MEMBENTUK KARAKTER YANG ISLAMI
(Bagian
Pertama)
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA
(Ketua Umum MUI Kab. Asahan)
PENDAHULUAN
S
|
alah satu problematika paling besar
dalam kehidupan sosial dari masa kemasa adalah membangun hubungan diantara
sesama manusia. Sulitnya membangun hubungan diantara manusia, tidak terlepas
dari adanya perbedaan pada pandangan, pemikiran, akidah, agama, perbedaan
cara-cara hidup secara personal atau
kolektif (jama’ah), perbedaan methode dan wawasan dalam
kehidupan. Cukup banyak disana peluang untuk kemungkinan terjadinya permusuhan,
penzaliman dan penggilasan terhadap hak-hak. Kesalahan dalam menyikapi
perbedaan akan menimbulkan satu penyakit yang disebut dengan “fanatisme”1. seperti fanatisme pemikiran (fikriyah),
tendensi pribadi (naz’ah syakhsiyah), tendensi kekauman (muyul
al-qoumiyah), ambisi-ambisi sosial (‘awamil ijtima’iyah) dan
sejenisnya. Sifat fanatisme sangat besar peluangnya untuk membendungi
kemashlahatan manusia secara umum (mashlahah ‘Am) seperti hilangnya rasa
keadilan, hilangnya proporsionalisme (al-qisth) dan hilangnya hak-hak
asasi manusi (huququl insan). Maka tugas paling penting dan paling asas saat ini bagi kita adalah
bagaimana mengalahkan dan menghilangkan sifat fanatisme untuk membangun
masyarakat ideal (mitsaliy) dan madani.
Hubungan
antara manusia harus didasari akhlak (qanun al-akhlaqiyah) dan
etika (qanun al madaniyah) yang kokoh. Akhlak berpungsi untuk
mengontrol perkembangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakan dalam
batasan-batasan syari’at. Seseorang tidak akan melampaui batas-batas agama,
selama qanun akhlaqiyah dipegang teguh oleh masyarakat. Ketenteraman, keamanan
dan kenyamanan dapat berjalan lancar di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak
demikian maka bumi ini menjadi sebuah hutan rimba, yang lemah akan terancam
kekerasan dan kehilangan hak. Sedangkan etika (qanun madani) berperan
untuk mempererat komponen-komponen
masyarakat.
Sejarah
telah membuktikan manusia pernah
merasakan kehidupan penuh persaudaraan, cinta dan kasih sayang, penuh keadilan,
tenggang rasa dan tolong menolong selama berabad-abad. Juga sejarah menyaksikan
alam mengalami kekejaman, kekerasan, penghapusan etnis dan pertumpahan darah.
Tanpa diragukan semua itu dapat terjadi
kembali kepada ruhiyah (spirit) agama yang dilandasi asas taqwa dan
khauf kepada Allah Ta’ala. Yaitu pemberian tugas dari Allah agar manusia
menghiasi (tahalliy) dengan akhlak karimah, menghindar (takhalliy)
dari perbuatan buruk kemudian tunduk kepada qanun addiniyyah.
Oleh
karena itu, dari sini jelas bagi kita seseorang tidak dapat memejamkan mata
dari peran agama. Pemahaman terhadap agama sangat berperan penting untuk
menggagas hubungan yang lebih baik. Islam telah memancangkan kaedah-kaedah
hubungan (persaudaraan). Dan dengan agama juga keadilan dan qisth dapat
diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Namun sangat disayangkan agama-agama
lain sekarang sudah banyak mengalami pengaburan terhadap spirit tersebut. Kebanyakan
sudah berubah menjadi ritual dan seremonial biasa.
PENGERTIAN AKHLAK DAN ETIKA
Makna
Akhlak atau Husnul Khuluq menurut Imam Al-Baihaqiy adalah Ketentraman
jiwa menuju yang lebih lembut dan lebih terpuji berupa perbuatan, baik itu terhadap Allah atau terhadap
manusia. Terhadap Allah jiwanya lapang dada menerima perintah dan rela
meninggalkan larangan-larangan-Nya dan senang melakukan nawafil. Dan terhadap
manusia mudah memaffkan.2 Sedangkan
makna etika ialah Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak,
kewajiban dan moral atau nilai bagi benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.3
Imam
Gozali Rahimahullah (405-550 H / 1111-1058 M) mendefinisikan akhlak sebagai
berikut : “Gambaran dari keadaan isi
jiwa yang mantap, dari jiwa tersebut
bersumber seluruh perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa harus butuh kepada
berpikir dan berencana, jika isi jiwa tersebut keluar darinya perbuatan baik
dan terpuji dan realistis lagi sesuai syariat maka dinamakan perbutan tersebut
akhlak baik, dan jika yang keluar dari isi jiwa tersebut perbuatan yang jelek
dan menyalahi syariat maka perbuatan itu disebut akhlak buruk”.4
Para
ulama muslim terdahulu bervariasi dalam mendefinisikan akhlak, kita sebutkan beberapa definisi
akhlak dikalangan ulama :
-
Imam Hasan al-Bashri : “Akhlak mulia
itu adalah bermuka ceria, mencurahkan kesejukan dan mencegah bahaya
(keburukan)”.
-
Imam al-Wasithiy : “Bahwa dia tidak mau
memusuhi dan tidak mau dimusuhi karena ma’rifatnya yang kuat kepada Allah SWT”.
Dan pada yang lain ia berkata : “Yaitu membuat makhluk lain bahagia (ridha)
diwaktu senang dan diwaktu susah”.
-
Syeh al-Kirmaniy : “Yaitu mencegah
keburukan dan mampu menanggung belanja”.
-
Abu Utsman : “Merasa ridha terhadap
semua ketentuan Allah”.
-
Ditanya Sahal al-Tustariy tentang
akhlak dia jawab : “Serendah-rendahnya menanggung kesulitan, dan kebaikannya
tidak dimintai balasan, berkasih sayang, memohon ampunkan kesalahan penzalim”.
-
Imam Ali Karromallah Wajhah : “Akhlak
mulia ada pada tiga asfek ; Meninggalkan segala yang haram, mencari rezeki yang
halal dan memberikan kelapangan kepada keluarga”.
-
Al-Husain Bin Manshur : “Akhlak mulia
itu tidak membekas pada dirimu sifat orang lain yang tidak menyenangkan pada
dirimu setelah engkau mengetahui yang haq”.
-
Abu Said al-Khorraz : “Bahwa engkau
tidak memiliki keinginan kecuali hanya kepada Allah”.5
1 Makna Fanatisme menurut Kamus Besar Indonesia,
edisi ke tiga, Balai Pustaka Jakarta 2002 hal: 1/313 : “Kepercayaan yang
teramat kuat terhadap ajaran (politik, agama dsb)”. Dalam kamus Ilmiyah populer
memberikan penjelasan tentang Fanatik hal 103: “Berkeyakinan yang sangat kuat,
berlebih-lebihan, menganut suatu paham dengan tidak lagi mempergunakan
pertimbangan akal yang sehat”. Fanatik tidak salah jika diartikan dengan makna
berpendirian atau istiqomah, sedangkan fanatisme dengan tambahan me maka
akan menghasilkan makna berkeyakinan sangat kuat tanpa dasar pijakan atau
argumen yang mendasar menurut ajaran yang diyakini (penulis).
2 Imam Abu Al-Mu’aliy Umar Bin Abdurrahman
Al-Qazwainiy, Mikhtashar Syu’ab Al-Iman lil-Baihaqiy, Damascus, 1987, h.
116.
3 Kamus Besar Indonesia, h. 1/309.
4 Imam Gazali, Ihya Ulumuddin,
5/190-191, Daar al-Minhaj, Jeddah, 1432 H / 2011 M.
5 Ibid, h. 188-190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar