GERAK
JIHAD DAKWAH DALAM ISLAM DAN TERORISME
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)
….Sambungan Edisi
45 Jum’at, 28 Muharram 1436 H / 21 Nopember 2014 M
A
|
lquran Al-Karim telah
memberikan batasan-batasan bagi da’i sebagai da’i yang bijak dan baik : “Maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah yang memberi peringatan,
kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang kafir itu,
maka Allah mengazab mereka dengan azab yang amat besar” (QS. Al-Ghasiyah :
22-23); “Jika mereka berpaling maka kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas
bagi mereka, kewajibanmu tidak lain hanya menyampaikan Risalah” (QS. Ar-Rad :
40); “Dan jika kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang kami ancamkan
kepada mereka atau kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena
sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan saja, sedang kamilah yang menghisab
amalan mereka” (QS. Ar-Rad : 40); “Maka
jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban kami hanyalah
menyampaikan (Amanat Allah) dengan terang” (QS. Al-Maidah : 92).
Ayat-ayat diatas turun setelah hijirah (madaniyyah), yang
mana diturunkan setelah disyaratkannya jihad qitali. Dapat dijadikan
satu rujukan bahwa ayat-ayat diatas tidak mengubah kedudukan cara berdakwah
dengan nasehat sukarela tanpa ada paksaan.
Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi hatim
dengan sanadnya dari maula Umar Bin Khattab yang bernama Asbaq. Asbaq bercerita
: saya hamba saya bagi Umar bin Khattab, dan aku memeluk agama nashrani,
kemudian ia menawarkan Islam kepadaku. Aku enggan menerima tawaran itu. Lalu
umar mengatakan : “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Albaqarah: 256) . Setelah itu Umar
berkata : “ya Asbaq! Seandainya engkau masuk islam niscaya kami minta tolong
kepadamu untuk menjalankan urusan Islam”.
Zaid Bin Aslam meriwayatkan dari bapanya ia berkata: Saya
mendengar Umar Bin Khattab berkata kepada seorang wanita tua bangka: Masuklah
kamu wahai nenek tua (ajuz) engkau akan selamat sesungguhnya Allah
Ta’ala telah mengutus Muhammad dengan segala kebenaran-Nya. Kemudian wanita itu
menjawab: Saya seorang tua renta, kematian lebih dekat kepadaku. Lalu Umar RA.
Berkata: Ya Allah! Saksikanlah ! dan ia membaca ayat:” Tidak ada paksaan
dalam agama”.
Mafhum hadits Nabi SAW yang selalu digunakan sebagai
pengklasifikasian terhadap bolehnya menempuh jalan perang dalam menjalankan
misi dakwah oleh sebagian pergerakan Islam:
أُمرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَّا
إِلَه اِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ.....
“Saya di perintahkan untuk memerangi manusia,
sehingga mereka menyaksikan tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad
SAW utusan Allah…..” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam menginterpretasikan hadits diatas ada dua pendapat: Pertama:
Mendakwah dengan suka rela tanpa ada unsur paksaan. Pada awal mulanya dakwah
disyariatkan dengan suka rela sebelum
diturunkan ayat Qital. Setelah ayat seif turun maka dakwah dengan sukarela
dihapuskan : “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka,
kepunglah mereka, intailah mereka di tempat pengintaian, jika mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka kebebasan untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha penyayang” (QS. At-Taubah : 5).
Kedua: Hukum jihad dakwah dengan suka rela tetap berlaku (tidak
mansukh). Dan ayat yang mengatakan : “Tidak ada paksaan dalam agama” tetap
berlaku (muhkam). Para pendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini tidak
bertentangan sama sekali dengan hadis yang diriwayatkan Abdullah Bin Umar R.Am.
( …..Aku disuruh untuk memerangi manusia….).
Syeikh Bouthy memberikan komentar terhadap dua pendapat diatas:
Pendapat pertama merupakan pendapat minoritas dengan kesimpulan da’if.
Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ulama (lebih kuat.).
Beliau juga menyimpulkan bahwa ayat seif berlaku sewaktu terjadi hirobah (dalam
konteks perang) seperti adanya perampasan dari musuh, pembunuhan atau
teror. Pendapat ini didukung oleh pendapat Imam Malik, Imam Auza’iy dan
mayoritas ulama Fiqh.
Komentar syekh Bouthiy dipaparkan dengan beberapa alasan yang
bersumber dari Alquran tentang bolehnya memerangi orang kafir bukan karena
kekafiran mereka semata : “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.
demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (QS. At-Taubah :
6).
Ayat ini dengan nyata akan bolehnya melindungi orang-orang musyrik
yang jelas kekafirannya, dan wajibnya memerangi mereka, apabila mereka membatalkan
perjanjian secara sepihak sebagaimana dalam ayat lain : “Mengapakah kamu tidak
memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah
keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai
memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS.
At-Taubah : 13). Nada yang sama disebutkan pada surat Al-Mumtahinah ayat 8.1
Cara menginterpretasi hadis “saya disuruh untuk memerangi………..”.
Untuk menyelesaikan makna memerangai, kita harus terlebih dahulu melihat mizan
atau timbangan kataأُقَاتِلَ danأَقْتُلُ makna sangat berbeda
maknanya jika ditinjau dari segi hakikat bahasa, kata أُقَاتِلَ dalam bentuk (bina) Musyarakah,
sedangkan أَقْتُلُ dalam
bentuk muta’addi atau datang dari satu arah, kata أُقَاتِلَ dapat di artikan dengan: Saya akan memerangi bukan berarti membunuh,
sedangkan kata أَقْتُلُ dapat diartikan dengan : Aku
akan membunuh…… dari tinjauan terminilogi bahasa Syeikh Said Ramadhan Al-Bouthy
mengartikan hadis sebagai berikut : “Saya disuruh untuk memerangi permusuhan
yang datang untuk menghalang-halangi dakwahku kepada manusia sampai mereka
mengakui keesaan Allah, dan jika mereka menunjukkan permusuhan, maka kewajiban
saya memerangi mereka yang tak terelakkan oleh siapapun”.2
Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ucapan : Mari kita memerangi
kemiskinan dan buta hurup, bukan berarti membunuh orangnya.
KEDAULATAN NEGARA
ISLAM MENJADI SEBUAH PIJAKAN AWAL
UNTUK MENUJU JIHAD
QITALI
Semua orang yang belajar sejarah tidak ada yang tersembunyi, bahwa
dakwah Rasulullah saw dimulai dari kota Makkah, saat itu masih dikuasai oleh
kaum Quraisy. Sewaktu umat Islam berada di Makkah mereka sangat miskin, tidak
memiliki tanah untuk dijadikan Daar-Al-Islam. Baru kemudian setelah Rasulullah saw
hijirah ke Madinah, Rasul bersama sahabat-sahabatnya mendapat tempat di
tengah-tengah masyarakat, yang pada akhirnya menjadikan jazirah arab sebagai
Daar-al-Islam.
SYARAT-SYARAT
MENDIRIKAN SEBUAH NEGARA ISLAM
1. Memiliki Tanah Air
Sendiri
Telah sepakat imam yang empat bahwa yang dimaksud dengan Darul Islam
ialah satu negeri yang dipimpin dan dikendalikan oleh orang Islam dibawah
kepemimpinan orang Islam. Dan mereka sanggup untuk membuktikan keislaman
mereka, sama ada negeri itu dikuasai dengan cara damai maupun dengan melalui
perang.
Diantara ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sebuah negara
Islam dapat membela diri dari gangguan musuh, dapat menjalankan syariat Islam.
Namun apabila ada kemunduran dalam penerapan Islam disebabkan adanya
penjajahan, belum dapat diubah menjadi daarul harbi atau daarul kufri, masih
tetap dikatakan darul Islam. Penegakan syariat bukan menjadi syarat untuk
menjadikan suatu negeri menjadi darul Islam. Namun yang menjadi kewajiban umat
Islam berupaya untuk menegakkan syariat, dengan mengabaikan upaya penegakan
syariat merupakan kesalahan besar. Demikian pendapat mayoritas ulama. Sedangkan
imam Abu Hanifah berpendapat Daarul Islam dapat berubah disebabkan tiga hal :
a. Diberlakukan hukum
kekafiran padanya
b. Tunduk dibawah kendali
penguasa kafir
c. Negeri tersebut tidak
dihuni oleh seorang muslim pun
2. Memiliki Penduduk (Masyarakat)
Yang dimaksud dengan masyarakat muslim (almujtama’ al Islami)
adanya sekelompok manusia yang berada dibawah pemerintahan yang Islami.
Masyarakat muslim yang dimaksud disini bukan berarti penduduknya murni beragama
Islam, namun termasuk juga kelompok minoritas yang tunduk kepada peraturan
Islam.
3. Adanya penguasa
Pada hakikatnya dalam konsep ajaran Islam tidak ada yang disebut
dengan penguasa, sebab penguasa sebenarnya Allah swt. Manusia dengan seluruh
tingkatan dan lapisan dituntut untuk tunduk kepada aturan Allah, dan manusia
sebagai wakil Allah dimuka bumi. Dan yang dimaksud dengan daulah Islam adalah kedaulatan
yang dipimpin oleh syariat.3
1 Prof. DR. Said Ramadhan Al-Bouthy, Aljihad Fi Al-Islam,
Daar al-Fikr Damascus, 1418 H/1997 M, h. 54-56.
PENUTUP
Apa yang terjadi saat sekarang ini, seperti adanya serangkaian
teror dan pemboman, tidak dapat kita katakan sebagai cerminan dari jihad, sebab
mereka belum melakukan langkah-langkah melalui proses untuk melakukan dakwah qitali.
Kemudian jihad yang mereka lakukan tidak bertujuan dakwah, mereka belum memulai
misinya dengan dakwah amar makruf dan nahi munkar. Kebanyakan tindakan itu
tidak menarik simpati dari penganutnya sendiri apalagi dari non muslim.
Tidak ada dikalangan ulama Islam yang menghapuskan jihad, termasuk
jihad qitali (perang), namun yang berbeda ada pada tataran proses dan alasan
apa yang dijadikan sebagai pijakaan perang, pada akhirnya ada tiga kesimpulan
yang dijadikan alasan untuk berperang yaitu : Pertama; Atas dasar kekaafiran,
tentu pemahaman ini sangat radikal dan kejam, apalagi jika perang dan
pembunuhan dilakukan atas dasar perbedaan paham yang tidak prinsipil, atau
karena perebutan kekuasaan karena perbedaan idiologi, pemberlakun perang atas
dasar kekafiran semata, sangat bertentangan dengan konsep Alquran, Sunnah Nabi
dan sejarah para khulafa.
Kedua; Perang dilakukan karena ada serangan, atau penzaliman dari
pihak luar yang ingin merongrong kedaulatan suatu negara. Inilah seharusnya
yang menjadi pijakan untuk melegalkan perang dengan senjata, sebagaimana
tercantum dalam berbagai firman Allah Swt dalam Al-Quranul Karim.
Ketiga; Pengobaran perang adalah keputusan paling akhir, dan bisa
dilakukan oleh penguasa tertinggi dalam sebuah Negara berdaulat. Seharusnya
jihad dilakukan secara bertahap, sebagaimana Rasulullah saw telah melakukannya
dengan cara bertahap, Beliau sadar betul kapan saatnya lemah dan kapan saatnya
telah kuat. Kesadaran ini terkadang yang tidak ada pada sekelompok umat Islam.
Agar umat Islam memperoleh kedudukan di panggung dunia
Internasional, ada jihad yang harus dicapai umat Islam, yaitu: Merebut kembali
kepemimpinan dunia, untuk merebut itu ada sembilan tahapan yang harus di
lakukan, kita kutip dari kitab Madza Khosirol Alam Bi inhithathil Muslimin
(Bagaimana dunia merugi karena jatuhnya “kepemimpinan” Islam?) :
1. Menyadari kembali
betapa penting dan strategisnya negara-negara Arab,
2. Menjadikan
sosok Nabi Muhammad saw sebagai spirit perjuangan, dan tidak menjadikan
negara-negara Barat sebagai idola,
3. Menjadikan
kekuatan iman sebagai kekuatan yang tidak ada pilihan lain, dalam semua aspek
kehidupan didasari keimanan,
4. Membangun
generasi muda dengan betapa pentingya pengorbanan,
5. Menguasai
seni bela diri, menguasai alat perang dan kemiliteran,
6. Mengkikis
semua rasa mementingkan diri sendiri,
7. Membangun
rasa peka terhadap situasi di kalangan umat,
8. Memerdekakan
diri “negara-negara Arab dan Islam” dari ketergantungan baik dalam dagang dan
hasil-hasil negaranya,
9. Harapan dan
optimisme penduduk dunia Islam kembali
kepada negara-negara Arab, untuk menunjukkan eksistensi mereka dikancah dunia.4
4 Syeikh Abul Hasan Ali al-Hasaniy al-Nadwiy, Madza
Khosirol Alam Bi inhithathil Muslimin, al-Majma’ al-Islamiy al-Ilmiy,
Nadwatul Ulama Lucknow India, 1415 H / 1994 M, h. 249-264.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar