BATAS-BATAS BERCANDA GURAU
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA
B
|
ercanda gurau dapat menghilangkan hak,
dapat mengakibatkan pemutusan silaturrahim, dapat menghilangkan wibawa dan menyakiti
orang yang dicandai.
Biasanya tukang
bercanda, terbiasa dengan ucapan kasar dan selalu bertindak bodoh. Dia sedih
jika tidak bergurau dalam satu hari, tapi jika kita berhadapan dengannya, dia
jauh dari adab dan sopan santun. Oleh karena itu, sepatutnya bagi orang berakal
menghindarinya dan menjauhi dari kerendahan wibawanya.
Diriwayatkan
dalam sebuah hadis :
اَلْمِزَاحُ اسْتِدْرَاجٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ، وَاخْتِدَاعٌ مِّنَ الْـهَوَى
Artinya : “Bercanda itu daya tarik bagi syetan, dan tipu daya dari
hawa dan keinginan”. Berkata Umar bin
Abdul Aziz Rodhiyallahu Anhu:
اِتَّقُوْا الْمِزَاحَ، فَإِنَّ حُمْقَهُ تُوْرِثُ ضَغِيْنَةً
Artinya : “Waspadalah terhadap canda gurau, karena kebodohannya akan
membawa permusuhan”. Berkata ahli hikmah:
إِنّـَمَا الْمِزَاحُ سِبَابٌ، اِلَّا أَنَّ صَاحِبَهُ يَضْحَكُ، وَقِيْلَ:
إِنّـَمَا سُمِّيَ الْمِزَاحُ مِزَاحًا لِأَنَّهُ يَزِيْحُ عَنِ الْـحَقِّ
Artinya : “Sesungguhnya bercanda itu sebuah cacian, hanya saja pelaku
canda itu sedang tertawa, dan dikatakan: dinamakan bercanda itu dengan
bercanda, karena ia dapat menjauhkan seseorang dari yang haq”.
Dan berkata Imam Ibrahim Annakhoi’i :
اَلْمِزَاحُ مِنْ سَخَفٍ
أَوْ بَطَرٍ
Artinya : “Bercanda itu bahagian dari kebodohan atau dari
kesombongan”. Berkata ahli hikmah:
اَلْمِزَاحُ يَأْكُلُ الْـهَيْبَةَ،
كَمَا تَأْكُلً النَّارُ الْـحَطَبَ
Artinya : “Bercanda itu memakan wibawa, sebagaimana api memakan kayu
bakar”. Berkata sebagian hukama :
مَنْ كَثُرَ مِزَاحُهُ
زَالَتْ هَيْبَتُهُ، وَمَنْ كَثُرَ خِلَافُهُ طَابَتْ غَيْبَتُهُ
Artinya : “Barang siapa yang banyak bercanda, akan hilang wibawanya,
dan barang siapa yang banyak meninggalkan kebaikan akan dikenang ketika
wafatnya”. Kemudian berkata ahli sastra :
مَنْ قَلَّ عَقْلُهُ،
كَثُرَ هَزْلُهُ
Artinya : “Barang siapa yang kurang akalnya, maka banyaklah ketidak
seriusannya”.
Khalid Bin Shofwan mengidentikkan canda gurau itu dengan : “Terkadang
canda gurau itu dapat menutupi wibawanya melebihi kerasnya batu padas, dan
terasa pilu lebih pedas daripada merica, dan terasa ditumpahi air panas lebih
panas dari pada pukulan palu”.
Walaupun kebanyakan bercanda gurau itu lebih banyak negatifnya, dibalik
itu masih ada positifnya. Manfaat dari bercanda itu tidak lebih dari dua
manfaat yaitu :
1. Untuk
menghibur dan berlemah lembut dengan orang lain. Ini bisa dikatakan bermanfaat,
jika perkataan itu baik. Sebagaimana Imam Said bin al-Ash berkata :
“Sedang-sedanglah dalam candamu, karena berlebihan dalam bercanda dapat
menghilang-kan wibawa, dan akan lebih berani orang bodoh untuk
memain-mainkanmu, dan sesungguhnya ber-lebihan dalam bercanda akan menjauhkan
orang yang menyukaimu dan akan segan orang berteman denganmu”.
2. Tujuan
bercanda salah satunya untuk mengurangi rasa bosan, dan untuk membangkitkan
semangat, jika itu dilakukan tidak berlebihan dan dilakukan pada yang haq.
Rasulullah terkadang mau bercanda, tapi candanya pada hal-hal yang
benar, sebagaiman disebutkan dalam hadis :
إِنِّيْ لَأَمْزَحُ وَلَا
اَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
Artinya : “Sesungguhnya saya suka bercanda, namun aku tidak
mengatakan kecuali yang benar”.
Dalam satu riwayat, seorang perempuan tua bangka dari keturunan Anshor
datang kepada Nabi Muhammad saw, lalu ia berkata : “Hai Rasulullah saw! Do’akanlah
saya agar memperoleh keampunan”, Rasulullah saw menjawab : “Apakah engkau tidak
mengetahui bahwasanya perempuan tua bangka tidak masuk sorga?”, lalu perempuan
itu menjerit, kemudian Rasulullah saw tersenyum dan berkata : “Apakah engkau
belum membaca firman Allah Azza Wa Jalla :
!$¯RÎ)
£`ßg»tRù't±Sr& [ä!$t±SÎ) ÇÌÎÈ £`ßg»oYù=yèpgmú #·%s3ö/r&
ÇÌÏÈ $¹/ããã
$\/#tø?r&
ÇÌÐÈ
Artinya : “Sesungguhnya
Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Q.S. Al-Waqia’h: 35-37).
Pada suatu hari seorang wanita datang menghadap Rasulullah,
lalu bertanya Rasulullah : “Siapa suamimu?” Di jawab wanita itu : “Si Folan”.
Kemudian Rasulullah berkata : “Laki-laki yang ada warna putih pada matanya?”.
Tak lama kemudian menjawab : “Bukan itu”, Rasulullah berkata : “Bahkan itu”.
Lalu wanita tersebut bergegas lari mencari suaminya dalam
keadaan bingung sambil memikirkan warna putih mata suaminya, sesampainya
dihadapan suaminya, suaminyapun langsung bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”
Si istri menjawab : “Kata Rasulullah didalam matamu ada warna putih”, di jawab
sang suami: “Tidakkah engkau melihat pada mataku warna putihnya lebih banyak
dibandingkan warna hitamnya?”.
Dalam satu kisah, seorang laki-laki datang kepada Ali
Karromallahu Wajhah berkata : “Saya benar-benar tadi malam bermimpi dengan
ibuku, (apakah hukuman bagiku)?” Di jawab oleh Ali Karromallahu Wajhah :
“Dirikan kamu ia dibawah terik matahari, lalu kamu pukulilah bayangannya
sebagai hukumannya!”.
Imam Sya’bi pernah ditanya tentang memakan daging syetan,
lalu sang Imam balik bertanya : “Siapakah istri Iblis yang terlaknat itu?
Itulah pernikahan yang tidak kita saksikan”.
Jauhilah dusta dalam bercanda sebab ini akan meluputkan
kalian dari suatu fadhilah dan balasan yang agung disisi Allah pada hari
kemudian. Rasulullah saw bersabda : “Aku akan memberikan jaminan sebuah
rumah di pinggir sorga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia
benar, dan rumah di tengah sorga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun
ia bercanda, serta rumah di bagian atas sorga bagi orang yang akhlaknya bagus”.
HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (4800). Lihat Ash-Shohihah
(494)]
Belakangan ini semakin banyak kita melihat canda gurau yang
dibuat-buat, bertujuan untuk menghibur orang lain. Namun kebanyakannya sudah
banyak yang lari dari kebenaran sunnah Nabi dalam bercanda gurau. Sehingga
khalayak ramai mementingkan ceramah yang didominasi lawak lebih di sukai
dibandingkan ceramah ilmiyah, yang pada gilirannya agama menjadi olok-olokan di
lisan para penceramah. Padahal praktek seperti itu sangat tidak terhormat dan
cenderung melemahkan eksistensi para da’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar