BERGESERNYA
NILAI PAHALA IBADAH MENJADI DOSA
Oleh: H. Salman
Abdullah Tanjung, MA
Pada dasarnya segala perbuatan
yang baik akan menghasilkan kebaikan dan berimplikasi keada pahala, namun
pahala akan berubah menjadi dosa karena bercampurnya pahala dengan dosa. Dalam
kaedah menghindari keburukan diutamakan daripada keinginan memperoleh pahala,
apabila pada perbuatan baik itu dibarengi dengan dosa. Kemulian berbuat baik
pada hari jumat akan diberi dua pahala, mengundang orang makan dalam upacara
perkawinan, akiqah, khitanan anak akan memperoleh pahala sedekah, namun pahala
itu akan sirna dengan sia-sia seperti membuang garam kelautan atau gula kedalam
sungai. Yang paling mengiris hati dan melukai perasaan apabila dalam acara-acara
seremonial Islam dicampur-adukkan dengan tindakan-tindakan yang tidak
halal atau syubhat dalam agama,
diantaranya:
1. Acara senam pagi yang rutin dilakukan di
perkantoran dan disekolah-sekolah, yang diiringi dengan alat-alat muzik Barat,
India atau muzik-muzik lokal, sangat ironis jika tindakan itu dilakukan di Instansi
Keagamaan seperti Kantor Kementerian Agama yang dilakukan pada setiap hari
jumat, yang seharusnya hari jumat itu dimuliakan, sebab hari jumat merupakan
hari raya umat Islam pada setiap pekan. Kegiatan senam pagi hari jumat dikantor
induk keagamaan ini sangat gencar dilakukan senam pagi pada tiga tahun terakhir
ini, semenjak tahun 2012 olah raga
senam pagi semakin giat dilakukan, diiringi
lagu-lagu dan muzik yang sangat eksotis. Sedangkan di perkantoran dinas-dinas yang
ada di Kabupaten Asahan ditambah lagi dengan mengundang pelatih perempuan yang
memakai pakaian ketat, dan menampakkan bagian-bagian sensualitas dengan
goyangan punggung dan pinggul, yang sangat menggoda. Dibelakang para biduati
senam ini wanita-wanita muslimah berjilbab, dan para laki-laki muslim dan
suami-suami para wanita muslimah pada umumnya. Yang menjadi pertanyaan, dimana
cita-cita perbaikan akhlak dan moral bangsa?, dimana visi dan misi Kabuaten
Asahan “Membangun masyarakat Asahan yang religius, sehat, cerdas dan mandiri?”.
Yang harus di ingat : “Orang-orang Yahudi mendapat laknat dan amarah dari Allah
Ta’ala karena hanya keengganan mereka untuk meninggalkan aktivitas pada hari
tersebut sebagai penghormatan. Hanya karena mereka memancing ikan pada hari
sabtu, rupa mereka diubah menjadi rupa kera”. Bila kita bandingkan dengan
perlakuan sebagian kalangan umat Islam masa kini, perlakuann mereka terhadap
hari Jumat sudah sangat melampaui batas, melebihi Yahudi. Na’udzu Billah min
Dzalik.
2. Undangan acara
Maulidan, Isra’ Mi’raj, Dzikir dan do’a, istighostah diberbagai tempat, khidmat
dan hikmahnya terasa ambar dan sia-sia karena dicampur-adukkan dengan muzik muzik atas nama muzik Islam dan percampuran
laki-laki dengan perempuan. Sungguh sangat tidak baik panitia pelaksana
terutama para remaja yang tidak menjunjung nilai-nilai Islam dengan terjadinya
percampuran antara laki-laki dengan wanita (ikhthilat).
3. Udangan
temu pisah jabatan dilingkungan pejabat Forum Komunikasi Pemerintah Daerah
(FKPD) yang sangat syarat dengan hiburan muzik dan bernyanyi-nyanyi dan
mempertontonkan joget antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom.
4. Udangan pesta
perkawinan, pesta khitanan, mengayun, menabalkan nama anak yang pada umumnya
menghadirkan key board, muzik dan wanita penghibur.
5. Undangan
acara-acara wisuda santri dan mahsiswa di Madrasah dan Perguruan Tinggi, yang
tidak pernah terlepas dari alat-alat muzik dan hiburan, dll.
Melihat
banyaknya macam-ragam undangan belakangan ini, timbul banyak pertanyaan dikalangan
masyarakat, terutama kalangan orang-orang yang awam terhadap hukum. Tidak
sedikit yang menganggap undangan itu wajib dihadiri, bahkan banyak diantara
ustadz yang menetapkan hukum bagi setiap undangan wajib dihadiri. Padahal
anggapan itu tentu sangat keliru, pemahaman itu terjadi dikarenakan kejahilan
terhadap fikih dan syari’at. Sehingga kadang kala persepsi tersebut timbul
semacam pandangan tidak baik kepada orang yang enggan menghadiri beberapa
undangan, bahkan terkadang orang itu sering menjadi bahan gunjingan dan
tersisih ditengah-tengah kebanyakan yang jahil terhadap hukumnya. Sulitnya
mengamalkan yang benar ditengah-tengah masyarakat yang salah menafsirkan
terhadap suatu hukum, merupakan satu amalan yang menempati jihad dijalan Allah
karena dianggap aneh dan terasing. Rasulullah SAW telah bersabda :
بَدَأَ اْلِإسْلَامُ غَرِيْبًا
فَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam itu dimulai dengan asing, dan akan kembali dianggap
asing, maka beruntunglah bagi orang yang dianggap asing”.1 Allah swt berfirman dalam Alquran surah
al-Hujurat ayat 11 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Oleh sebab itu
rasanya sangat terpanggil untuk menjelaskan hukum menghadiri undangan- undangan
yang sangat bervariasi saat ini. Fikih menghadiri undangan termasuk dari bagian
fikih sosial, karena berhubungan erat dengan intraksi (muamalat) dengan
sesama manusia. Didalam bermuamalat antara sesama, spesifikasi hukumnya ada
pada tarap mubah, ada pada tarap sunnat, ada tarap makruh bahkan haram dan
wajib.
HUKUM MENGHADIRI UNDANGAN
Macam-macam
undangan dapat kita golongkan kepada dua bagian besar, pertama : Undangan
kenduri perkawinan (walimatul’urus), kedua: Undangan makan biasa (ma’dubah).
Dari berbagai turuq alhadis (jalur perawi) dari zahirnya menunjukkan
akan wajibnya menghadiri setiap undangan apapun namanya, demikian itu dapat
kita lihat dari bunyi hadis yang mengandung makna perintah dengan leterlik “hendaklah”.
Dalam kajian ilmu usul fiqh setiap lafaz perintah dalam Alquran atau dalam
hadis, pertama-tama di tetapkan hukumnya wajib sebagai bentuk konsekwensi dari
perintah tersebut, sebelum ada yang mengalihkan maknanya kepada sunnat, atau
makruh bahkan bisa haram. Beberapa hadis yang dapat dijadikan sebagai pijakan
hukum untuk fikih menghadiri undangan, diantaranya :2
Bersumber dari Abdullah ibnu Umar Rodhiyallahu Anhuma, dari Nabi SAW, Ia
bersabda : “Apabila diantara kalian diundang kesatu walimah (pesta nikah),
maka hendaklah ia datangi”. (H.R. Muslim : 1429), dalam satu riwayat: “Hendaklah
ia perkanankan”. (1430), dalam satu riwayat: “Apabila diundang diantara
kalian kepada walimatul urs, maka hendaklah ia perkanankan” (1431), dalam
satu riwayat: “Datangi kamulah undangan apabila kamu diundang” (1432),
Dalam satu riwayat: “Apabila diantara kamu mengundang saudaranya, hendaklah
ia perkenankan, sama ada pesta kawin atau undangan sejenisnya” (1433).
Dalam satu riwayat: “Barang siapa yang diundang kesatu perkawinan atau
sejenisnya, maka hendaklah ia perkanankan” (1434).
Bersumber dari
Abizzubair dari Jabir Rodhiyallahu Anhuma, ia berkata, bersabda Rasul SAW: “Apabila
diantara kalian diundang untuk makan, maka hendaklah ia perkanankan, jika ia
berkeinginan makan, maka ia makan, dan jika tidak ingin, maka ia tinggalkan”
H.R. Muslim (1435).
Bersumber dari
Abi Huraroh Rodhiyallahu Anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Apabila
diantra kalian diundang, maka hendaklah ia perkenankan, maka jika ia dalam
keadaan berpuasa maka hendaklah ia mendoakan mereka, dan jika ia dalam keadaan
berbuka maka hendaklah ia ikut makan”. H.R. Muslim: 1436).
Bersumber dari
Abi Huraroh Rodhiyallahu Anhu, ia berkata: “Seburuk-buruk makanan adalah
makanan walimah (pesta kawin), diundang orang-orang kaya, dan tidak mengundang
para pakir miskin, maka barangsiapa yang tidak mendatangi undangan maka ia
telah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Muslim:1437).3
Hadis-hadis
diatas menjadi dasar bagi kalangan ulama
dalam menetapkan hukum pada masalah undangan. Imam Nawawi Rahimahullahu
Ta’ala menyimpulkan bahwa ulama sepakat (tidak ada perkhilafan) tentang
diperintahkannya menghadiri undangan pernikahan (walimatul ‘urus), namun beliau
masih memberikan rincian, apakah menghadiri undangan walimatul ‘urus wajib
dihadiri atau dianjurkan (nadab)?. Imam Nawawi memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Berkata Imam Nawawi: Dalam madzhab Syafi’i ada tiga hukum
menghadiri undangan :
1. Wajib
menahadiri undangan walimatul ‘urus bagi setiap orang yang mendapat undangan.
Akan tetapi Imam Nawawi berkata: Hukum asal mengnghadiri undangan walimatul urs
adalah wajib, akan tetapi akan berubah atau gugur hukum wajib menjadi tidak
wajib, bahkan haram untuk dihadiri dalam hal-hal tertentu.
2. Hukum
menghadiri undangan walimatul ‘urus fardhu kifyah.
3. Hukum
menghadiri undangan dianjurkan (nadab).
Adapun hukum
menghadiri undangan selain walimatul ‘urus dalam madzhab Syafi’i ada dua
pendapat, Pertama : Hukumnya sama dengan menghadiri undangan walimatul ‘urus;
Kedua : Undangan yang wajib dihadiri hanya undangan walimatul ‘urus selainnya
adalah sunat.
Pendapat yang
mewajibkan menghadiri khusus undangan walimatul urs, dikuatkan oleh sebagian
pendapat dengan menyebutkan hal tersebut
sudah ijma’ ulama. Kalangan Madzhab Zahiriyah berpendapat : Semua yang
bersifat undangan wajib untuk dihadiri tanpa harus membedakan antara satu
undangan dengan undangan yang lainnya, seperti undangan akikah, ma’dubah dan
lain-lain. Pendapat kalangan Zahiriyah sangat bertentangan dengan pendapat Imam
Malik dan mayoritas ulama yang berpendapat tidak wajib menghadiri undangan
kecuali undangan walimatul ‘urus.
HAL-HAL YANG DAPAT
MERUBAH HUKUM WAJIB MENJADI TIDAK WAJIB BAHKAN HARAM UNTUK MENGHADIRI UNDANGAN
Imam Nawawi dalam
kitab Syarh Shoheh Muslim menyebutkan ada banyak faktor yang dapat mengubah
hukum menghadiri undangan dari wajib menjadi tidak wajib bahkan sebaliknya undangan itu terkadang
wajib untuk dihindari (haram dihadiri), diantaranya:
1. Makanan
yang dihidangkan dicurigai (syubhat) kehalalannya, seperti makanan yang
dihidangkan terindikasi hasil dari kejahatan, atau makanan yang dihidangkan
tidak halal zatnya, tidak halal proses memasaknya, atau tidak halal cara
menghidangnya.
2. Undangan
terindikasi ada pengkhususan bagi kalangan orang kaya atau pejabat sehingga terindikasi
lebih eksklusif.
3. Merasa ada
orang yang keberatan atau tersakiti jika dihadiri.
4. Ada sesuatu
yang tidak layak dilokasi pesta walimatul ‘urus.
5. Terindikasi
dalam membuat undangan kepada seseorang karena ditakuti kejahatannya.
6. Undangan
walimatul ‘urus diadakan karena ingin mengambil simpatik dari yang diundang,
karena pengaruhnya atau wibawanya.
7. Diketahui
pesta dibuat karena ingin menutupi satu skenario jahat dibelakangnya.
8. Bejana atau
peralatan hidangan ada berupa emas atau perak.
9. Dalam acara
pesta ada kemungkaran seperti memainkan alat muzik yang dilarang dalam agama,
(pemilik pesta memamerkan tato ditubuhnya, mengumbar aurat, atau mencabuti alis
mata karena ingin berhias, menyulam bibir bagi wanita sejenis tato).
10. Didalam
pesta dihidangkan khomar atau minuman yang memabukkan, atau terindikasi pemilik
pesta menyimpan khomar atau narkoba.
11. Didalam ruangan
pesta ada gambar-gambar, patung atau lukisan makhluk yang bernyawa.
12. Undangan
pesta dari kalangan non muslim tidak wajib untuk dihadiri.
13. Jika
undangan berlanjut sampai tiga hari maka yang wajib dihadiri undangan hari
pertama, undangan hari kedua sunnat dan hari ketiga makruh.4
1 H.R. Bukhari, al-Thabrani, Ibnu Majah dari Abi Zarr
al-Ghifari Radhiyallahu ‘Anhu.
2 عن
ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إذا دعي أحدكم إلى الوليمة
فليأتها" رواه مسلم (1429) وفي رواية "فليجب" (1430) وفي رواية
"إذا دعي أحدكم إلى وليمة عرس فليجب" (1431) وفي رواية "ائتو
الدعوة إذا دعيتم" (1432)، وفي رواية "إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا
كان أونحوه" (1433). وفي رواية "من دعي إلى عرس أو نحوه فليجب"
(1433)، وفي رواية "ائتوا ادعوة إذا دعيتم" (1434).
عن
أبي الزبير عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا دعي أحدكم
إلى طعام فليجب فإن شاء طعم، وإن شاء ترك" رواه مسلم (1435).
عن
أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا دعي أحدكم فليجب، فإن
كان صائما فليصل، وإن كان مفطرا فليطعم" رواه مسلم (1436).
عن
أبي هريرة أنه كان يقول: "بئس الطعام طعام الوليمة يدعى إليه الأغنياء، ويترك
المساكين، فمن لم يأت الدعوة فقد عصى الله ورسوله". (1437).
3 Shoheh Muslim bi Syrh al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria
Yahya Bin syraf al-Nawawi,3/7,8,9, hal: 570-574, Darul Khoir: Damascus1414
H/1994 M.
4 Imam Nawawi, Shoheh Muslim Syarh al Nawawi,
Tahqiq Ishom al-Shobabithy, jld 5, h, 253 Darul Hadis, Kairo, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar