil dan Najaf tetap dan senantiasa menyebarkan karangan-karangan lama, dan yang paling membahayakan dan merusak adalah upaya mengadakan pendekatan-pendekatan diantara dua Madzhab.

Syeikh Muhibbun al-Khatib memberi contoh : Diantara orang yang paling semangat untuk melakukan pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah dan bekerja keras pada siang dan malam seperti Syeikh Muhammad Bin Muhammad Mahdi al-Khalishi, dia memiliki banyak kawan di Mesir dan negara-negara Arab lainnya, namun pada kenyataannya dalam satu tulisannya dia mengecualikan Abu Bakar dan Umar dari kalangan yang telah Allah berikan kepada mereka keridhoan-Nya bahkan mereka tidak diberi kenikmatan iman. Dia telah menyebutkan hal tersebut pada kitabnya: “Ahya’ al-Syari’ah Fi Madzhab al-Syi’ah” Juz : 1 hal : 63-64.[15]

8.      Hal-hal gaib hanya milik para Imam (aimmah)
Bila Abu Bakar dan Umar tidak termasuk dari kalangan yang mendapat ridha dari Allah Ta’ala, sebaliknya mereka menyebarkan melalui kitab-kitab mereka yang menyebut bahwa para Imam mereka mengetahui hal-hal gaib seperti kitab : Al-Kafi, didalam kitab ini tertera judul-judul bab seperti : “Bab para aimmah yang mengetahui seluruh ilmu yang bersumber melalui Malaikat dan Nabi-nabi dan Rasul” (al-Kafi hal: 255), “Bab Para imam mengetahui kapan mereka mati dan mereka mati dengan pilihan mereka” (al-Kafi hal: 258), Bab para Aimmah mengetahui ilmu-ilmu terdahulu dan yang datang, tidak ada yang tersembunyi bagi mereka” ( al-Kafi hal: 260), “Bab Para Aimmah semua kitab ada pada mereka dan mereka mengetahui semua bahasanya” (al-Kafi hal: 227), “Bab hanya para aimmah yang telah mengumpulkan Alquran dan mereka mengetahui semua ilmunya” ( al-Kafi hal: 228), “Bab Ayat-ayat Nabi-nabi yang ada pada para aimmah” (al-Kafi hal: 231), “Bab bahwa seluruh aimmah bila datang masanya mereka akan menghukum seperti hukum Nabi Daud dan keluarganya dan mereka tidak meminta tanda bukti” ( al-Kafi hal: 297), “Bab segala sesuatu yang haq yang ada pada manusia semuanya bersumber dari para aimmah, dan yang tidak bersumber dari mereka adalah bathil” (al-Kafi: 399), dan “Bab sesungguhnya bumi ini seluruhnya milik imam” (al-Kafi hal: 407)3.

Dari teks-teks dan tema-tema yang mereka kemukakan dalam kitab-kitab rujukan Syiah imamiyah, sangat jelas bertentangan dengan akidah Islam yang telah tercantum dalam Alqur’anul Karim, demikian juga dengan akidah tauhid yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya. Oleh karena itu kita wajib mewaspadai pemahaman, pemikiran dan penyebaran Syi’ah merasuki kita, keluarga dan kalangan umat Islam lainnya. Camkanlah!
9.      Kedudukan para imam mereka derajatnya diatas para Rasul
Termasuk diantara keyakinan kalangan Syi’ah yang sangat bertentang dengan akidah Ahlussunnah, mereka meyakini bahwa kedudukan para imam-imam mereka melebihi derajat para rasul. Padahal penerima wahyu adalah para Nabi dan Rasul dan para Nabi dan Rasul tersebut tidak ada yang mengaku dirinya diatas Nabi yang lain.

Menurut sepanjang sejarah, mayoritas penganut Syi’ah memiliki pendirian tertentu terhadap pemimpin-pemimpin Ahlussunnah. Apabila mereka memiliki kekuatan dinegerinya maka mereka dengan mudah mencaci dan memaki penganut Ahlussunnah bahkan mencaci maki banyak sahabat kemudian menyerang dan membumi hanguskan mereka. Namun sebaliknya, jika mereka dalam posisi lemah maka dengan segera mereka menggunakan senjata “taqiyah” penuh dengan pura-pura. Begitulah mereka lakukan ketika melemahnya kekuasaan Umawiyah di Syiria, bahkan pada akhirnya merekalah yang mendorong Hulaku dan Mogol untuk menyerang kedaulatan Abbasiyah.

Dalam sejarah kelam kota Bagdad, seorang ulama Syi’ah al-Nushoir al-Thusiy menyusun bait-bait sya’ir yang berisikan nada permusuhan untuk menghancurkan dinasti Abbasiyah yang pada saat itu tampuk kekhalifahan dipegang al-Mu’tashim, tidak lama kemudian al-Mu’tashim tersingkir dari jabatannya sebagai Khalifah pada tahun 655 SM. Pada saat itulah terjadinya pembantaian besar-besaran yang dilakukan Hulaku dan para pengikutnya dengan membantai anak-anak, wanita dan para orang tua. Dia juga dengan beringas membakar perpustakaan-perpustakaan Islam dengan membuang bekas-bekas bakaran ke sungai Dijlah yang membuat airnya hitam berhari-hari dan bermalam-malam.

Penghianatan terhadap dinasti Abbasiyah yang di motori oleh al-Nushoir dan kedua kawannya yang satu pernah menjabat sebagai menteri Syi’ah yaitu al-‘Alqomiy dan Abdul Hamid Bin Abi al-Hadid yang merupakan tangan kanan al-‘Alqomi sebagai penulis beraliran Mu’tazilah, dalam tulisan-tulisannya ia banyak menunjukkan permusuhan terhadap para sahabat Nabi saw, permusuhan itu banyak dihidangkannya dalam syarah kita Nahjul Balaghoh yang banyak memberikan komentar penuh kebohongan terutama dalam masalah sejarah Islam.

Sangat disayangkan sampai saat sekarang ini banyak kalangan pembaca bahkan tokoh Ahlussunnah yang terperdaya dengan tulisan-tulisannya.

Syeikh Muhibbin al-Khatib menyebutkan Ibnu al-‘Alqomiy leluasa melakukan pengkhianatan kepada kekuasaan yang dipegang oleh al-Mu’tashim dikarenakan sifat toleran yang ditunjukkannya kepada kalangan Syi’ah pada masa itu, sehingga al-‘Alqomiy diberikan posisi sangat terhormat sebagai menterinya. Ternyata dibalik sifat tasamuh (toleran) sang khalifah dimanfaatkan oleh al-‘Alqomiy dengan menusuknya dari belakang, al-‘Alqomiy membalas kebaikan sang khalifah dengan segala tipu dan pengkhianatan.

Sampai saat ini kalangan Syi’ah imamiyah senantiasa menunjukkan kegembiraan mereka terhadap tragedi yang dilakukan oleh Hulaku, yang ingin mengetahuinya lebih dalam dapat membaca biografi al-Nushoir al-thusiy dalam kitab-kitab sejarah tokoh Syi’ah yang dikarang oleh mereka, seperti kitab “Raudhat al-jinan” yang ditulis oleh al-Khonsawi, tulisannya penuh dengan ragam pujian terhadap para penjahat perang Hulaku dan menunjukkan permusuhan dan cacian terhadap apa yang menimpa kalangan Ahlussunnah saat itu.[16]

10.  Keselamatan tidak akan tercapai melainkan dengan penobatan wilayah bagi ahli bait
Berkata al-Khonsawi (salah satu tokoh Syi’ah), berkata al-Sayyid Ni’matullah al-Musawi : “Kesimpulannya bahwa seluruh firqoh (golongan) mengklaim bahwa mengucap dua kalimat syahadatlah yang menjadi tolak ukur tercapainya keselamatan, yaitu kembali kepada hadis Nabi saw. Barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dia akan masuk sorga. Adapun firqoh Imamiyah sepakat bahwa tercapainya keselamatan tidak akan tercapai kecuali dengan membaiat ahli bait dan dua belas Imam yang dua belas, demikian juga harus menunjukkan baroah (ketidak loyalan) kepada musuh-musuh mereka yakni Abu Bakar, Umar dan seluruh pengikut mereka atau selain Syi’ah, baik pemimpinnya begitu juga dengan pengikutnya”[17]

11.  Jurang pemisah antara Ahlussunnah dengan Syi’ah imamiyah perbedaan antara akidah bukan hanya pada masalah furuiyah
Menyatukan Ahlussunnah dengan Syi’ah imamiyah suatu hal yang menyerupai mustahil, sebab banyaknya perbedaan yang sangat prinsip diantara kedua belah pihak, perbedaan itu ada pada pokok-pokok agama atau akidah. Diantara perbedaan itu seperti:
1.      Penyebutan mereka yang sangat kasar dan tidak manusiawi terhadap Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “al-Jibt wa-Althaghut” yang berarti : Syetan betina dan jantan.
2.      Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak termasuk dari golongan Syi’ah sampai kepada kedua putri Nabi saw yang dinikahi Utsman ra, sampai kepada keturunannya.
3.      Termasuk juga mereka mengkafirkan imam Zainul ‘Abidin Bin al-Husain Bin Ali Bin Abi Thalib, karena ia enggan mengkafirkan Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman.
4.      Mereka juga mengkafirkan sahabat mulia Robi’ Bin al-‘Ash karena dia berasal dari keturunan Umawiyah, padahal Nabi saw telah memujinya dihadapan orang banyak melalui minbar Masjid Annabawi.
5.      Syi’ah juga menyebutkan bahwa Alquranul Karim telah diselewengkan.3

Sebagian penulis telah mengumpulkan keanehan-keanehan pemahaman akidah Syiah Imamiyah Itsnai ‘Asyariyah, seperti Mahbub Yafa Ibrohim dengan judul : “Ketawa Merinding ala Syi’ah”. Kita sebutkan ringkasan dari kutipan buku tersebut sebanyak 60 butir pemahaman syi’ah Imamiyah Iraniyah yang sangat mencengangkan:
1.   Tuhan Syi’ah Imamiyah dan aliran lain berbeda, begitu juga nabi aliran lain berbeda dengan aliran mereka dan kekhilafahan Abu Bakar Tuhan dan Nabinya bukan Tuhan dan bukan Nabi kita.
2.   Menurut Syi’ah Imamiyah sebagian anggota tubuh Rasulullah saw akan masuk neraka,
3.   Sayyidina Ali Bin Abi Thalib lebih dulu masuk sorga daripada Nabi Muhammad saw,
4.   Setiap orang hanya masuk sorga atas pembolehan Ali Bin Abi Thalib,
5.   Allah Swt Turun kebumi dan duduk dengan cucu Nabi saw al-Husain dan Tuhan menziarahi dan menyalami al-Husain,
6.   Allah Swt dan para Malaikat menziarahi makam Ali Bin Abi Thalib,
7.   Wujud Fatimah Az-Zahra adalah wujud Allah yang Maha Kuasa,
8.   Selain Nama-nama Allah yang 99 ada lagi namanya yang mereka sebut “aah” dan yang menyebut nama itu dia telah minta pertolongan kepada Allah, bahkan “Ramadhan” termasuk nama Allah Swt,
9.   Tidak sah iman seseorang tanpa mengakui keimaman imam yang 12, yaitu: Ali Bin Abi thalib, Al-Hasan Bin Ali, Al-Husain Bin Ali, Ali Zainal Abidin Bin Husain, Muhammad Ali Baqir Bin Ali, Ja’far al-Shadiq Bin Muhammad, Musa al-Kazhim Bin Ja’far, Ali ar-Ridha Bin Musa, Muhammad al-Jawwad Bin Ali, Ali al-Hadi Bin Muhammad, Al-Hasan al-Askari Bin Ali, Muhammad al-Mahdi Bin al-Hasan,
10. Derajat imam dan kenabian sama menurut Syi’ah,
11. Orang yang mengingkari Imamah kafir dan kekal dalam neraka,
12. Ali Bin Abi Thalib adalah penguasa bumi,
13. Ali Bin Abi Thalib adalah mata, tangan dan pintu Allah Swt,
14. Para Imam lebih utama daripada para Nabi dan Rasul,
15. Para Imam terlindung daripada dosa besar dan kecil serta sifat lupa,
16. Para imam mati atas dasar pilihan mereka sendiri,
17. Kehendak para imam pasti dituruti Allah Swt,
18. Para imam mengetahui yang ada dan tiada,
19. Para Imam pelunas utang para Nabi,
20. Para imam mengaku lebih pandai daripada Nabi Musa dan Khidhir Alaihisssalam,
21. Imamah adalah saudara kandung kenabian,
22. Kedudukan para imam lebih tinggi daripada para Malaikat dan para Nabi,
23. Mut’ah (Nikah kontrak) adalah agama nenek moyang,
24. Orang yang melakukan nikah kontrak satu kali akan selamat dari murka Allah Swt,
25. Allah Swt mengampuni dosa-dosa pelaku nikah kontrak sebanyak helai rambut,
26. Yang tidak melakukan nikah kontrak tidak akan berhidung pada hari kiamat,
27. Allah Swt menciptakan 70 Malaikat bagi orang yang melakukan mut’ah (kontrak),
28. Tubuh orang yang melakukan nikah Mut’ah tiga kali akan selamat dari api neraka,
29. Derajat orang yang melakukan mut’ah empat kali sama derajatnya dengan Rasul saw,
30. Pahala Mut’ah sama seperti pahala menziarahi Makkah dan Madinah 70 kali,
31. Mut’ah sebagai pengganti Khamar,
32. Wanita Mut’ah dipersewakan,
33. Meninggalkan Taqiyah sama seperti meninggalkan Shalat,
34. Taqiyah adalah keutamaan orang-orang beriman dan perisai Allah, sorga dan cahaya orang beriman,
35. Seorang Imam mampu menciptakan gajah dari tanah liat,  dapat menciptakan uang dari tisu, sandal putih bisa menghasilkan uang, sandal hitam bisa membuat impoten,
36. Nabi Yunus Alaihissalam dimakan ikan paus karena mengingkari imamah,
37. Pedang Ali Bin Abi Thalib bisa membalikkan bumi,
38. Tanda-tanda anak yang tidak jahat yaitu lemas buah pelirnya, kecil zakarnya, tenang pandangannya dan kebalikannya pertanda anak jahat,
39. Makan wortel dapat membuat ereksi,
40. Membaca ayat kursi akan terpelihara dari dua Syetan,
41. Menziarahi makam al-Husain Bin Abi Thalib lebih utama daripada pergi haji, dan meninggalkan ziarah kemakamnya tanpa alasan ahli neraka,
42. Kewenangan para imam adalah kewenangan Allah,
43. Allah Ta’ala berfirman dengan suara dan bahasa Ali Bin Abi Thalib,
44. Menziarahi makam al-Husain sama seperti menziarahi Allah Swt,
45. Petir dan guntur berasal dari Ali Bin Abi thalib,
46. Melihat kemaluan wanita mengakibatkan kebutaan,
47. Imam al-mahdi muncul dalam keadaan telanjang bulat,
48. Wanita itu untuk dipermainkan,
49. Membaca Alquran dalam kamar mandi tidak apa-apa,
50. Hukum bersenang-senang dengan paha bayi yang masih menyusui tidak apa-apa walaupun disertai syahwat,
51. Aurat hanya qubul dan dubur,
52. Memainkan kemaluan dalam saat shalat tidak salah, walaupun sampai ejakulasi,
53. Boleh bertayammum dengan kemaluan wanita,
54. Mensetubuhi wanita melalui dubur tidak salah menurut Syi’ah,
55. Boleh shalat jenazah dalam keadaan junub,
56. Wanita tidak memperoleh warisan,
57. Peci yang terkena najis boleh dipakai salat,
58. Melihat aurat seorang non muslim seperti melihat aurat keledai,
59. Kemampuan Rasulullah saw masih dibawah kemampuan imam-imam Syi’ah,
60. Seluruh ahlussunnah wal jamaah adalah kafir, termasuk sebagian besar sahabat.4 Na’udzu Billahi min dzalik Kita mohon perlindungan kepada Allah dari pemahaman seperti itu !

12.  Loyalitas dan Kecintaan Antara Sesama Muslim
Sesama muslim dituntut adanya saling menunjukkan kecintaan dan loyalitas atas dasar keimanan yang benar. Tidak terkecuali loyalitas itu ditunjukkan kepada Ahli Bait Rasul saw tanpa pilih bulu, yang paling terdepan dan harus dicintai adalah mereka yang telah digembirakan oleh Rasulullah saw dengan sorga.[18] Sudah lebih dari cukup untuk menyebut kalangan Syi’ah telah menunjukkan ketidak loyalan mereka terhadap Nabi saw dengan keputusan mereka menyebut kalangan yang sudah digembirakan oleh Rasul saw dengan sorga sebagai seorang kafir. Kecintaan terhadap pada sahabat Nabi saw merupakan satu hal yang sudah di puji oleh Alquranulkarim sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Alquran surah Albayyinah ayat 8:


Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.

Para sahabat semasa hidupnya, mereka sangat saling mencintai, layaknya seperti saudara kandung, oleh sebab itu Rasulullah saw tidak membenarkan sesiapapun yang menyakiti salah seorang dari mereka, sebagaimana dalam makna hadis : “Jangan sekali-kali kamu mencaci sahabat-sahabat-Ku, demi Allah seandainya ada diantara kamu yang menginfakkan emas sebesar gunung uhud, maka tidak akan menyamai setelapak tangannya atau setengahnya”.[19]

Allah swt juga telah memuji para sahabat Nabi saw sebagaimana dalam firman-Nya :
 
 “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath : 29).

Dan Allah Ta’ala telah membedakan sahabat Nabi antara satu orang dengan yang lain walaupun Allah Ta’ala tetap membalas mereka dengan pahala masing-masing, sebagaimana Allah berfirman :
  
 “Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hadid : 10).

Kasih sayang antara Amirulmukminin sayyidina Ali Bin Abi Thalib dengan saudaranya yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum) terlihat dari pemberian nama-nama sebagian anaknya dengan nama mereka. Diantara anaknya ada yang dinamainya dengan Abu Bakar, ada juga nama Umar dan Utsman.

Tidak hanya dengan cara itu menunjukkan kecintaan kepada teman, bahkan sayyidina Ali Karramallahu Wajhah telah menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsum kepada sayyidina Umar Bin Khatthab, setelah wafat sayyidina Umar Sayyidah, Ummu Kultsum dinikahi Muhammad Bin Ja’far Bin Abi Thalib saudara sepupu sayyidina Ali, setelah Muhammad Bin Ja’far wafat kemudian dinikahi saudaranya ‘Aun Bin Abi Thalib.

Diantara anak Ja’far Bin Abi Thalib ada yang bernama Abdullah Bin Ja’far atau yang digelar dengan Dzi al-Janahain Bin Abi Thalib memberi nama anaknya dengan nama Mu’awiyah, dan Mu’awiyah Bin Abdullah Bin Ja’far Bin Abi Thalib menamakan anaknya dengan Yazid, sebab sebagian mereka melihat bahwa Yazid  sejarah hidupnya baik, sebagaimana Muhammad Bin al-Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib melihatnya baik, padahal sebutan Mu’awiyah berasal dari nama sahabat yang dikebiri oleh Syi’ah Imamiyah.[20] Yazid dan yang berlatar belakang Umawiyah juga sangat dibencihi kalangan Syi’ah Imamiyah.

Kalangan Syi’ah yang sangat membencihi sebagian besar sahabat seperti sahabat besar Abu Bakar, Umar dan Utsman tentu mereka sendiri yang telah menyalahkan bahkan menunjukkan ketidak loyalan terhadap sayyidina Ali Bin Abi Thalib, bahkan mereka lebih menyalahkan sayyidina Ali ketika ia rela menikahkan putrinya kepada sayyidina Umar, bahkan tidak itu saja kalangan Syi’ah telah menyalahkan sayyidina Muhammad saw karena telah menikahkan dua putrinya kepada sayyidina Utsman Radhiyallahu Anhum. Demikian juga mereka telah menuduh Muhammad Bin Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib pembohong, sebab Muhammad Bin Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib telah pernah bersaksi, tatkala Abdullah Bin Zubair mengutus Abdullah Bin Muthi’ untuk melihat Yazid apa benar ia minum khamar dan meninggalkan shalat dan ia melanggar hukum Allah?, maka berkata baginya Muhammad Bin Hanafiyah Bin Ali Bin Abi Thalib (sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hidayat wal-Nihayat 8/232) : “Saya tidak pernah melihatnya seperti yang kalian sebutkan, bahkan saya telah melihatnya dan aku pernah tinggal bersamanya, saya menyaksikan ia senantiasa shalat, sangat hati-hati dalam mencari kebaikan, dia suka bertanya tentang fiqh, senantiasa mengikut sunnah”, berkata Ibnu Muthi’ : “Barangkali ia hanya pura-pura dihadapanmu?” Dijawab Muhammad Bin Hanafiyah : “Apa yang membuat dia takut sama saya, sampai-sampai ia menunjukkan kekhusyu’annya dihadapanku, apa harus saya katakan dia pernah minum khamar, sedangkan saya tidak pernah melihatnya minum khamar, seandainya saya bisa menunjukkan itu pada kalian berarti kalian sudah ikut minum bersamanya, dan jika aku tidak pernah melihat tentu saya tidak boleh mengatakan ia pernah minum khamar”. Ibnu Muthi’ dan utusan lainnya berkata : “Tapi menurut kami itu benar!, walaupun kami tidak melihatnya”, Muhammad Bin Hanafiyah menjawab mereka dengan firman Allah (Melainkan orang yang telah menyaksikan dengan kebenaran, padahal mereka mengetahui), kemudian Muhammad bin Hanafiyah berkata : “Saya tidak ikut dengan urusan kalian dalam urusan apapun”.[21]

Syi’ah Rafhidhah (yang tidak mau mengakui kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum) tidak ada kaitannya dengan Ahli Bait Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam : “Pada hakikatnya sekte Syi’ah sudah menjadi tempat berlindung bagi setiap orang yang ingin meruntuhkan eksistensi Islam, dikarenakan adanya rasa dengki atau rasa permusuhan, atau mereka yang ingin memasukkan ajaran  nenek  moyang  mereka  seperti  Yahudi,  Nashrani,  Zoroester  dan   Hindu. Mereka semua menjadikan kata rasa cinta kepada Ahli Bait Rasulullah saw sebagai tabir untuk menutupi tujuan yang mereka inginkan”.[22]

Pendapat Syi’ah Imamiyah dan al-Rafidhah sangat bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari sayyidina Ali tentang khalifah sebelumnya. Dijelaskan dalam satu riwayat dalam kitab Tatsbit Dalail An-Nubuwah yang ditulis oleh al-Hamzani menyebutkan bahwa Suwaid Bin Ghaflah yang merupakan pembantu sayyidina Ali memberi tahu sayyidina Ali tentang adanya sekumpulan orang yang mengaku sebagai pengikut Ali Bin Abi thalib, mereka terang-terangan mencerca dan memaki sayyidina Abu Bakar dan Umar dengan mengatas namakan Ali Bin Abi Thalib. Setelah Ali Bin Abi Thalib mendengar berita itu, ia lalu berlindung kepada Allah dua kali atas tuduhan itu kepada pendahulunya dan sayyidina Ali berkata dengan nada marah : “Laknat Allah terhadap sesiapa yang menyimpan rasa benci terhadap mereka”. Kemudian sayyidina Ali memasuki mesjid dan menyampaikan khutbah, isinya sebagai berikut : “Saya dikasih tahu ada sekelompok orang yang memburuk-burukkan dua penghulu Quraiys (Abu Bakar dan Umar) dan melibatkan nama saya, sesiapa saja yang memburuk-burukkan mereka, maka saya akan menghukum mereka seberat-beratnya. Demi Allah tidak ada yang mengasihi mereka berdua melainkan ia seorang mukmin dan bertaqwa, dan tidak ada yang membencihi mereka melainkan ia orang jahat dan keji”. Diakhir khutbahnya sayyidina Ali menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka.[23]


[1] Syi’ah Zaidiyah tidak mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum, tapi mereka mengatakan bahwa sayyidina Ali lebih berhak menjadi Khalifah di banding mereka. Sementara kalangan Sunni beranggapan bahwa keutamaan khalifah yang empat sesuai dengan urutan dan pengangkatan Khalifah sesudah wafat Rasulullah saw.
[2] Pada awalnya Abu Musa al-Asyari penganut Mu’tazilah, namun kemudian kembali kepada pemahaman Ahlussunnah, pemahaman Mu’tazilah yang mengandalkan akal semata dalam memahami nash tidak dapat dinisbahkan lagi kepada Abu Musa Asy’ari.
[3] Ahlussunnah wal Jama’ah Hum Firqoh Annajiyah,  Makalah pada Seminar Pemurnian Akidah, Dr. Syeikh Jamal Shoqor al-Husaini, h. 10-12, Attin Press SDN BHD Kuala Lumpur, 2013.
[4] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib, mukaddimah hal:3, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ath al-Islami  1380 H/1959 M.
[5] Ibid., h. 5.
[6] Ibid., h. 6-7.
[7] Hakikat Syi’ah, Dikeluarkan Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, Cetakan I, 2012, h.113.
[8] Al-Khuthut al-‘Aridhoh Lilusasi al-Lati Qoma ’Alaiha Din al-Syi’ah al-Imamiyah al-Istnai ’Asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-Khathib, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami, Makkah,  1380 H / 1959 M, h. 8-11.
[9] Ibid., h. 12.
[10] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib,  h. 13-16, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami 1380 H / 1959 M.
[11] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib,  h. 16, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami  1380 H / 1959 M.
[12] Ibid., h. 17-18.
[13] Ibid.,
[14] Ibid, h. 22-24.
[15] Ibid, h. 24-25.
3 Ibid, h. 25-26.
[16] Al-Khuthut al-‘Aridhoh lilusasi al-Lati qoma ’alaiha din al-Syi’ah al-imamiyah al-Istnai ’asyariyah, Seyid Muhibbuddin al-khathib, h. 28- 32, Makkah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami 1380 H / 1959 M.
[17] Ibid, h. 32.
3 Ibid, h. 32-33.
4 Ketawa Merinding ala Syi’ah, Mahbub Yafa Ibrohim, Pustaka al-Kautsar, h. 5-117. cetakan 2012.
[18] Sahabat-sahabat yang telah digembirakan masuk sorga: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman Bin Auf, Thalhah Bin Zubair, Abdullah Bin Zubair, Abu ‘Ubaidah Bin Jarrah, Said Bin Zaid dan Sa’ad Bin ABi Waqqash Radhiyallahu Anhum.
[19] Makna hadis riwayat Muslim
[20] Seyid Muhibbuddin al-Khathib, Al-Khuthut al-‘Aridhoh Lilusasi al-Lati Qoma ’Alaiha Din al-Syi’ah al-Imamiyah al-Istnai ’Asyariyah, Muassah Makkah Lith-Thiba’ah al-Islami, Makkah,  1380 H / 1959 M, h. 36-37.
[21] Ibid., h. 38.
[22] Hakikat Syi’ah, Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, cet. I, 2012, h. 46-47.
[23] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar