Senin, 09 Februari 2015

Edisi 02, Jum’at, 18 Rabiul Awal 1436 H / 09 Januari 2015 M


GERAK JIHAD DAKWAH DALAM ISLAM DAN TERORISME
Oleh: H. Salman Abdullah Tanjung, MA
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)


….Sambungan Edisi 45 Jum’at, 28 Muharram 1436 H / 21 Nopember 2014 M
A
lquran Al-Karim telah memberikan batasan-batasan bagi da’i sebagai da’i yang bijak dan baik : “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah yang memberi peringatan, kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang kafir itu, maka Allah mengazab mereka dengan azab yang amat besar” (QS. Al-Ghasiyah : 22-23); “Jika mereka berpaling maka kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka, kewajibanmu tidak lain hanya menyampaikan Risalah” (QS. Ar-Rad : 40); “Dan jika kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang kami ancamkan kepada mereka atau kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan saja, sedang kamilah yang menghisab amalan   mereka” (QS. Ar-Rad : 40); “Maka jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban kami hanyalah menyampaikan (Amanat Allah) dengan terang” (QS. Al-Maidah : 92).
Ayat-ayat diatas turun setelah hijirah (madaniyyah), yang mana diturunkan setelah disyaratkannya jihad qitali. Dapat dijadikan satu rujukan bahwa ayat-ayat diatas tidak mengubah kedudukan cara berdakwah dengan nasehat sukarela tanpa ada paksaan.
Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi hatim dengan sanadnya dari maula Umar Bin Khattab yang bernama Asbaq. Asbaq bercerita : saya hamba saya bagi Umar bin Khattab, dan aku memeluk agama nashrani, kemudian ia menawarkan Islam kepadaku. Aku enggan menerima tawaran itu. Lalu umar mengatakan : “Tidak ada paksaan dalam agama”  (QS. Albaqarah: 256) . Setelah itu Umar berkata : “ya Asbaq! Seandainya engkau masuk islam niscaya kami minta tolong kepadamu untuk menjalankan urusan Islam”.

Zaid Bin Aslam meriwayatkan dari bapanya ia berkata: Saya mendengar Umar Bin Khattab berkata kepada seorang wanita tua bangka: Masuklah kamu wahai nenek tua (ajuz) engkau akan selamat sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad dengan segala kebenaran-Nya. Kemudian wanita itu menjawab: Saya seorang tua renta, kematian lebih dekat kepadaku. Lalu Umar RA. Berkata: Ya Allah! Saksikanlah ! dan ia membaca ayat:” Tidak ada paksaan dalam agama”.
Mafhum hadits Nabi SAW yang selalu digunakan sebagai pengklasifikasian terhadap bolehnya menempuh jalan perang dalam menjalankan misi dakwah oleh sebagian pergerakan Islam:
أُمرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَّا إِلَه اِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ.....
“Saya di perintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka menyaksikan tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad SAW utusan Allah…..” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam menginterpretasikan hadits diatas ada dua pendapat: Pertama: Mendakwah dengan suka rela tanpa ada unsur paksaan. Pada awal mulanya dakwah disyariatkan  dengan suka rela sebelum diturunkan ayat Qital. Setelah ayat seif turun maka dakwah dengan sukarela dihapuskan : “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka, intailah mereka di tempat pengintaian, jika mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka kebebasan untuk berjalan. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha penyayang” (QS. At-Taubah : 5).
Kedua: Hukum jihad dakwah dengan suka rela tetap berlaku (tidak mansukh). Dan ayat yang mengatakan : “Tidak ada paksaan dalam agama” tetap berlaku (muhkam). Para pendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini tidak bertentangan sama sekali dengan hadis yang diriwayatkan Abdullah Bin Umar R.Am. ( …..Aku disuruh untuk memerangi manusia….).
Syeikh Bouthy memberikan komentar terhadap dua pendapat diatas: Pendapat pertama merupakan pendapat minoritas dengan kesimpulan da’if. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ulama (lebih kuat.). Beliau juga menyimpulkan bahwa ayat seif berlaku sewaktu terjadi hirobah (dalam konteks perang) seperti adanya perampasan dari musuh, pembunuhan atau teror. Pendapat ini didukung oleh pendapat Imam Malik, Imam Auza’iy dan mayoritas ulama Fiqh.
Komentar syekh Bouthiy dipaparkan dengan beberapa alasan yang bersumber dari Alquran tentang bolehnya memerangi orang kafir bukan karena kekafiran mereka semata : “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (QS. At-Taubah : 6).
Ayat ini dengan nyata akan bolehnya melindungi orang-orang musyrik yang jelas kekafirannya, dan wajibnya memerangi mereka, apabila mereka membatalkan perjanjian secara sepihak sebagaimana dalam ayat lain : “Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. At-Taubah : 13). Nada yang sama disebutkan pada surat Al-Mumtahinah ayat 8.1
Cara menginterpretasi hadis “saya disuruh untuk memerangi………..”. Untuk menyelesaikan makna memerangai, kita harus terlebih dahulu melihat mizan atau timbangan kataأُقَاتِلَ  danأَقْتُلُ   makna sangat berbeda maknanya jika ditinjau dari segi hakikat bahasa, kata أُقَاتِلَ  dalam bentuk (bina) Musyarakah, sedangkan أَقْتُلُ  dalam bentuk muta’addi atau datang dari satu arah, kata أُقَاتِلَ  dapat di artikan dengan: Saya akan memerangi bukan berarti membunuh, sedangkan kata أَقْتُلُ dapat diartikan dengan : Aku akan membunuh…… dari tinjauan terminilogi bahasa Syeikh Said Ramadhan Al-Bouthy mengartikan hadis sebagai berikut : “Saya disuruh untuk memerangi permusuhan yang datang untuk menghalang-halangi dakwahku kepada manusia sampai mereka mengakui keesaan Allah, dan jika mereka menunjukkan permusuhan, maka kewajiban saya memerangi mereka yang tak terelakkan oleh siapapun”.2
Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ucapan : Mari kita memerangi kemiskinan dan buta hurup, bukan berarti membunuh orangnya.

KEDAULATAN NEGARA ISLAM MENJADI SEBUAH PIJAKAN AWAL
UNTUK MENUJU JIHAD QITALI
Semua orang yang belajar sejarah tidak ada yang tersembunyi, bahwa dakwah Rasulullah saw dimulai dari kota Makkah, saat itu masih dikuasai oleh kaum Quraisy. Sewaktu umat Islam berada di Makkah mereka sangat miskin, tidak memiliki tanah untuk dijadikan Daar-Al-Islam. Baru kemudian setelah Rasulullah saw hijirah ke Madinah, Rasul bersama sahabat-sahabatnya mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat, yang pada akhirnya menjadikan jazirah arab sebagai Daar-al-Islam.

SYARAT-SYARAT MENDIRIKAN SEBUAH NEGARA ISLAM
1.    Memiliki Tanah Air Sendiri
Telah sepakat imam yang empat bahwa yang dimaksud dengan Darul Islam ialah satu negeri yang dipimpin dan dikendalikan oleh orang Islam dibawah kepemimpinan orang Islam. Dan mereka sanggup untuk membuktikan keislaman mereka, sama ada negeri itu dikuasai dengan cara damai maupun dengan melalui perang.
Diantara ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sebuah negara Islam dapat membela diri dari gangguan musuh, dapat menjalankan syariat Islam. Namun apabila ada kemunduran dalam penerapan Islam disebabkan adanya penjajahan, belum dapat diubah menjadi daarul harbi atau daarul kufri, masih tetap dikatakan darul Islam. Penegakan syariat bukan menjadi syarat untuk menjadikan suatu negeri menjadi darul Islam. Namun yang menjadi kewajiban umat Islam berupaya untuk menegakkan syariat, dengan mengabaikan upaya penegakan syariat merupakan kesalahan besar. Demikian pendapat mayoritas ulama. Sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat Daarul Islam dapat berubah disebabkan tiga hal :
a.    Diberlakukan hukum kekafiran padanya
b.    Tunduk dibawah kendali penguasa kafir
c.     Negeri tersebut tidak dihuni oleh seorang muslim pun
2.    Memiliki Penduduk (Masyarakat)
Yang dimaksud dengan masyarakat muslim (almujtama’ al Islami) adanya sekelompok manusia yang berada dibawah pemerintahan yang Islami. Masyarakat muslim yang dimaksud disini bukan berarti penduduknya murni beragama Islam, namun termasuk juga kelompok minoritas yang tunduk kepada peraturan Islam.
3.    Adanya penguasa
Pada hakikatnya dalam konsep ajaran Islam tidak ada yang disebut dengan penguasa, sebab penguasa sebenarnya Allah swt. Manusia dengan seluruh tingkatan dan lapisan dituntut untuk tunduk kepada aturan Allah, dan manusia sebagai wakil Allah dimuka bumi. Dan yang dimaksud dengan daulah Islam adalah kedaulatan yang dipimpin oleh syariat.3



1 Prof. DR. Said Ramadhan Al-Bouthy, Aljihad Fi Al-Islam, Daar al-Fikr Damascus, 1418 H/1997 M, h. 54-56.
2 Ibid, h. 58-59.
3 Ibid, 82-89.

PENUTUP
Apa yang terjadi saat sekarang ini, seperti adanya serangkaian teror dan pemboman, tidak dapat kita katakan sebagai cerminan dari jihad, sebab mereka belum melakukan langkah-langkah melalui proses untuk melakukan dakwah qitali. Kemudian jihad yang mereka lakukan tidak bertujuan dakwah, mereka belum memulai misinya dengan dakwah amar makruf dan nahi munkar. Kebanyakan tindakan itu tidak menarik simpati dari penganutnya sendiri apalagi dari non muslim.
Tidak ada dikalangan ulama Islam yang menghapuskan jihad, termasuk jihad qitali (perang), namun yang berbeda ada pada tataran proses dan alasan apa yang dijadikan sebagai pijakaan perang, pada akhirnya ada tiga kesimpulan yang dijadikan alasan untuk berperang yaitu : Pertama; Atas dasar kekaafiran, tentu pemahaman ini sangat radikal dan kejam, apalagi jika perang dan pembunuhan dilakukan atas dasar perbedaan paham yang tidak prinsipil, atau karena perebutan kekuasaan karena perbedaan idiologi, pemberlakun perang atas dasar kekafiran semata, sangat bertentangan dengan konsep Alquran, Sunnah Nabi dan sejarah para khulafa.
Kedua; Perang dilakukan karena ada serangan, atau penzaliman dari pihak luar yang ingin merongrong kedaulatan suatu negara. Inilah seharusnya yang menjadi pijakan untuk melegalkan perang dengan senjata, sebagaimana tercantum dalam berbagai firman Allah Swt dalam Al-Quranul Karim.
Ketiga; Pengobaran perang adalah keputusan paling akhir, dan bisa dilakukan oleh penguasa tertinggi dalam sebuah Negara berdaulat. Seharusnya jihad dilakukan secara bertahap, sebagaimana Rasulullah saw telah melakukannya dengan cara bertahap, Beliau sadar betul kapan saatnya lemah dan kapan saatnya telah kuat. Kesadaran ini terkadang yang tidak ada pada sekelompok umat Islam.
Agar umat Islam memperoleh kedudukan di panggung dunia Internasional, ada jihad yang harus dicapai umat Islam, yaitu: Merebut kembali kepemimpinan dunia, untuk merebut itu ada sembilan tahapan yang harus di lakukan, kita kutip dari kitab Madza Khosirol Alam Bi inhithathil Muslimin (Bagaimana dunia merugi karena jatuhnya “kepemimpinan” Islam?) :
1.    Menyadari kembali betapa penting dan strategisnya negara-negara Arab,
2.    Menjadikan sosok Nabi Muhammad saw sebagai spirit perjuangan, dan tidak menjadikan negara-negara Barat sebagai idola,
3.    Menjadikan kekuatan iman sebagai kekuatan yang tidak ada pilihan lain, dalam semua aspek kehidupan didasari keimanan,
4.    Membangun generasi muda dengan betapa pentingya pengorbanan,
5.    Menguasai seni bela diri, menguasai alat perang dan kemiliteran,
6.    Mengkikis semua rasa mementingkan diri sendiri,
7.    Membangun rasa peka terhadap situasi di kalangan umat,
8.    Memerdekakan diri “negara-negara Arab dan Islam” dari ketergantungan baik dalam dagang dan hasil-hasil negaranya,
9.    Harapan dan optimisme penduduk dunia Islam  kembali kepada negara-negara Arab, untuk menunjukkan eksistensi mereka dikancah dunia.4



4 Syeikh Abul Hasan Ali al-Hasaniy al-Nadwiy, Madza Khosirol Alam Bi inhithathil Muslimin, al-Majma’ al-Islamiy al-Ilmiy, Nadwatul Ulama Lucknow India, 1415 H / 1994 M, h. 249-264.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar