Ciri-Ciri Muslim Yang Baik
Oleh : H. Salman Abdullah Tanjung, MA
(Ketua Umum MUI Kabupaten Asahan)
Kepedulian
seseorang terhadap keselamatan, kebaikan agama dan imannya adalah bukti dan
tanda yang jelas akan kebenaran pikirannya, kelurusan manhaj dan kesempurnaan taufiq yang diperolehnya. Agama seorang
muslim berperan sebagai penunjuk dan pembimbing yang akan menghantarkannya
menuju kebahagiaan dalam kehidupan, keberuntungan serta ketinggian
di akhirat. Karena padanya terdapat dalil dan petunjuk yang memeliharanya dari
kesesatan dan menjauhkannya dari jalan-jalan kesengsaraan dan kerugian.
Rasulullah
saw yang sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya, penyantun dan penyayang
terhadap mereka, beliau telah menunjukkan adab yang luhur dan budi pekerti yang
mulia dalam memperbaiki keislaman seseorang dan untuk mencapai puncak keridhaan
Allah SWT sebagaimana sabda beliau saw.
"Di antara tanda kebaikan keislaman
seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." [HR Imam Malik dalam kitab Muwatta', Tirmidzi dalam kitab al-Jami', Ibnu Majah dalam kitab Sunan,
Ibnu Hibban dalam kitab shahih dan
Abdu al-Razaq dalam al-Mushannaf]
Sekalipun hadits ini hadits mursal, akan
tetapi ia diperkuat beberapa sanad dan teks
yang menjadikannya hadits hasan
lighairih. Bahkan hadits ini diakui beberapa ulama sebagai hadits shahih,
seperti Imam Ibnu Hibban, al-Allamah Ahmad Muhammad Syakir dan al-Allamah
Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagaimana terdapat keterangannya secara
terperinci dalam kitab-kitab mereka rahimahumullah.
Hadits
ini seperti yang dikatakan Imam Ibnu Abdul Baar rahimahullah adalah perkataan yang mengandung makna yang luas dalam
lafadz yang singkat. Dan perkataan semisal ini belum pernah disampaikan seseorang
sebelum Rasulullah saw. Seorang yang keislamannya baik akan meninggalkan
perkataan dan amalan yang tidak bermanfaat baginya, karena konsekuensi Islam
itu mengerjakan kewajiban dan meninggalkan yang haram. Dan jika agamanya baik,
maka ia akan meninggalkan sesuatu yang haram, syubuhat, makruh dan mubah
yang berlebihan (kelebihan di luar kebutuhan). Seorang Muslim akan meninggalkan
ini semua di saat keislamnnya sempurna dan darajatnya telah mencapai tingkatan ihsan sebagaimana Rasulullah SAW
menjelaskan hakikat hal ini dalam hadits pertanyaan Jibril alaihissalam tentang Islam, Iman dan Ihsan. Beliau bersabda,
"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau." [HR Muslim dalam kitab shahih dari hadits Amirul Mukminin, Umar bin Khattab r.a.
Siapa
yang beribadah kepada Allah SWT dengan mengingat kedekatannya dengan Tuhannya,
maka keislamannya baik dan ia harus meninggalkan semua yang tidak bermanfaat
serta menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat demi kebenaran akidah,
kesempurnaan iman dan kebaikan amalan. Ia juga berusaha untuk memenuhi kebutuhan
primer yang dibolehkan.
Sebaliknya,
siapa yang menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga dalam hal yang
bertentangan dengan tujuan hidupnya dan menyibukkan diri dengan perkataan dan
amalan yang tidak penting, maka ia telah berpaling dari sesuatu yang bermanfaat
baginya, mengangkat derajat, kesempurnaan dan kemulian tujuan serta keagungan
kedudukannya, akhirnya ia merugi kelak dengan kerugian yang nyata.
Jika
seseorang melakukan amalan dan mengucapkan perkataan yang tidak penting, akan
tetapi hanya sebagai mainan saja, maka hal ini sesuai dengan perkataan Syekh
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
"ini akan membahayakannya tidak
bermanfaat baginya."
Sebagaimana
terdapat dalam kitab shahihain,
Rasulullah saw bersabda: " Siapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
Orang
mukmin diperintahkan untuk melakukan salah satu di antara dua hal, yaitu,
perkataan yang baik atau diam. Perkataan yang baik lebih baik daripada diam,
sedangkan menahan perkataan yang buruk lebih baik daripada mengucapkannya. Maka
seorang mukmin diperintahkan untuk mengucapakan yang baik atau diam, jika ia
mengabaikan suruhan diam dengan ucapan yang berlebihan yang tidak baik, maka
hal ini akan membahayakannya, hukumnya adalah makruh dan itu akan merendahkannya.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda:
"Di antara tanda kebaikan keislaman
seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya."
Jika
seorang menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, maka
keislamannya rusak dan membahayakannya. Bukan tidak selalu sesuatu yang
beresiko itu akan menyebabkannya mendapat siksa neraka Jahannam dan kemarahan
Allah SWT, akan tetapi harga diri dan derajatnya turun." Demikian, sampai
di sini perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Sungguh,
di antara kesibukan seseorang dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya
adalah mempelajari ilmu yang tidak penting dan meninggalkan yang lebih penting,
semisal, kebaikan hati, mensucikan diri, memberi manfaat bagi sesama orang lain
dan meninggikan kedudukan tanah air serta memajukan bangsanya.
Dan di
antara perbuatan yang tidak penting adalah tidak memelihara lidah dari
perkataan sia-sia, mengikuti hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat
tentang berita dan kondisi sesama, menghitung harta yang mereka simpan dan
belanjakan, menyelidiki kata-kata dan perilaku mereka di rumah dan di depan
keluarga mereka tanpa tujuan syariat, dan ia semata-mata bertujuan untuk
mengungkap sesuatu yang tidak ada manfaatnya dari urusan pribadi mereka.
Dan di
antaranya juga adalah pembicaraan dalam hal yang tidak diketahui dan tidak
dikuasainya dengan baik yang di luar spesialisasi dan pengetahuannya. Ia hanya
berupa hiburan baginya, membuang-buang waktu untuk mencari perhatian kepadanya
hingga akhirnya terseret kepada sesuatu yang tidak pantas untuk dibicarakan,
seperti, bicara tentang perbuatan keji dan hawa nafsu, mengumbar aurat dan aib,
menuduh wanita baik-baik yang lengah lagi beriman melakukan zina, menyebarkan
ucapan buruk dan mempublikasikan rumor, dusta dan berita-berita yang
diada-adakan. Terkadang kegemaran ini terhimpun dalam istilah analisis dan
prediksi yang terbentuk secara umum atas prasangka, ilusi dan spekulasi serta
keberanian melakukan kebatilan dalam wajah kebenaran. Ini semua adalah ekspektasi
dan pembahasan yang tidak benar, tidak boleh berpegang kepadanya, tertipu
dengannya dan menerima tuntunannya.
Adapun
hal-hal yang membantu seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat baginya adalah mengingat bahwa kewajiban-kewajiban itu lebih banyak
daripada waktu yang dimiliki. Usia sangat singkat, sebagaimana Rasulullah
menjelaskannya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Hakim dalam kitab Mustadrak dengan isnad shahih dari Abu Hurairah dan Anas radiallahu 'anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Umur umatku antara enam puluh hingga
tujuh puluh tahun, dan sedikit diantara mereka yang melebihi itu."
Untuk
melakukan sesuatu yang wajib saja, usia yang singkat ini tidak cukup, apakah
masih pantas kita gunakan untuk mencampuri urusan orang lain dan sesuatu yang
tidak penting?!
Seseorang
itu juga bertanggung jawab atas usianya bagaimana ia menghabiskannya
sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab al-Jami’ dengan isnad shahih dari sahabat Abu Barzah al-Aslamy r.a. bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak akan bergeser kedua kaki seorang
hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya bagaimana ia
menghabiskannya, tentang ilmunya sejauh mana dia mengamalkannya, tentang
hartanya dari mana mendapatkannya dan ke mana dia membelanjakannya dan tentang
jasadnya untuk apa digunakanya."
Setiap
perkataan yang diucapkan seseorang tetulis dalam buku catatan amalannya dan
akan diberikan balasan, agar ia mengetahui bahwa setiap kata memiliki konsekuensi
dan pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman,
"Dan sungguh, Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Ingatlah) ketika dua malaikat
mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di
sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya
malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." [QS Qaf': 16-18]
Adapun makna ayat ini secara eksplisit menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah
"Malaikat mencatat semua ucapan dan ia
sejalan dengan makna ayat secara umum, firman Allah SWT, Ia mencakup seluruh perkataan..."
Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwatta', Ahmad dalam Musnad, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah
dalam kitab Sunan dengan isnad yang shahih dari 'Alqamah al -Laitsi dari Bilal bin al-Harits r.a., ia
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya seorang
hamba mengucapkan perkataan yang mengandung keridhaan Allah yang tidak diduga akan mencapai kedudukan yang tinggi, dan Allah
SWT menuliskan keridhaannya sampai hari kiamat. Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan perkataan yang mengandung kemurkaan Allah yang ia tidak mengira
akan menerima akibatnya, dan Allah SWT menuliskan kemurkaanNya sampai hari
kiamat."
'Alqamah berkata, "Betapa
banyak yang aku tahan mengucapkannya disebabkan hadits. Bilal bin al-Harits ini."
Maksudnya hadits ini sarat dengan peringatan keras.
Adapun hukum mencari perhatian adalah tujuan yang tercela dan sifat
yang buruk. Pelakunya tidak akan mencapai apa-apa selain kebencian dari sisi
Allah dan orang beriman. Bertakwalah kepada Allah, wahai para hamba Allah, dan
ketahuilah bahwa meneladani hamba-hamba Allah yang terbaik dalam meninggalkan
perkataan dan amalan yang tidak bermanfaat adalah golongan para hamba yang
mendapat petunjuk Allah dan hamba yang berakal.
Diriwayatkan
dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah,
ia berkata, "Dari sebagian tanda
bahwa Allah SWT berpaling dari seorang
hamba adalah Dia menyibukkannya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat."
Maka merupakan kemestian bagi
seorang yang berakal yang mengharap (pertemuan) dengan Allah dan negeri akhirat
agar mengurus dirinya sendiri, memelihara lidahnya dan memerhatikan waktunya.
Hendaklah ia menganggap perkataannya sebagai bagian dari amalannya, dan siapa
yang bersikap demikian, maka sedikit perkataannya kecuali dalam hal yang
bermanfaat. Dan kebanyakan yang dimaksud dengan meninggalkan sesuatu yang tidak
penting adalah seperti yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, "Menjaga
lidah dari perkataan yang sia-sia,
cukuplah bagi seseorang kerugian bahwa ia berpaling dari berbagai jenis
kebaikan yang akan meninggikan martabatnya, mengangkat derajatnya, memuliakan kedudukannya
dan menyenangkan kehidupannya serta menjadikan kesudahannya lebih baik."
Bertakwalah
kepada Allah SWT, perhatikanlah sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupandunia dan
akhirat kalian dan ingatlah selalu bahwa Allah SWT memerintahkan kalian agar mengucapkan
shalawat dan salam kepada Nabi yang terakhir dan Imam para Rasul serta pembawa
rahmat bagi seluruh alam. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur'an,
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." [QS al-Ahzab: 56]
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar