Selasa, 21 Januari 2025

Fiqh Remaja Era Milenial (Bagian Ketiga)

 

  Fiqh Remaja Era Milenial 
(Bagian Ketiga)

Oleh : H. SALMAN ABDULLAH TANJUNG, MA
Ketua Umum MUI Kabupaten Asahan  

BAGIAN KETIGA


Fiqh Perkawinan

a.       Pengertian “kawin”.

b.      Hukum nikah.

c.       Tujuan disyariatkan nikah

d.      Menikahi wanita lebih dari satu orang

2.      Hukum Poligami

3.      Wanita-wanita yang haram dinikahi.

4.      Hukum Nikah Dalam Islam

5.      Hukum Nikah Dalam Prosfektif Fiqh

6.      Fiqh Upacara Pelaksanaan Akad Nikah

7.      Wali Hakim Dan Qodhi Sulthon Dalam Prosfektif

8.      Cara pengangkatan wali hakim atau wali sultan

9.      Kapankah  hak perwalian berpindah kepada wali hakim?

10.  Pengertian wali muhakkam

11.  Kedudukan wali sultan atau wali hakim

12.  Hukum akad nikah” dalam Islam

13.  TANYA JAWAB:

  

FIQH PERKAWINAN

 

Pengertian “kawin”.

Kata “kawin” maknanya setara dengan kata “ zawaj/  رواج  dalam Bahasa Arab :    اقتران الشئء بالشئء – menggandengkan sesuatu dengan sesuatu. Didalam Alquran Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Attakwir ayat:7:

وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ  . Yang maknanya:” Apabila digandengkan/didekatkan ruh dengan badan, pada waktu berbangkit”.

            Didalam Bahasa awam kata “kawin” bisa dengan makna hubungan seksual walaupun belum ada akad.

 Sedangkan menurut syari’at : Sahnya hubungan suami istiri dengan akad yang sah menurut syari’at[1].

Kawin (zawaj) dan sebutan nikah mengandung makna yang sama jika hubungan kedua pasangan diikat dengan ijab Kabul atau yang dikenal dengan akad.

            Akad nikah merupakan seutama-utama serah terima (akad) didalam Islam, karena mengandung makna penyatuan diantara dua jiwa dengan ikatan mawaddah (hubungan keluarga)  dan rahmat (kasih sayang diantara dua insan), karena dengan akad itu sebab terjadinya keturunan anak cucu dan terjaganya kemaluan dari kejhatan seksual.

 

Hukum nikah

Nikah hukumnya sunnah atau dianjurkan, sebab nikah merupakan bagian dari sunnah Nabi Shollallohu ‘alaihi Wasallam, sebagaimana dalam kutipan hadis Nabi riwayat Bukhori dan Muslim, bersumber dari Anas Bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu:

" جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ اِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ، فَلَمَّا أَخْبَرُوْا ، كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا- أَيْ وَجَدُوْهَا قَلِيْلَةً – فَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنْ رَّسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّيَ اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: وَأَنَا اَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَيْهِمْ فَقَالَ: "أَنْتُمْ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ، إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّيْ أَنَا: أُصَلِّيْ وَأَنَامُ، وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَّغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ".

“ Datang beberapa orang sahabat berkunjung ke rumah istiri-istiri Nabi Shollollohu ‘Alaihi Wasallam menanyakan bagaimana ibadah-Nya, ketika diceritakan kepada mereka, seolah-olah mereka menganggapnya sedikit, lalu mereka berkata: Dimana kedudukan kita dibanding Rasululloh yang telah diampunkan dosa Nya yang terdahulu dan yang terakhir. Maka berkata diantara mereka: Adapun saya maka saya sholat malam selamanya, dan yang lain berkata: Dan saya puasa sepanjang masa tanpa putus, dan yang lain berkata: Dan saya akan menjauhi wanita, maka saya tidak akan kawin. Tidak lama kemudian hadir Rosululloh Shollollohu ‘Alaihi wasallam dihadapan mereka dan berkata:” Kalian berkata begini-begini, demi Alloh bukankah Aku lebih takut dan lebih taqwa kepada Allah, akan tetapi saya sholat dan tidur, saya puasa juga berbuka, dan saya mengawini wanita, maka sesiapa yang benci kepada sunnah-Ku maka ia bukan dari-Ku”.

 

Tujuan disyariatkan nikah

Akad nikah merupakan akad mulia dan diberkahi, Alloh Ta’ala tidak mensyariatkannya melainkan mengandung  mashlahat yang banyak bagi hamba-hambba-Nya, agar mereka memperoleh keberuntungan dari tujuan-tujuan kebaikan dan mulia. Tujuan utama dari nikah ada dua yaitu: Mellanjutkan keturunan dan untuk menjaga diri agar tidak tergelincir kepada hal-hal yang haram.

Menikahi wanita lebih dari satu orang

Menikahi wanita lebih dari satu orang hukumnya “Mubah” dalam agama Islam sampai empat istiri, maknanya: Tidak wajib juga tidak haram berdasarkan Kalam Alloh Subhanahu Wata’ala dalam Surat Annisa’: 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ ﴿٣﴾

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Boleh (Mubah) bagi seorang laki-laki untuk menikahi empat orang wanita dan keempatnya berada dibawah tanggung jawabnya, jika memumkinkan baginya untuk berlaku adil atau dia merasa sanggup untuk menjamin kebutuhan mereka berupa belanja (nafkah) baik makan, pakaian, tempat tinggal dan seluruh kebutuhan primer lainnya.

 

Keutamaan menikahi wanita lebih dari satu orang

            Sebelum memutuskan untuk menikahi wanita lebih dari satu orang, terlebih dahulu seorang laki-laki mempertimbangkan konsekwensi positif atau negatif yang ditimbulkan oleh berpoligami:

-                                              Pertama: Untuk membantu laki-laki yang merasa tidak cukup dengan satu orang istiri agar terhindar dari perbuatan zina.

-                                        Kedua          : Memberantas meluasnya kejahatan seksual dikalangan masyarakat, sebab jika hati seorang laki-laki jatuh cinta kepada seorang wanita maka dihadapannya ada dua pilihan yaitu antara memilih kawin dengan cara yang halal atau berselingkuh (zina). Pada dasarnya setiap orang yang memiliki akal sehat tidak akan memilih pilihan kedua terkadang bahkan menjadi  wajib yakni dengan menikah lagi, mengamalkan hadis Nabi Shollollohu ‘Alaihi Wa sallam:

"لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ"

“ Tidak pernah dilihat bagi dua orang yang saling mencintai menyamai pernikahan[2]

-                                        Ketiga          :Membantu para janda dan para wanita yang terlambat mendapatkan jodoh terutama setah terjadinya perang yang mengakibatkan banyak diantara mereka ditinggal suami yang gugur dalam pertempuran  atau wanita yang tidak pernah kunjung tiba lamaran dari laki-laki, yang mana pada akhir-akhir ini semakin banyak wanita yang menjomblo. Apakah situasi seperti ini lebih baik dibiarkan atau membiarkan umur mereka tergilas dengan masa yang terus-menerus dalam penantian, tidak ada laki-laki yang mengayominya atau tempat berbagi rasa dengannya?. Sebaiknya bagi mereka untuk menerima lamaran laki-laki yang bertanggung jawab sebagai istiri kedua atau ketiga dan keempat jika mereka rela menerimanya.

Tentu kita tidak lupa terhadap pertentangan yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompok lain yang datang  bertubi-tubi dari berbagai pandangan, terutama dari kalangan non muslim, dari kalangan liberalisme, juga dari kalangan sebagian muslimin yang lemah iman, demikian juga dari para istiri sendiri. Untuk menyikapi pertentangan tersebut perlu kita jelaskan kepada mereka bahwa:

 

1.       Hukum menikahi wanita lebih dari satu  bukanlah wajib, akan tetapi hukumnya “mubah” atau boleh-boleh saja atau dengan kata lain: Laki-laki berhak untuk melakukannya namun juga berhak untuk tidak melakukan. Begitu juga bagi perempuan berhak menerima atau menolak untuk dimadu oleh laki-laki sebagai istiri kedua, ketiga atau keempat. Logikanya: Jika setiap wanita menolak untuk dijadikan istiri kedua, ketiga atau keempat, maka tidak akan pernah terwujud pernikahan lebih dari satu. Oleh sebab itu kesalahan menikahi perempuan lebih dari satu tidak sepantasnya hanya laki-laki saja yang dituduh melakukan yang terlarang, wanitapun seharusnya pantas dipersalahkan orang yang tidak menerima poligame. Namun akan berbeda hitung-hitungannya jika seorang wanita dipertemukan dengan seorang laki-laki yang memenuhi kecakapan untuk poligame, dia memiliki kemampuan fisik, kemampuan ekonomi dan kedudukan maka seorang wanita akan mendapatkan kebahagia dan pasti si wanita tidak akan merasa cemburu secara berlebihan jika semua kebutuhannya terbutuhi. Pada pandangan kami sulitnya merealisasikan poligame di Indonesia ada beberapa alasan yaitu: Pertama: Karena faktor hukum fositif yang berlaku dan mempersulit poligame, kedua: Faktor budaya, ketiga: Faktor cemburu yang masih mendominasi para wanita dan keempat: Faktor ketidak fahaman tentang ajaran agama Islam yang sebenarnya apa itu manfaat poligame.

2.       Komunitas yang memahami perlunya ada poligame dalam kasus terentu, maka yang tidak setuju dengan poligame tidak perlu  membantah yang memahami perlunya poligame, karena dalam poligame memiliki tujuan mulia. Seorang istiri memiliki hak yang sempurna, apakah ia istiri pertama atau kedua atau keempat. Komunitas poligame memiliki ketenangan jiwa ketimbang komunitas yang suka berselingkuh, mata, hati dan syahwatnya terjaga dari yang haram dan sangat berbeda dengan yang tidak memahami makna poligame.

3.       Pada kenyataannya wanita berbanding laki-laki syahwatnya lebih lemah, bahkan setelah melewati masa menopause di umur empat puluhan tahun wanita sudah tidak memiliki keinginan untuk didekati laki-laki. Demikian juga dimasa-masa tertentu seperti fase datangnya haidh, melahirkan dan masa nifas laki-laki tidak dapat mendekatinya. Wanita pada masa-masa tersebut tidak merasa ingin dekat suaminya. Kebiasaan wanita menginginkan suaminya kira-kira satu pekan sebelum datangnya masa haidh atau sepekan setelah suci dari haidh. Sementara laki-laki memiliki keinginan dekat dengan wanita tanpa ada batas karena tidak ada yang mengurangi atau mendinginkan syahwatnya selama masih sehat atau tidak karena kelelahan.

4.       Wanita akan marah bila dihadapkan dengan kasus poligame, selama marahnya dalam batas cemburu (ghiroh) dipandang normal dan fitrah dalam diri wanita, namun jika marahnya untuk menentang hukum Allah Ta’ala, maka pemahaman itu sudah salah dan dianggap sebagai kezaliman pada diri seorang wanita. Sudah menjadi hak wanita untuk cemburu jika suaminya ingin memadunya, namun yang tidak boleh baginya untuk mengingkari hukum syara’, tidak itu saja seorang ayahpun tidak menginginkan putrinya dimadu oleh menantunya[3]. Disebutkan dalam hadis Nabi Shollollohu ‘Alaihi Wasallam, sampai kepada Nabi bahwa Ali Rodhiyallahu ‘anhu ingin memadu Fatimah Rodhiyallohu ‘anha, lalu Nabi berkata:

" فَاطِمَةُ بِضْعَةٌ مِّنِّيْ، فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِيْ".

“Fatimah bagian dariku, maka siapa yang membuatnya marah dia telah membuatku marah[4]”.

Para wanita sah-sah saja memiliki kecemburuan, karena rasa cemburu tidak dapat hilang atau dihilangkan, sebab cemburu bagian dari fitrah manusia, hak wanita untuk menolak poligame, namun bukan haknya untuk menolak hukum Allah Ta’ala karena dalam hukum yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala didalamnya ada proteksi dan mashlahat, setiap orang wajib tunduk kepada hukum Allah agar tercapai iman yang sempurna, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً ﴿٣٦﴾

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.

 

HUKUM POLIGAMI

            Pada dasarnya poligami hukumnya "Mubah" dasarnya firman Allah Ta'ala:

 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[Annisa':3]

Makna ayat diatas: Jika kamu khawatir tidak  berlaku adil dalam menikahi istiri yang berstatus anak yatim,maka boleh kamu menikahi wanita-wanita lain, dua orang,  tiga orang atau empat orang istiri[5].

Kaitan hukum fiqh dengan poligami, poligami bisa hukumnya sunat, juga bisa makruh atau haram. Penjelasan hukumnya sebagai berikut:

1.      Apabila seorang suami berhajat kepada istiri kedua dengan alasan suami merasa kurang terpenuhi kebutuhan seksualnya dengan satu orang istiri, atau istirinya mengalami sakit atau tidak memungkinkan memperoleh anak dan suami menginginkan anak, dan menurut hematnya dia bisa berlaku adil terhadap istiri-istirinya, maka menikahi istiri lebih dari satu orang disunatkan. Sebab tindakannya mengandung maslahat secara syariat. Banyak diantara sahabat telah melakukan poligami dizamannya.

2.     Apabila menikahi wanita lebih dari satu oarang bukan karena kebutuhan dimaksud dan hanya sebatas memenuhi kebutuhan seksual,  pada waktu yang sama dia merasa tidak akan adil diantara istiri-istirinya, maka poligami ketika itu hukumnya makruh, sebab tidak ada alasan yang logis untuk melakukan itu secara syariat. Sudah cukup jelas dalam hadis Nabi SAW:

”دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَي مَا لَا يَرِيْبُكَ "                                                            

Artinya:"Tinggalkanlah sesatu yang meragu-ragukanmu ,(dan ambillah)     yang tidak meragu-ragukanmu".[Hadis riwayat Tirmidzy:2520]

3.      Dan apabila menurut dugaannya dan percaya dia tidak akan dapat berlaku adil terhadap istiri-istirinya disebabkan kefakirannya atau dia tidak percaya terhadap dirinya akan sanggup berlaku adil terhadap mereka, maka ketika itu hukumnya haram, sebab tindakannya mengandung dharar (membahayakan orang lain). Rasulullah telah melarang melakukan tindakn dharar atas orang lain:

"لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ"                                                            

Artinya:"Janganlah engkau membahayakan dan saling merugikan".[Hadis Riwayat Malik, Dar-Quthni dan Ibnu Majah, Hadis hasan][6].

 

Apakah yang dimaksud adil pada ayat diatas?

Keadilan yang dimaksud Islam terhadap istiri-istiri sebenarnya keadilan dan kesamaan dalam pembahagian nafkah, tempat tinggal, giliran bermalam (bukan sama dalam membagi giliran jimak), mua'syarah yang baik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap istiri.

            Adapun perasaan cinta didalam hati yang tidak menimbulkan kezaliman secara lahiriyah (amaliyah) terhadap salah seorang diantara istiri, bukanlah bahagian dari sendi keadilan yang dituntut untuk dijaga didalam hati diantara istiri-istiri, sebab seseorang tidak akan bisa mengontorol perasan cinta yang ada didalam hatinya. Dan inilah menurut ulama makna ayat:

وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿١٢٩﴾

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[An-Nisa':129].

            Kira-kira makna ayat tersebut:"Kamu tidak akan bisa mengontrol perasan cinta kamu dengan adil,maka janganlah kamu berlaku cendurung kepada salah seorang diantara mereka[7].

 

II. WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI.

            Ulama telah menyebutkan tiga hikmah kenapa mereka haram dinikahi:

1.      Karena alasan penghormatan yang tinggi kepada mereka seperti ibu dan nenek

2.      Alasan perasaan, karena jiwa yang sehat tidak menerimanya seperti anak sendiri atau cucu.

3.      Karena menjaga garis keturunan keluaraga agar teratur.

 

Wanita-wanita yang haram dinikahi ada dua bahagian:

1.      Haram selama-lamanya

2.      Haram dalam batas waktu tertentu

 

Apa sebab-sebab haram selamanya?

            Sebab-sebab diharamkan menikahi wanita  selama-lamanya ada tiga sebab:

1.      Sebab adanya kekirabatan dekat

2.      Sebab mushaharah (adanya ikatan persaudaraan karena nikah)

3.      Sebab menyusui/susuan.

 

Yang haram dinikahi sebab adanya kekirabatan ada tujuh:

1.        Ibu dan nenek dari pihak ayah dan ibu.

2.        Anak perempuan, cucu dan cicit.

3.        Saudari kandung, sebapak dan seibu.

4.        Anak perempuan saudara kandung, sebapak dan seibu.

5.        Anak perempuan saudari kandung, sebapak dan seibu.

6.        Bunde (Bibi) kandung, sebapak dan seibu,bundenya bapak dan bundenya ibu.

7.        Mak cik adek ibu kandung, sebapak, seibu, makciknya bapak dan makciknya ibu.[8].    

 

Yang haram dinikahi sebab mushaharah ada empat:

1.      Istiri bapak (ibu tiri).

2.      Istiri anak (Menantu), istiri cucu dari anak laki-laki atau dari anak perempuan.

3.      Ibu istiri (Ibu mertua).

4.      Anak bawaan istiri (Anak tiri)[9].

 

Yang haram dinikahi sebab sesusuan ada tujuh:

1.      Ibu susu.

2.      Saudara perempuan sesusuan.

3.      Anak saudara sesusuan.

4.      Anak saudari sesusuan.

5.      Bunde (bibi) sesusuan dengan ayah kandung (ayahnya menyusu dengan wanita lain).

6.      Makcik sesusuan dengan ibu kandung.

7.      Anak susuan dari istiri sendiri.

 

Begitu juga diharamkan bagi ibu susu:

1.      Bapak anak susuannya.

2.      Anak susunya sendiri.

3.      Cucu dari anak susunya sendiri.

4.      Saudara dari anak susuannya.

5.      Paman(Adek ibu) dari anak susunya.

6.      Paman (adek bapak) dari anak susunya.

 

Demikian juga diharamkan disebabkan mushaharahnya anak susu (dalam hal ini anak susu di posisikan seperti anak kandung sendiri):

1.        Ibu susu bagi istiri sendiri (menempati ibu mertua ).

2.        Anak perempuan susu istiri sendiri (menempati anak).

3.        Saudari susu ibu tiri(menempati bibi).

4.        Istiri anak susu bagi istiri (menempati menantu)[10].

 

Yang haram dinikahi dalam batas waktu tertentu:

            Yang haram dinikahi dalam batas tertentu, maksudnya setelah hilang ‘illat (alasan) yang menghalanginya maka kembali boleh dinikahi, yaitu ada tujuh macam:

1.      Menyatukan (menjadikan) dua bersaudari sebagai istiri.

2.      Menyatukan istiri dengan bibinya baik bibi dari bapak atau dari ibu,. juga diharamkan menyatukan istiri dengan kemanakannya baik kemanakan dari saudara atau dari saudarinya..Dalilnya hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari (4820) dan Muslim (1408) bersumber dari Abi Hurairah R.A:

قال رسول  الله (ص):"لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ المَرأَةِ وَخَالَتِهَا"                     

Artinya:"Tidak boleh menyatukan diantara istiri dengan bibinya, dan juga tidak boleh menyatukannya dengan makciknya".

3.      Menikahi wanita lebih dari empat, suami tidak boleh menikahi wanita kelima sebelum ia menceraikan salah satu istirinya dari yang empat. Dalilnya hadits Nabi SAW. Riwayat Abu Daud dari Qais Bin Al-Harits R.A:

 قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِيْ ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ (ص)، فَقَالَ النَّبِيُّ (ص):"اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا"

Artinya:"Berkata Qais Bin Al-Harits: Aku telah masuk Islam dan bersamaku ada delapan istiri, kemudian aku ceritakan kepada Nabi SAW. Lalu berkata Nabi SAW:Pilih empat diantara mereka".

4.      Menikahi wanita Musyrikah sehingga ia masuk Islam[11].

5.      Menikahi wanita yang sudah menikah dan belum cerai dengan suaminya[12].

6.      Wanita yang masih dalam masa 'iddah.

7.      Wanita yang sudah dijatuhi talak tiga, maksudnya suaminya tidak boleh kembali lagi menikahi mantan istirinya tersebut sehingga dia menikah lagi dengan laki-laki lain[13]..

 

Hukum nikah dalam Islam

Islam telah mendorong ummat manusia untuk membuat satu ikatan yang dikenal dengan nikah, pada semua ketentuan syariat memiliki tujuan maslahat dan manfaat, baik mashlahat duniawi begitu juga dengan maslahat ukhrawi. Rasululloh SAW telah menyebutkan wanita sebaik-baik yang memberi manfaat duniawi dalam hadis yang diriwayatkan imam Muslim nomor:1467,bersumber dari Sahabat Abdullah Bin Umar R.Am.                                                                                     

"اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا اَلْمَراَةُ الصَّالِحَةُ"                      

Artinya:"Dunia adalah sebaik-baik perhiasan(manfaat), dan sebaik-baik erhiasan dunia adalah wanita salihah"

           

            Dan Rasululloh SAW juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Attirmidzy nomor:1080, bersumber dari sahabat Abi Ayyub R.A.

"اَرْبَعٌ مِّنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ:اَلْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ"

            Artinya:"Empat macam diantara sunnah (jalan) para rasul:rasa malu, memakai minyak wangi,   siwak, dan nikah"

 

A. Hikmah-hikmah yang terkandung dalam nikah:

1.      Memenuhi panggilan fitrah manusia yang telah Allah karuniakan untuk manusia.

2.      Mengembangkan komunitas Islam dengan keturunan yang baik-baik dan generasi yang berakhlak mulia.

3.      Menciptakan ketenteraman jiwa dan membangun ruh agama didalam jiwa.

4.      Menjaga manusia dari distorsi akhlak dan moral.

5.      Menjaga kesucian keturunan dan identitas diri manusia dari percampuran yang tidak jelas.

6.      Memperluas hubungan kekirabatan dan membangun rasa simpatik dan saling tolong-menolong diantara keluarga[14].

 

HUKUM NIKAH DALAM PROSFEKTIF FIQH

Hukum nikah ditinjau dari hukum fiqhnya ada lima:

a.      Mustahab (Disunatkan), apabila seseorang berhajat untuk nikah dengan artian dia menginginkan nikah tersebut, disunatkan bagi dia apabila memiliki belanja, mahar dan sanggup menafkahi kehidupan dirinya, istirinya dan keluarganaya, kemudian pada waktu yang sama dia tidak takut jatuh kepada perzinaan.

b.      Sunnat meninngalkannya, maksudnya melakukannya  khilaful aula.Dalam hal ini dia berhajat untuk nikah (namun tak takut jatuh kepada maksiat) akan tetapi tidak sanggup untuk menyanggupi nafkah nikah dan nafkah kelurganya. Dia dituntut untuk menyibukkkan diri dengan ibadah agar pikirannya tidak cendurung kepada keinginan nikah.

c.       Makruh melakukannnya ,yang demikin itu apabila dia tidak memiliki nafsu untuk nikah, sebab fitrahnya sendiri tidak punya selera untuk nikah atau karena penyakit yang di deritanya, seperti kelainan jiwa,juga dia tidak memiliki kesanggupan untuk menafkahi keluarga dan nafkah nikah.

d.      Lebih afdhal meninggalkannya,jika tidak sanggup memberikan nafkah dan tidak ada keinginan untuk nikah, bukan karena ada kelainan jiwa,namun karena dia mensibukkan diri dengan ibadah, atau karena sibuk menuntut ilmu,  menuntut ilmu lebih utama dibandingkan nikah dalam keadaan seperti ini.

e.      Lebih afdhal melakukannya apabila dia tidak sibuk dengan ibadah juga tidak menuntut ilmu, disamping itu dia memiliki belanja untuk kawin dan nafkah kawin,walaupun dia tidak berkeinginan untuk nikah.

 

Kapan wajib dan kapan haram nikah?

            Wajib nikah apabiala dia sanggup untuk nikah,  juga dia sangat berkeinginan untuk nikah dan takut jatuh kepada perzinaan  (fahisyah). Karena menjaga diri dari yang haram hukumnya wajib,  dan penjagaan itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan nikah.

            Diharamkan seseorang nikah jika dia tidak mungkin memenuhi nafkah batin karena penyakit yang tidak mungkin sembuh kembali, dan tidak sanggup sama sekali untuk memberi nafkah zahir[15].

 

Imej dan perhatian Islam terhadap keluarga;

            Perhatian Islam terhadap keluarga cukup banyak, dan perhatian itu dapat jelas di lihat dari beberapa aspek yang merupakan imej islam di tengah-tengah masyarakat, diantaranya sebagai berikut:

1.   Adanya perintah untuk mengikat jalinan keluarga melalui perkawinan.

2.   Adanya pensyariatan  hak dan kewajiban diantara suami istiri dan perkawinan itu di tandai dengan satu ikatan zahir yaitu diwajibkannya mahar dan nafkah kepada anak-anak dan keluarga.

3.   Mu'asyarah bil-ma'ruf satu kewajiban atas suami.

 

Islam juga mewajibkan para wanita untuk melaksanakan kewajibannya terhadap suami:

1.      Menaati suami pada hal-hal yang bukan maksiat.

2.      Wanita berkewajiban untuk tidak memasukkan seseorang kerumahnya tanpa seizin suaminya.Imam Nawawi berkata :"Tidak boleh bagi seorang laki-laki yang tidak disukainya masuk kerumahnya, juga tidak boleh duduk-duduk didalam rumahnya".

3.      Kewajiban wanita untuk menjaga harga diri suami dan menjaga hartanya.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :"اَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى خَيْرِ مَا يَكْنِزُ الرَّجُلُ؟ اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ الَّتِيْ اِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا اَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَاِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ "رواه أبو داود رقم:  1664  وصححه الحاكم فى مستدركه.      

Artinya:"Maukah kamu saya tunjukkan sebaik-baik  simpanan berharga seorang laki-laki?:Wanita yang salihah,yang mana apabila dia pandang suami dia merasa gembira, dan apabila di suruh dia menaati suaminya, dan apabila suaminya bepergian dia menjaga dirinya dan harta suaminya".[H.R.Abu Daud Nomor:1664,dan di sahehkan oleh imam Hakim dalam kitab Mustadraknya]

 

Syari'at menjaga hak-hak anak dan kedua orang tua:

1.      Islam telah mewajibkan nafkah anak- anak terhadap bapak.

2.      Kewajiban membimbing anak agar beradab dan memberikan pendidikan kepada mereka tentang kewajiban ibadah dan akhlak.

Rasululloh SAW. Telah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Al-Dailami:

أَدِّبُوْا اَوْلَادَكُمْ عَلَي ثَلَاثِ خِصَالٍ:حُبُّ نَبِيِّكُمْ ,وَآلِ بَيْتِهِ,وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Artinya:"Ajari kamulah anak kamu tiga perkara:Mencintai Nabi Kamu,Dan mencintai Ahli baitnya,dan ajari kamu mereka baca Alquran"

 

Kewajiban seorang anak terhadap orang tua:

1.      Kewajiban anak untuk menaati kedua orang tua, dan berbuat baik kepada keduanya.

2.   Memberi nafkah kedua orang tua, jika kedua-duanya dalam keadaan faqir miskin dan  si anak memiliki kehidupan yang layak. Sebagaiman Rasululloh SAW. Bersabda dalam riwayat Abu Daud nomor: 3528 dan 3530,juga diriwayatkan At-Tirmidzy nomor:1358:

إِنَّ  مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ"               

,وقال (ص) أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ , إِنَّ اَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ , فَكُلُوْا مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ"           

Artinya:"Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan laki-laki adalah hasil usahanya, dan anaknya adalah diantara hasil usahanya"

Dan bersabda Rasulullah SAW:"Engkau dan hartamu untuk anakmua, sesungguhnya anak-anak kamu diantara uasaha kamu yang paling baik, maka makanlah dari sebaik-baik usaha kamu".

 

F: Hukum menikahi seorang non muslim (kafir)

            Dalam masalah menikah dengan non muslim ada dua pembahasan penting dalam hal ini yaitu:

 

- Pertama : Seorang wanita muslimah menikahi laki-laki non muslim

            Seorang wanita muslimah dengan absolute tidak sah menikah dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam, apakah itu Yahudi, nasrani, Kristen, katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, Sinto, Pelbegu dan Komonis atau dari seluruh agama yang ada diluar Islam. Apabila terjadi nikah diantara seorang wanita muslimah dengan penganut agama manapun, maka nikahnya bathil atau tidak sah, konsekwensinya: Tidak berlaku baginya pernikahannya sebagai nikah yang sah menurut Islam, anak yang lahir darinya tidak dianggap sebagai anak si laki-laki, mereka juga tidak saling mewarisi[16].  Sangat perlu kehati-hatian bagi wanita dalam memilih calon suami, tidak hanya melihat kegantengan, kekayaan atau kedudukan. Karena akibatnya sangat buruk jika pernikahannya tidak sah. Hubungan pernikahan melebihi daripada hanya menyenangkan bathin, ketenangan jiwa apabila didasari beberapa kesamaan:

1.       Kesamaan akidah dan agama.

2.       Kesamaan cara berpikir.

3.       Kesamaan visi dan misi dalam rumah tangga.

4.       Kesamaan dalam memahami hak dan kewajiban.

5.       Kesamaan dalam memahami yang haq dan yang bathil, memahami amar ma’ruf dan nahi munkar.

6.       Kesamaan berpikir dalam menjalankan dakwah Islam.

7.       Kesamaan imege dalam menjalankan tugas beragama mulai dari berpakaian, cara hidup dan cita-cita.

 

Sebagaimana Allah berpirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[17].

 

-          Kedua : Seorang laki-laki muslim menikahi wanita non muslimah

Dalam hal ini wanita non muslimah  ada dua golongan:

1.            Wanita kafiroh Kitabiyah, Kafiroh Kitabiyah ialah: Mereka yang beriman kepada kitab samawi dan mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu: Mereka yang beragama Yahudi dan Nashrani.

Hukum menikahi wanita Kafiroh Kitabiyah ada dua penjelasan: Pertama: Bila Kafiroh Kitabiyahnya masih meyakini keesaan Allah dan tidak mensekutukan Allah dalam bentuk apapun maka hukumnya boleh bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita Kafiroh Kitabiyah seperti ini dengan dua ketentuan: pertama: Si suami muslim yakin bahwa dia yang memegang kendali pada rumah tangganya, Kedua:  Yakin bahwa anak-anaknya tidak akan terpengaruh dengan agama ibunya dan itu sangat sulit untuk dikendalikan, karena secara fisikologis anak-anak lebih banyak terpengaruh dengan karakter ibunya. Oleh sebab itu menurut penulis menikahi wanita kafiroh Kitabiyah dalam golongan seperti ini, seharusnya tidak boleh berlaku pada Negara atau negeri yang masih banyak wanita muslimahnya, yang tentu lebih baik dan lebih nyaman ketimbang membuat tantangan di hadapan diri sendiri, atau mencari jalan untuk menikahi wanita kafiroh Kitabiyah seperti ini boleh jadi bisa terjadi bagi yang tinggal disatu negeri yang sulit menemukan wanita muslimah. Kafir Ahli Kitab zaman sekarang sudah sangat sulit menemukannya bukan hanya di Indonesia, tapi di Negara lain seperti Timur Tengah sudah hampir mustahil menemuinya[18], adapun kafiroh ahli Kitab di Indonesia sudah tergolong Ahli kitab yang sudah musyrik maka haram menikahi mereka. 

Kedua: Wanita Kafiroh Ahli Kitab yang sudah terkontaminasi dengan kemusyrikan, seperti menjadikan anak bagi Alloh yang diyakini oleh orang yahudi Zionis dan penganut Kristen sekarang yang mayoritasnya penganut Katolik. Penganut Yahudi mengatakan Alloh telah menjadikan “’Uzair” anak Alloh dan penganut Kristen mengatakan bahwa Nabi Isa anak Alloh.

Oleh karena itu penganut Yahudi maupun Kristen yang ada di dunia dan di Indonesia sudah tergolong Kafiroh Musyrikah yang tidak sah dinikahi oleh laki-laki muslim[19], dan itulah yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan yang dipedomani oleh umat Islam Indonesia. Walaupun ada perbedaan pendapat ulama tentang  boleh dan tidak bolehnya laki-laki muslim nikah dengan Ahli Kitab namun demikian MUI pusat telah mengeluarkan fatwa haram (tidak sah) nikah dengan non muslim secara keseluruhan, baik wanitanya Kristen, Yahudi atau yang lainnya dengan pertimbangan “lebih banyak bahayanya ketimbang manfaatnya”. Kutipan fatwanya sebagai berikut:

Memutuskan,

Menfatwakan:

1)      Perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram     hukumnya.

2)      Seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya. Majelis Ulama Indonesia menfatwakan perkawinan tersebut haram[20].

 

Jakarta,17 Rajab 1400 H/ 1 Juni 1980 M

DEWAN PIMPINAN /MUSYAWARAH NASIONAL II

MAJELIS ULAMA INDONESIA

 

                     Ketua                                          Sekretaris

 

 

              Prof. Dr. HAMKA                             Drs. H. Kafrawi

 

2.         Wanita kafiroh musyrikah, (Seluruhnya tidak sah dinikahi)

Yang dimaksud dengan kafiroh Musyrikah, mereka itu yang tidak meyakini agama samawi seperti: Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, Sinto, Pelbegu, Komunis atau yang disebut dengan penganut Paganisme (penyembah berhala) atau mereka yang tidak mengakui agama dan kitab-kitab samawi. Dengan mutlak jenis golongan ini sama sekali tidak boleh dinikahi setiap muslim, jika terjadi nikah maka nikahnya dipastikan bathil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FIQH UPACARA PELAKSANAAN AKAD NIKAH

 

Rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya akad nikah

I.      Rukun-rukun sahnya nikah ada empat yaitu:

Pertama: Lafadz ijab dan Kabul (sebutan serah terima) dengan lafadz “nikah atau kawin” sekurang-kurangnya : “Aku nikahkan atau aku kawinkan putriku …… kepadamu”, langsung di terima calon suami dengan sebutan: “ Aku terima nikahnya”. Adapun seandainya calon suami menjawab dengan: “Aku terima” maka tidak sah, sebab tidak disebutkannya : Nikahnya atau kawinnya. Adapun menyebutkan mahar pada akad nikah hukumnya tidak wajib , namun sunat disebutkan maharnya dalam akad baik mahar secara lunas atau hutang sebagian atau hutang seluruhnya (mahar muqoddam atau muakhkhor).

 

Tidak sah (haram)nikah kontrak (nikah mut’ah)

Nikah kontrak (nikah mut’ah) ialah nikah yang dalam ijab kabulnya dinyatakan nikahnya hanya dalam batas waktu tertentu, seperti: Si laki-laki hanya ingin menikahi wanita selama satu tahun atau dua tahun, setelah lewat  waktu yang ditentukan maka dengan sendirinya mereka berpisah. Nikah sejenis ini hukumnya haram dan telah diharamkan selamanya sampai hari kiamat. Dalilnya sabda Nabi Sholollohu ‘alaihi wasallam:

ما رواه علي رضي الله عنه أنه قال لابن عباس رضي الله عنهما:" إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُوْمِ الْحُمْرِ الْأَهْلِيَّةِ، زمن خيبر"[21].

Telah meriwayatkan Ali Rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya ia berkata bagi Abdullah Bin Abbas Rodhiyallohu ‘anhuma:”Sesungguhnya Nabi Shollollohu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah (kontrak) dan melarang memakan daging keledai kampung pada perang khoibar”.

Kedua           : Ada dua calon suami dan calon istiri dengan syarat kedua calon mempelai: Kedua-duanya dalam status halal nikah, jelas siapa calon suami atau calon istiri, salah satu calon atau kedua-duanya tidak dalam sedang berihrom haji atau ihrom umroh, dalam ijab Kabul calon suami memenuhi syarat untuk menerima ijab Kabul yaitu: Baligh, akil dan mampu untuk melakukan ijab Kabul.

Ketiga           : Hadirnya wali bagi calon istiri, seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri . Dijelaskan dalam sabda Nabi Shollollohu ‘alaihi wasallam:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال روسول الله صلى الله عليه وسلم:" لَاتَنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَاتَنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا". [22]

Bersumber dari Abi Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasululloh Shollollohu ‘alaihi wasallam:”Tidak boleh seorang wanita menikahkan wanita lain, dan juga seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri”.

وروى ابن مسعود رضي الله عنه: ان النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَانِكَاحَ اِلَّا بِوَلِيٍّ وَّشَاهِدَيْ عَدْلٍ".[23]

            Dan telah meriayatkan Abdullah Bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu: Sesungguhnya Nabi Shollollohu ‘alaihi wasallam bersabda:”Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.

Kenapa di syari’atkan adanya wali nikah?

 

Jawabannya: Untuk menjaga wanita dan memproteksi dirinya agar tidak terjebak kepada kesalahan, karena wanita lebih mudah terperdaya dan pada umumnya laki-laki lebih kuat dan lebih bertanggung jawab dalam memelihara wanita. Oleh sebab itu seandainya terjadi nikah tanpa ada wali maka nikah tersebut tidak sah. Sebagaimana dalam sabda Nabi Shollollohu ‘alaihi wasallam, bersumber dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha:

"أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، فَإِنِ اشْْتَجْرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ لِمَنْ لَّا وَلِيَّ لَهُ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهُ مَهْرُهَا، بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا"[24].

“Siapa saja diantara wanita menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya bathil (tidak sah), nikahnya bathil, nikahnya bathil, maka jika mereka (wanita dengan wali) berselisih (bermusuhan) maka sulthan (wali hakim) menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka jika suami telah mensetubuhinya maka dia berhak menuntut maharnya, akibat telah dihalalkannya kemauannya”.

 

Keempat: Hadirnya kedua saksi disyaratkan kedua saksi harus beragama Islam, dua laki-laki, maka tidak diterima kesaksian dua orang wanita, demikian juga tidak diterima kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita, kedua saksi harus yang sudah balig akil, disyaratkan juga kedua saksi harus memiliki sifat adil, maka tidak dapat dijadikan saksi yang fasik (yang terang-terangan melakukan dosa besar atau senantiasa melakukan dosa kecil), kedua saksi juga harus yang mampu bicara, mampu melihat dan mampu mendengar.

Sah menjadi saksi kedua anak kandung bagi ibunya, yang menjadi calon istiri bagi laki-laki lain (calon bapak tirinya),  atau kedua kakeknya bila tidak bertindak sebagai wali ketika itu[25].

 

Hukum akad nikah” dalam Islam

            Hukum  “akad nikah” dalam Islam merupakan satu keharusan (wajib), dan konsekwensi dari akad tersebut menghasilkan “ hak dan kewajiban” bagi setiap pasangan suami istiri. Bagi suami ada hak dan kewajiban terhadap istiri, demikian juga istiri memiliki hak dan kewajiban terhadap suami. Setelah terlaksana akad nikah maka suami mengambil alih tanggung jawab atas istirinya. Diantara hukum yang berlaku atas suami  istiri setelah terlaksana akad nikah sebagai berikut:

-                                        Pertama:Ditetapkannya hukum suami istiri yang sah, setiap suami dan istiri wajib mematuhi hukum yang berlaku dalam hubungan suami istiri, kedua belah pihak wajib saling mendengar, berlakunya hukum haramnya “mushoharoh” (suami diharamkan menikahi kedua mertuanya begitu juga dengan istiri walaupun belum pernah mereka melakukan hubungan intim) dan berlakunya hukum kewarisan bagi kedua pasangan selama mereka masih berstatus pasangan suami istiri atau istiri belum diceraikan dengan “talak bain”.

-                                        Kedua          : Kewajiban suami terhadap istiri setelah selesai akad:

1.      Suami wajib membayar mahar bagi istiri sama ada kontan atau dibayar belakangan.

2.      Suami wajib memberikan nafkahbathin maupun nafkah zahir  bagi istiri dalam semua bentuk kebutuhan berupa makan, pakaian, tempat tinggal, biaya berobat atau biaya yang masuk dalam kategori primer dan skunder atau biaya darurat .

-          Ketiga : Kewajiban istiri terhadap  suami setelah akad nikah:

1.      Kewajiban istiri menuruti suami dalam hal tarbiah adab dan akhlak begitu juga dalam hal amar ma’ruf dan nahi munkar sebab suami sebagai pemegang kendali rumah tangga.

2.      Istiri wajib mematuhi suami dalam koridor yang halal atau mubah dalam syariat Islam.

3.    Istiri wajib melakukan tugas-tugas dalam rumah tangga.

4.    Istiri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami kecuali dalam darurat tertentu.

5.    Istiri tidak berhak menghalang-halangi suami untuk bersenang-senang dengannya kecuali ada alasan yang sesuai syari’at seperti datangnya haidh[26].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

WALI HAKIM DAN QODHI SULTHON DALAM PROSFEKTIF FIQH

 

Mukaddimah

            Pada akhir-akhir ini praktek prostitusi semakin marak, rumah-rumah kos terselubung semakin menjamur, semi lokalisasi kejahatan terorganisasi semakin memprihatinkan. Tapi dibalik itu semua ada praktek yang belum terungkap secara terang benderang yang mengatas namakan dirinya wali hakim atau wali al- Sultan.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara pengangkatan wali hakim atau wali sultan?, Apa saja syarat-sayrat sah menduduki sebagai wali hakim?, Kapankah  hak perwalian berpindah kepada wali hakim? Apakah pengertian wali muhakkam (mengangkat seseorang sebagai wali hakim bagi dirinya)?, Bagaimana kedudukan wali sultan atau wali hakim?.

Pertanyaan-pertanyaan terdahulu perlu dikupas dengan jelas dan terang agar masyarakat tidak terjebak dengan praktek legalisasi pernikahan dengan kedok “Wali hakim”.

Makna wali ditinjau dari segi lughah datang dengan makna “mahabbah” dan “ Nushrah” sedangkan menurut tinjauan syariat:” Menetapkan satu keputusan tetap dengan ucapan atau shighah terhadap orang lain yang tidak memiliki kuasa atas dirinya, sama ada ia suka atau tidak”.

`tBur ¤AuqtGtƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¨bÎ*sù z>÷Ïm «!$# ÞOèd tbqç7Î=»tóø9$# ÇÎÏÈ  

“Dan Barangsiapa mengambil Alloh, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang[27].  (QS. Al-Maidah: 56).

            Dari defenisi diatas Qadhi sultan atau wali hakim memiliki makna dan tujuan yang sama, hanya saja dikalangan masyarakat wali hakim lebih populer di bandingkan dengan Qadi sultan.

#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  

" Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.(QS: Annisa: 58)

Pengertian: Qadhi sultan dan Wali Hakim  .

            Qadhi berasal dari kata qodho – yaqdhi – qodhoan – dalam tinjauan bahasa dapat diartikan dengan makna hakim, sedangkan kata qadhi merupakan kata sifat (isim fail) yang berarti yang memutuskan hukum. Kata sultan berasal dari kata : salatha - yaslithu – sulthonan dengan makna penguasa.

            Qadhi dalam kajian syariat:” Penyelesaian diantara dua pihak bertikai sesuai dengan syariat”.

* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) ………4 ÇËÌÈ  

“dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”[28].          

Dikalangan masyarakat Indonesia penggunaan qadhi dengan sebutan tuan qadi sama dengan penghulu atau asisten pencatat nikah. Penggunaan itu sebenarnya salah jika ditelusuri dari makna sebenarnya dari kata al-Qodhi. Karena pada dasarnya seorang qadhi (dengan makna yang dipahami sekarang)  belum bisa bertindak sebagai wali nikah.

Cara pengangkatan wali hakim atau wali sultan

            Dijelaskan dalam kitab: al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 237 :” Karya Imam Gozali Rahimahulloh: Sesungguhnya mengangkat wali atau qadhi hukumnya adalah fardhu kifayah, karena mentauliyah (mengangkat) seorang hakim atau qadhi mengandung maslahat bagi semua orang, namun memegang kedudukan sebagai hakim atau qadhi bukanlah hal yang enteng dan mudah, pada jabatan itu cukup membahayakan bagi dirinya, jika ia tidak yakin benar bahwa ia sanggup mengemban tugas. Mengemban tugas sebagai wali hakim atau sultan tanpa meminta adalah tindakan terpuji, dan menuntut untuk menjadi hakim sangat tercela. Jika ada yang lebih baik dari pada dirinya maka haram ia meminta jabatan itu[29]. 

 

Apa saja syarat-syarat sah menduduki sebagai wali hakim?,

            “ Kriteria seorang qadhi atau hakim harus seorang yang merdeka (hurriyah), laki-laki, memiliki kafasitas ilmu pada tingkat mujtahid, memiliki wawasan berpikir luas (bashiran), adil, baligh. Maka tidak boleh seorang wanita menjadi qadhi (hakim), seorang buta, anak-anak, fasik, bodoh dan muqollid (kafasitas ilmu terbatas). Seorang yang mahir dalam satu aliran madzhab saja maka ia boleh berfatwa melalui fatwa imam yang diikutnya. Seandainya kriteria-kritera tersebut sulit untuk didapat, pada zamannya diwarnai kefasikan, dalam keadaan darurat  penguasa boleh mengangkat wali hakim walaupun wali hakim yang diangkat tidak mencapai derajat mujtahid. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 237 )[30].

 

Kapankah  hak perwalian berpindah kepada wali hakim?

 

            Perpindahan wali kepada wali hakim tidak dapat dilakukan dengan keinginan pihak kedua memplai atau keinginan pihak tertentu yang menganggap dirinya sebagai wali hakim. Para ulama mujtahid dan imam telah menjelaskan secara terang benderang kapan bolehnya hak perwalian berpindah kepada wali hakim. Berkata Imam Syafi’I Rahimahullohu Ta’ala :” Seorang wali sultan (wali hakim) boleh menikahkan wanita balighah hanya pada ketika walinya tidak ada sama sekali, atau walinya enggan menikahkan perempuan mereka yang sudah mencapai baligh akil dengan seorang laki-laki kufu’ atau setara jika ia minta untuk dinikahkan (‘adhol).(al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 215. Dr. Wahbah Zuhaily[31]).

.....atau walinya sedang ghaib (tidak tau keberadaannya). (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 11)[32].

            Imam Muhyiddin Abi Zakariya Bin Syaraf al-Nawawi wafat:631-676 H Rahimahullahu Ta’ala berkata:” Wali hakim (wali sultan) tidak boleh bertindak sebagai wali bagi wanita lain jika wali kirabatnya masih berada jarak dibawah dua marhalah[33]”.( Minhaju al-Thalibin wa al Umdat al- Muftin hal: 377).

Syekh almarhum Dr. Wahbah Zuhaily berkata:” Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa wali sultan pengganti wali nikah, jika semua wali tidak ada sama sekali atau karena semua wali ‘adhol (enggan menikahkan), berdasarkan hadis Aisyah R.Ah:” Sultan adalah menjadi wali bagi yang tidak ada walinya”. Maksud sultan disini adalah : Imam atau hakim atau wakil dari imam[34]”. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily).

Ulama telah membagi wali kepada dua bagian yaitu: Wali mujbir dan wali ghoiro Mujbir. Makna wali mujbir ialah: Wali tersebut memiliki wewenang untuk memaksa anak perempuannya yang masih bikir (perawan) yang akan menikah, dan mereka itu adalah: Ayah kandung kemudian kakek kandung dan ketiga: Laki-laki yang memerdekakan hambanya. Dan ghoiro mujbir selain dari yang tiga tersebut.

Urutan wali menurut mazdhab Syafi’I sebagai berikut:

1.      Ayah kandung, (mujbir)

2.      Kakek kandung (mujbir jika tidak ada ayah kandung)

3.      Saudara-saudara kandung,

4.      Saudara-saudara sebapak,

5.      Anak saudara kandung,

6.      Anak saudara sebapak,

7.      Paman kandung,

8.      Anak paman kandung,

9.      Anak paman sebapak,

10.  Kemudian seluruh ashobah pada pembagian warisan,

11.  Mu’tiq (yang memerdekakannya) (mujbir bagi yang dimerdekakannya menurut qoul yang paling ashoh,

12.  Kemudian ashobahnya sesuai urutan,

13.  Kemudian wali sultan (wali hakim) (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily,

14.  Terakhir dan paling lemah wali muhakkam jika para wali yang sebelumnya tidak ada.

 

Pengertian wali muhakkam (mengangkat seseorang sebagai wali hakim bagi dirinya)

            Wali muhakkam dapat diberlakukan jika seorang wanita yang ingin menikah tidak memiliki wali sama sekali atau dia tinggal disatu tempat yang tidak memiliki aktifitas pemerintahan, demikian juga jika ia tidak memungkinkan untuk menjangkau wali hakim karena kediamannya sangat terpencil.

            Berkata Imam al-Qurthubi: Dan apabila keberadaan seorang wanita tinggal disatu tempat yang tidak memiliki penguasa dan tidak memiliki wali sama sekali, maka ketika itu ia boleh menyerahkan perwaliannya kepada orang yang ia percayai dari tetangganya untuk menikahkannya[35]. (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120 merujuk kepada al-Jami’ Li ahkam al-Quran hal 79 juz 3, Sayyid Sabiq).

            Demikian juga mazdhab imam Malik Rahimahulloh Ta’ala: wanita yang lemah tidak memiliki wali tidak memungkinkan untuk menemu Qadi sultan atau wali hakim maka yang bertindak sebagai walinya adalah orang-orang islam lainnya.

            Dan berkata imam Syafi’I rahimahullahu ta’ala:” Apabila ada seoarang wanita dalam satu perjalanan jauh (Seperti berada di atas kapal laut bersama penumpang lainnya) dia tidak memiliki wali dan - tidak ada qadi sultan atau wali hakim- maka ia boleh  mengangkat seorang laki-laki sebagai walinya untuk menikahkannya, sebab keadaan itu termasuk dalam pengertian tahkim atau muhakkam yang menempati posisi wali hakim[36]. (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120-121, Sayyid Sabiq).

            Para ulama fiqh telah mengurutkan hak perwalian sesuai urutannya, jika urutan tersebut dilanggar maka nikahnya tidak sah, dan wali muhakkam berada pada urutan terakhir sesudah wali hakim atau wali sultan.

Al- Allamah syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Milibari dalam kitabnya Fathul Muin Bi Syarhi Qurrot al-‘Ain  hal: 104. urutannya berpindah kepada wali hakim sebagai berikut:

1.       Jika semua wali nasab dan ashobah tidak ada, atau walinya ghaib, jauh dan sulit untuk dijangakau (disini perlu kajian dengan dikaitkannya dengan sulit untuk dijangakau, sekarang sudah banyak kemudahan walaupun sudah melewati jarak dua marhalah, maka jika jarak tempuh yang sangat jauh sekarang sudah mudah diakses maka illat jarak dua marhalah dapat diabaikan, sebagai tindakan preventif  illat dua marhalah dapat diabaikan, agar tidak sesuka wali hakim mengarahkan pernikahan kepada wali hakim apabila walinya berada pada jarak dua marhalah),

2.       Atau ada wali nasab tinggal di satu tempat namun tidak mungkin hadir seperti ada ancaman terhadap dirinya walaupun jaraknya dekat, 

3.       Atau wali hilang dan tidak jelas apakah masih hidup atau tidak, dan pada saat itu tidak ada wali nasab lainnya sama sekali,

4.       Atau terjadi adhol, walinya enggan untuk menikahkannya,

5.       Jika urutan sebelumnya tidak ada maka pindah kepada wali hakim, dan ke

6.       Jatuh kepada wali muhakkam jika wali hakim tidak ada sama sekali. 

            Kejadian yang mungkin terjadi seperti yang disebutkan Imam Qurthubi, Imam Malik dan imam Syafi’I sulit dikatakan terjadi dizaman sekarang ini, dan itu bersifat kasuistik, apalagi masyarakat yang tinggal di perkotaan seperti kota kisaran atau kabupaten Asahan tidak ada lagi namanya wali muhakkam dikarenakan wali hakim sudah tersedia dengan mudah dan semua orang tau kedudukannya. Jika wali muhakkam sangat sulit terwujud maka lebih tidak memungkinkan seseorang menganggap atau mengangkat dirinya sebagai wali hakim. Tindakan mengangkat dirinya sebagai wali hakam dalam kondisi sekarang merupakan tindakan illegal secara syar’I dan wajib menghentikannya. Apabila ia bertindak sebagai wali maka pernikahan itu bathil dan tidah sah sama sekali dan dianggap sebagai kejahatan yang sangat membahayakan bagi agama dan ummat.

            Berkata Imam Taqiyyuddin Abubakar Bin Muhammad al- Hushni al-Dimasyqi al-Syafi’i:” Inilah urutan yang telah kami sebutkan tentang para wali, jika ada urutan yang lebih dekat maka wali yang lebih jauh tidah boleh menikahkan, karena wali yang lebih dekat menempati ashobah pada warisan, maka jika seseorang menikahkan menyalahi urutan dan tertib wali tersebut, maka nikahnya tidak sah[37]. (Kifayat al-Akhyar fi  Halli Ghoyat al-Ikhtishor hal:477-478).

Kedudukan wali sultan atau wali hakim

Wali sultan adalah wali yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi, sedangkan wali hakim lebih cendrung dipahami sebagai perpanjangan tangan dari wali sultan, atau yang ditugaskannya sebagai wakilnya disuatu tempat dan wali sultan merupakan perpanjangan tangan dari al-Imam (pemimpin tertinggi). Di Indonesia sebutan wali sultan tidak begitu populer, sejauh ini dimasyarakat lebih dikenal dengan wali hakim.

            Jika wali sultan bertindak sebagai pengayom rakyatnya, maka ia tidak boleh tersembunyi atau bersifat rahasia umum, bahkan seorang wali harus diperkenalkan dimana dan bagaimana kedudukannya, baik wali sultan atau wali hakim harus diketahui oleh semua pihak, semua lapisan masyrakat. Namun sekarang untuk publikasi seorang wali hakim terlibih dalam wali hakim nikah sudah lebih mudah dikenal melalui kantor KUA setempat.

            Imam mujtahid Muhammad bin Idris al-Syafi’I rahimahulloh menjelaskan bagaimana dan dimana posisi seorang wali sultan, sebagai berikut:

1.      Kehadiran seorang wali hakim harus terlebih dahulu di publikasikan kekhalayak ramai sebelum ia menjalankan tugasnya sebagai wali hakim. Dan kedudukannya sebagai wali hakim haruslah disertai dengan tanda bukti pengankatannya atau dua saksi yang dipercaya.( Di zaman sekarang dikenal dengan SK pengangkatan).

2.      Seorang wali hakim harus lebih sering memeriksa dan mengamati perkara orang yang terkait dengan kasus hukum, jika ada yang terzalimi agar segara melepaskannya, begitu juga dengan kasus pelaku kejahatan agar segera diselesaikan dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. (poin kedua ini sekarang dikenal dengan hakim pengadilan).

3.      Seorang hakim diharuskan mengangkat seorang juru tulis atau panitra, demikian juga menyiapkan pembela dan penerjamah lebih dari satu orang , bersikap adil, punya harga diri (‘afif) dan tidak rakus dengan harta benda.

4.      Seorang hakim dituntut memposisikan diri pada tempat terhormat, memiliki aula majelis yang luas. Dan karakter seorang hakim  dituntut bersikap sabar pada kaondisi panas atau dingin dan sulit.

5.      Seorang qadi (hakim) tidak boleh memutuskan hukum dalam keadaan marah, dalam keadaan lapar atau dalam keadaan labil. Dalam setiap putusan dituntut untuk mengarsipkan  amar putusan.

6.      Sebelum melaksanakan tugas terlebih dahulu melakukan pertemuan denga para ulama fiqh dan selalu bermusyawarah agar terhindar dari tuduhan-tuduhan.

Seorang wali hakim dituntut untuk tidak membuat transaksi jual beli dengan sendiri atau melalui asisten pribadinya untuk menghindari rasa toleran dalam jual beli. Tidak dibenarkan menerima hadiah dari pihak-pihak bertikai, jika ia menerimanya maka tindakan itu termasuk haram. Dan lebih baik ia menghindar dari pemberian hadiah dari oarang yang sudah akrap selama ini dengannya dan biasa bertandang kerumahnya[38]. (al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 239/240).

            Imam Abi al-Hasan Yahya bin al-Khair Salim al-Imrani al-Syafi’I al-Yamani (489-558 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Bayan Fi al-Madzhaf al-Syafi’I  Jilid 13 hal: 11-13) : Manusia dalam masalah menjabat sebagai qadi atau wali hakim ada pada tiga kategori yaitu:pertama: Fardu ain, kedua: Haram untuk dijabatnya dan ketiga: Fardu kifayah.

Apabila seseorang memiliki kemampuan untuk ber ijtihad, amanah dan tidak ada yang mampu untuk menjabat kedudukan tersebut, maka wajib atasnya untuk menjabat sebagai hakim sebab hukumnya ketika itu jatuh menjadi fardu ain, dan wajib bagi imam untuk mengangkatnya sebagai qadi atau hakim. Seorang yang tidak mampu berijtihad atau keilmuannya terbatas, atau dianggap mampu untuk berijtid namun tergolong fasik, maka tidak boleh ia menjabat sebagai qadi, dan seandainya imam mengangkatnya sebagai qadi maka keputusannya tidak sah. Apabila ahli ijtihad dan memiliki sifat amanah lebih dari satu orang maka hukumnya fardu kifayah, dia boleh menjabat dan boleh juga ditinggalkannya jika sudah diemban yang setara dengannya[39].

Penutup dan kesimpulan

            Dari paparan terdahulu kita dapat simpulkan sebagai berikut:

1.       Mengangkat diri sendiri sebagai wali hakim tidak sah sama sekali, apa bila ia bertindak sebagai wali hakim maka akadnya bathil,

2.       Wali hakim dapat dijadikan sebagai wali, jika wali nasab atau wali qirabat tidak ada sama sekali,

3.       Pengangkatan wali hakim dilakukan dengan dua cara:

 

Pertama: pengangkatan melalui pemerintahan yang sah sebagai perpanjangan tangan dari imam atau wali sultan. sebagai landasan hukum hadis Nabi SAW:

عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:" أَيُّمَا إِمْرَأَةٌ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثَلاَثًا) ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجْرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لَاوَلِيَّ لَهُ" أخرجه الأربعة إلا النسائي وصححه أبوا عوانة وابن حبان والحاكم   بلوغ المرام من أدلة الأحكام 211-212

            “Siapa saja diantara wanita nikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil 3 x (tidak sah), jika (terlanjur) dukhul maka (wajib) memberinya mahar dengan sebab dia telah menghalalkan (mendukhul) farajnya, maka jika mereka (wali dan anak) bersengketa, maka wali sulthon wali bagi orang yang tidak memiliki wali[40].

 

Kedua: Pengangkatan yang dilakukan oleh ahlil halli wa al-Aqdi dan di publikasikan kepada seluruh masyarakat. Berlandaskan hadis Nabi SAW bersumber dari Abdullah Bin Amar:

َايَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يّكُوْنُوْنَ فِيْ فَلَاةٍ مِنَ الْاَرْضِ، اِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ". رواه الإمام أحمد

            “Tidah halal (tidak boleh) bagi tiga orang di tanah padang tandus dimuka bumi ini, kecuali mereka mengangkat amir salah seorang diantara mereka”[41].

وعن أبي سعيد :"إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِيْ سَفَرٍ ، فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ"رواه أبو داود . وقال ابن كثير: فيؤخذ من ذلك وجوب ولاية القضاء بطريق الأولى.

“Apabila kalian keluar tiga orang untuk musafir, maka hendaklah kamu mengangkat salah satu menjadi amir[42]”.

            Dan berkata Imam Ibnu Katsir: Maka diambil istinbat dari demikian akan wajibnya wali hakim bertindak sebagai wali adalah lebih utama.

4.  Orang yang tidak memiliki kafasitas keilmuan yang memadai di bidangnya, maka tidak layak diangkat menjadi wali hakim, syarat wali hakim harus memahami Alquran, hadis dan madzhab para ulama mujtahid.

5.  Wali muhakkam diberlakukan jika urutan dan tertib hak perwalian yang diatasnya  tidak ada, jika masih ada wali nasab, qirabat atau wali sultan/wali hakim kosong maka wali muhakkam tidak berlaku.

6.  Mengakui diri sendiri sebagai wali hakim kedudukannya sangat lemah dan tidak mendasar, bahkan tidak sampai ketingkat wali muhakkam.

7.  Tindakan wali hakim yang tidak resmi yang ada sekarang ini, telah membuka pintu perzinahan dan prostitusi dibalik bahasa wali hakim,  yang harus diberantas dan pernikahan yang telah dilakukannya telah melanggar hukum agama dan hukum negara, dan mereka wajib bertaubat dan mengulangi pernikahan mereka dengan wali yang sah. Anak keturunan yang terlahir dari hasil pernikahan wali hakim palsu adalah anak keturunan yang tidak sah dan paling rendah anak terdsebut  anak syubhat.

8.       Disinyalir ada oknum masyarakat yang tinggal dikota kisaran sekitarnya dan di kecamatan-kecamatan lain di Kab. Asahan, menganggap dirinya sebagai wali hakim. Dihimbau kepada masyarakat agar mewaspadai praktek perwalian palsu yang menamakan dirinya sebagai wali hakim, karena taruhannya merusak keturunan dan akan makin banyak anak yang tidak sah dari praktek tersebut. Wallahu A’lam Bi al-Showab.

 

 

TANYA JAWAB:

NO:

SOAL

JAWABAN

1.

Bolehkah suami memberikan wewenang kepada istiri untuk menalak dirinya sendiri?.

1. Hukumnya boleh, gambarannya ada tiga:

a. Dengan istilah tafwidh (penyerahan), seperti kata suami: Aku serahkan kepadamu Talakmu, jika engkau ingin menolak dirimu sendiri kamulah yang menenntukannya dan telah aku izinkan. Pada hal ini sah jika istiri langsung menjatuhkan talaknya terhadap dirinya, namun jika sudah melewati majelis dimana suami menyerahkan talaknya kepada dirinya, maka tidak sah lagi istiri menjatuhkan talaknya sendiri, seperti kata suami: Besok telah ku izinkan engkau menjatuhkan talakmu sendiru, dalam bentuk ini tidak jatuh talaknya walaupun istiri besoknya menjatuhkan talaknya sendiri[43].   Jika penyerahan talak itu mutlak tanpa batas maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Madzhab Hanbali mengatakan wewenang si itiri menjadi tanpa batas kapan saja dia mau mengeksekusi talaknya terserah dia (al-Mughni:8/288). Namun Imam Malik, Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat : Bahwa penyerahan talak kepada istiri secara mutak (tanpa batas waktu) hanya jatuh ketika masih berada di majelis (tempat diucapkan oleh suami penyerahan) dan jika mereka telah keluar dari lokasinya maka istiri tidak berwenang lagi untuk menjatuhkan talaknya sendiri. (al-Mughni:8/288).

b. Mewakilkan (tawkil) talaknya kepada istirinya, seperti: Aku telah mewakilkan talakmu kepada dirimu sendiri kapanpun engkau mau. Dalam hal ini juga sah bagi suami untuk mewakilkan talaknya kepada istirinya, boleh tanpa batas dan boleh juga dengan berbatas waktu, bila sudah lewat batas yang diberikan kepada istiri maka batal wewenangnya dengan sendirinya. Hal mewakilkan talak kepada istiri bisa dibatalkan oleh suami kapan ia menghendaki pembatalan, berbeda dengan tafwidh atau penyerahan, dia tidak sah membatalkannya lagi.

c. Talak berkait (mu’allaq), disebut juga dengan talak ta’kliq, maknanya: Suami mengkaitkan talaknya dengan satu perbuatan. Imam Al-Rofi’i memberkan gambaran seperti ini: Terkadang istiri suka berseberangan dengan suami, namun suami tidak mau menjatuhkan langsung talaknya karena talak paling dimarahi Alloh walaupun itu halal, lalu suami mengkaitkan talaknya dengan tindakan yang tidak disukai oleh suami[44], seperti ia katakan: Jika engkau keluar tanpa seizinku, maka jatuhlah talakmu, maka kapan si istiri keluar tanpa seizin suami, maka ketika itu jatuhlah talaknya.  

 



[1] Fiqh Almanhaji

[2] H. R. Ibnu Majah dan al-Hakim bersumber dari Abdullah Bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhuma, hadis shoheh.

[3] Al-Qadhi al-Syeikh Muhammad Ahmad Kan’an, Ushul al-Mua’syroh al-Zaujiyyah, 17-20, Daar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut1418 H/1997 M.

[4] H.R. Buhkari dan Muslim

[5] Al-Fiqh Al-Manhaji,1/35    

[6] Ibid,1/35-36

[7] Fiqh Al-Manhaji.1/37

[8] Q.S.Annisa':23

[9] Q.S. Annisa':22/23

[10] Q.S.Annisa':23

[11] Q.S.Al-Baqarah:221

[12] Q.S.Annisa':4.   

[13] Q.S.Al-Baqarah:230

[14] Fiqh Al-Manhaji ,Ala Mazhabil Imamissyafi'i,1/16-17.Dr,Mushtafa Al-Khin,Dr.Mushtafa Al-Buga,'Ali Al-  Syarbaji.Daar Al-Qalam Damascus Syria1413 H/1992 M.

[15]. Fiqh Assunnah,Sayid Sabiq,2/14.Daar Al-Fikri,Bairut Lebanon,1403 H/1983 M.                         

[16] Kasus nikah beda agama di Indonesia sangat banyak  terutama dikalngan artis yang suka pindah-pindah agama, demikian juga dikalangan politikus Indonesia dan lebih sering terjadi dan mengerikan karena ingin mempengaruhi wanita agar wanita muslimah dan anaknya masuk keagama mereka, terutama di kalangan misionaris Kristen dengan mengeskpolaitasi mereka, melalui jebakan perkawinan sivil, ada juga karena alasan ekonomi dan harta dan yang paling menjijikkan karena merupakan tren setter dikalangan kelompok tertentu seperti kalangan liberalisme agama.

[17] Q.S. Al-Mumtahanah: 10.

[18] Berkata Imam Syafi’I Rahimahulloh dalam Kitab Al-Umm;5/ 11,

 ويحل نكاح حرائر اهل الكتاب لكل مسلم، لأن الله تعالى احلهن بغير استثناء، وأحب الي لو لم ينكحهن مسلم.

...... وأهل الكتاب الذين يحل نكاح حرائرهم اهل الكتابين المشهورين التوراة والانجيل. .... الا ان يعلم أنهم يخالفون في أصل ما يحلون ويحرمون، فيحرم نكاح نسائهم كما يحرم نكاح المجوسيات.

Dan halal menikahi wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli Kitab bagi setiapa muslim, karena Alloh Ta’ala telah menghalalkannya tanpa kecuali, namun saya lebih suka kalau seorang muslim tidak menikahi mereka…. Dan ahli Kitab yang halal halal menikahi wanita-wanita merdeka dari kedua ahli Kitab terbut yaitu mereka yang masyhur mengimani kitab Taurot dan Injil….. kecuali jika diketahui jika  mereka diketahui menyalahi teks asal apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan (bagi mereka),maka diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaiman diharamkan menikahi penganut agama Majusi. (Imam Abi Abdulloh Muhammad Bin Idris al-Syafi’I –Wafat tahun 204 H; 5/10, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut Libanon; 2009.

[19] Lihat Pirman Alloh Ta’ala  Quran Surat Al-Baqoroh: 221

[20] Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 Penerbit Erlangga Jakarta 2011, Pokok bahasan “Perkawinan campuran”, hal;43-46.

[21] H.R: Bukhori; 5/1966, Muslim; 9/189, Nasa’I; 6/102, Baihaqi; 7/201; Talkhis al-Khobir; 3/154.

[22] H.R. Ibnu Majah:1/606, Baihaqi:7/110, Daar al-Quthni: 3/227 dan lihat Talkhish al-Habir:3/157.

[23] H.R: Baihaqi; 7/111, 124, 125,126-10/148, Daar al-Quthni; 3/221, 225, 226, Ahmad; (nail al-Author: 6/142, al-Syaf’I; Badai’ul Minan; 2/317), Abu Daud; 1/481, Tirmidzi; 4/226, Ibnu hibban dalam kitab shohehnya (mawari al-Zhomaan hal;306).

[24] H.R. Abu Daud; 1/181, Tirmidzi; 4/227, Ibnu Majah; 1/605, Hakim; 2/168, Ahmad; 6/66,167, Baihaqi; 7/125, 138. Almajmu’ : 7/270. Talkhisul Khobir; 3/163.

[25] Prof. Dr. Muhammad Al-Zuhayli, Al-Mu’tamad Fi al-Fiqh al-Syafi’I;4/ 53-70. Daar al-Qolam, Damascus, 1432 H/ 2011 M.

[26] Al-Qadhi al-Syeikh Muhammad Ahmad Kan’an, Ushul al-Mua’syroh al-Zaujiyyah, 42, Daar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut1418 H/1997 M.

[27] (QS. Al-Maidah: 56). (al-Fiqh al-Manhaji 2/3 juz 4-5 hal: 60 ahwal syakhshiyah. Dr. Mushthafa al-Khin dan Dr. mushthafa al- bugha).

 

[28] (QS. Al-Isra’: 23) (al-Tahdzib Fi- adillati Matni al-Ghayah wa-Altaqrib, Dr. Mushthafa Dib al-bugha hal: 258).

[29] Kitab: al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 237 :” Karya Imam Gozali Rahimahullah

[30] Ibid, 2/237

[31] al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 215. Dr. Wahbah Zuhaily.

[32] al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua hal: 11

[33] Minhaju al-Thalibin wa al Umdat al- Muftin hal: 377

[34] al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh jilid 7 hal: 207-208. Dr. Wahbah Zuhaily.

 

[35] (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120 merujuk kepada al-Jami’ Li ahkam al-Quran hal 79 juz 3, Sayyid Sabiq).

[36] (Fiqh al-Sunnah 2/3 juz 6,7,8,9,10 hal: 120-121, Sayyid Sabiq).                            

[37] Kifayat al-Akhyar fi  Halli Ghoyat al-Ikhtishor hal:477-478

[38] al-Wajiz Fi al-Fiqh al- Imam al-Syafi’I jilid kedua halaman: 239/240

[39] kitabnya al-Bayan Fi al-Madzhaf al-Syafi’I  Jilid 13 hal: 11-13, Imam Abi al-Hasan Yahya bin al-Khair Salim al-Imrani al-Syafi’I al-Yamani (489-558 H)  

[40] Hadis shoheh, Riwayat: Abu Daud(2083), Tirmidzi (1/204), Ibu Majah (1879), Ahmad (165, 6/47), Al-Syafi’I (1543), Addarimi (2/137), Ibnu Abi Syaibah (7/2/1), Thohawi (2/4), Ibnu Jaru (700), Ibu Hibban (1248), Daar Quthni (381), Al-Hakim(2/168), Albaihaqi (7/105), al- Thoyalisi (1436), Ibnu ‘Adi Fi al-Kamil (156/2),  Ibnu Asakir (320/1- 7/318/2) (Irwa al-Gholil Fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil- Al- Albani Rahimahullah.

[41] H.R. Ahmad

[42] H. R. Abu Daud dengan sanad yang hasan. (Irsyadul Faqih Ila Ma’rifat Adillat al-Tanbih, jilid 2 hal 389, Imam al- Hafidz al- Mufassir al-Faqih Ismail Bin Kastir).

[43] Dalam madzhab Syafi’i agar sah istiri menjatuhkan talaknya sendiri dalam bentuk tafwidh (penyerahan) dari suami kepada istiri ada tiga syarat: a;Talaknya harus disahuti istiri lansung setelah diserahkan suami kepadanya talaknya, b; Istiri sudah baligh akil, c; Istiri sadar maka tidak sah tafwidh kepada yang gila. ( Dr. Mushthofa Dib Albugho,DKK, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i; jilid; 3; hal: 137, bab talak,  Daar al-Qolam, Damascus Syria 1413 H/1992M.

[44] Al-Imam al-Allamah Taqiyyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini al- Hushniy al-Dimasyqi al-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar Fi Halli Ghoyat al-Ikhtishor, 2/395, Daar al-Khoir , Damascus Syria 1416 H/1995 M.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar