Senin, 09 Februari 2015

Edisi 01, Jum’at, 11 Rabiul Awal 1436 H / 02 Januari 2015 M

MEMBANGUN AKHLAK KARIMAH
MEMBENTUK KARAKTER YANG ISLAMI
(Bagian Pertama)
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)

PENDAHULUAN
S
alah satu problematika paling besar dalam kehidupan sosial dari masa kemasa adalah membangun hubungan diantara sesama manusia. Sulitnya membangun hubungan diantara manusia, tidak terlepas dari adanya perbedaan pada pandangan, pemikiran, akidah, agama, perbedaan cara-cara hidup secara personal atau  kolektif (jama’ah), perbedaan methode dan wawasan dalam kehidupan. Cukup banyak disana peluang untuk kemungkinan terjadinya permusuhan, penzaliman dan penggilasan terhadap hak-hak. Kesalahan dalam menyikapi perbedaan akan menimbulkan satu penyakit yang disebut dengan “fanatisme”1. seperti fanatisme pemikiran (fikriyah), tendensi pribadi (naz’ah syakhsiyah), tendensi kekauman (muyul al-qoumiyah), ambisi-ambisi sosial (‘awamil ijtima’iyah) dan sejenisnya. Sifat fanatisme sangat besar peluangnya untuk membendungi kemashlahatan manusia secara umum (mashlahah ‘Am) seperti hilangnya rasa keadilan, hilangnya proporsionalisme (al-qisth) dan hilangnya hak-hak asasi manusi (huququl insan). Maka tugas paling penting dan  paling asas saat ini bagi kita adalah bagaimana mengalahkan dan menghilangkan sifat fanatisme untuk membangun masyarakat ideal (mitsaliy) dan madani.
Hubungan antara manusia harus didasari akhlak (qanun al-akhlaqiyah)  dan  etika (qanun al madaniyah) yang kokoh. Akhlak berpungsi untuk mengontrol perkembangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakan dalam batasan-batasan syari’at. Seseorang tidak akan melampaui batas-batas agama, selama qanun akhlaqiyah dipegang teguh oleh masyarakat. Ketenteraman, keamanan dan kenyamanan dapat berjalan lancar di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak demikian maka bumi ini menjadi sebuah hutan rimba, yang lemah akan terancam kekerasan dan kehilangan hak. Sedangkan etika (qanun madani) berperan untuk  mempererat komponen-komponen masyarakat.


Sejarah telah membuktikan  manusia pernah merasakan kehidupan penuh persaudaraan, cinta dan kasih sayang, penuh keadilan, tenggang rasa dan tolong menolong selama berabad-abad. Juga sejarah menyaksikan alam mengalami kekejaman, kekerasan, penghapusan etnis dan pertumpahan darah. Tanpa diragukan semua itu dapat  terjadi kembali kepada ruhiyah (spirit) agama yang dilandasi asas taqwa dan khauf kepada Allah Ta’ala. Yaitu pemberian tugas dari Allah agar manusia menghiasi (tahalliy) dengan akhlak karimah, menghindar (takhalliy) dari perbuatan buruk kemudian tunduk kepada qanun addiniyyah.

Oleh karena itu, dari sini jelas bagi kita seseorang tidak dapat memejamkan mata dari peran agama. Pemahaman terhadap agama sangat berperan penting untuk menggagas hubungan yang lebih baik. Islam telah memancangkan kaedah-kaedah hubungan (persaudaraan). Dan dengan agama juga keadilan dan qisth dapat diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Namun sangat disayangkan agama-agama lain sekarang sudah banyak mengalami pengaburan terhadap spirit tersebut. Kebanyakan sudah berubah menjadi ritual dan seremonial biasa.

PENGERTIAN AKHLAK DAN ETIKA
Makna Akhlak atau Husnul Khuluq menurut Imam Al-Baihaqiy adalah Ketentraman jiwa menuju yang lebih lembut dan lebih terpuji berupa perbuatan,  baik itu terhadap Allah atau terhadap manusia. Terhadap Allah jiwanya lapang dada menerima perintah dan rela meninggalkan larangan-larangan-Nya dan senang melakukan nawafil. Dan terhadap manusia mudah memaffkan.2 Sedangkan makna etika ialah Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak, kewajiban dan moral atau nilai bagi benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.3

Imam Gozali Rahimahullah (405-550 H / 1111-1058 M) mendefinisikan akhlak sebagai berikut : “Gambaran  dari keadaan isi jiwa yang mantap, dari  jiwa tersebut bersumber seluruh perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa harus butuh kepada berpikir dan berencana, jika isi jiwa tersebut keluar darinya perbuatan baik dan terpuji dan realistis lagi sesuai syariat maka dinamakan perbutan tersebut akhlak baik, dan jika yang keluar dari isi jiwa tersebut perbuatan yang jelek dan menyalahi syariat maka perbuatan itu disebut akhlak buruk”.4

Para ulama muslim terdahulu bervariasi dalam mendefinisikan  akhlak, kita sebutkan beberapa definisi akhlak dikalangan ulama :
-          Imam Hasan al-Bashri : “Akhlak mulia itu adalah bermuka ceria, mencurahkan kesejukan dan mencegah bahaya (keburukan)”.
-          Imam al-Wasithiy : “Bahwa dia tidak mau memusuhi dan tidak mau dimusuhi karena ma’rifatnya yang kuat kepada Allah SWT”. Dan pada yang lain ia berkata : “Yaitu membuat makhluk lain bahagia (ridha) diwaktu senang dan diwaktu susah”.
-          Syeh al-Kirmaniy : “Yaitu mencegah keburukan dan mampu menanggung belanja”.
-          Abu Utsman : “Merasa ridha terhadap semua ketentuan Allah”.
-          Ditanya Sahal al-Tustariy tentang akhlak dia jawab : “Serendah-rendahnya menanggung kesulitan, dan kebaikannya tidak dimintai balasan, berkasih sayang, memohon ampunkan kesalahan  penzalim”.
-          Imam Ali Karromallah Wajhah : “Akhlak mulia ada pada tiga asfek ; Meninggalkan segala yang haram, mencari rezeki yang halal dan memberikan kelapangan kepada keluarga”.
-          Al-Husain Bin Manshur : “Akhlak mulia itu tidak membekas pada dirimu sifat orang lain yang tidak menyenangkan pada dirimu setelah engkau mengetahui yang haq”.
-          Abu Said al-Khorraz : “Bahwa engkau tidak memiliki keinginan kecuali hanya kepada Allah”.5


1 Makna Fanatisme menurut Kamus Besar Indonesia, edisi ke tiga, Balai Pustaka Jakarta 2002 hal: 1/313 : “Kepercayaan yang teramat kuat terhadap ajaran (politik, agama dsb)”. Dalam kamus Ilmiyah populer memberikan penjelasan tentang Fanatik hal 103: “Berkeyakinan yang sangat kuat, berlebih-lebihan, menganut suatu paham dengan tidak lagi mempergunakan pertimbangan akal yang sehat”. Fanatik tidak salah jika diartikan dengan makna berpendirian atau istiqomah, sedangkan fanatisme dengan tambahan me maka akan menghasilkan makna berkeyakinan sangat kuat tanpa dasar pijakan atau argumen yang mendasar menurut ajaran yang diyakini (penulis).
2 Imam Abu Al-Mu’aliy Umar Bin Abdurrahman Al-Qazwainiy, Mikhtashar Syu’ab Al-Iman lil-Baihaqiy, Damascus, 1987, h. 116.
3 Kamus Besar Indonesia, h. 1/309.
4 Imam Gazali, Ihya Ulumuddin, 5/190-191, Daar al-Minhaj, Jeddah, 1432 H / 2011 M.
5 Ibid, h. 188-190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar