Senin, 20 Januari 2025

Fiqh Remaja Era Milenial (Bagian Pertama )

 Fiqh Remaja Era Milenial 
(Bagian Pertama)

Oleh : H. SALMAN ABDULLAH TANJUNG, MA
Ketua Umum MUI Kabupaten Asahan  


اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن اَلَّذِيْ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُّسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ، إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ، اَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ وَاَتَمُّ التَّسْلِيْمِ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِّإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَبَعْدُ:

            Dengan segala jenis puji, hanya tertuju kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan aku bersaki bahwa Muhammad adalah Hamba dan Rosul Nya. Sholawat serta Salam  yang paling sempurna ditujukan atas jungjungan kita Muhammad Shollolohu ‘Alaihi Wasallam dan atas segenap keluarga dan para pengikut Nya dengan segala kebaikan sampai hari kemudian. Dan setelah itu kami menyampaikan: Risahlah ini kami sajikan untuk para pembaca dan pegiat ilmu-ilmu agama Islam, terlebih khusus kepada para pemula dan remaja-remaji Islam yang ingin memperdalam ilmu fardu ‘ain atau yang kami sebut dengan “Fiqh Remaja Era Milenial Menuju Mahligai Rumah Tangga” karena isinya kami sesuaikan dengan kebutuhan remaja-remaja masakini, terlebih lebih bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menjadi suami atau para calon istiri. Judul ini sengaja kami tulis karena sudah lama kami merencanakan untuk menulis hal-hal yang ada kaitannya langsung dengan remaja dan remaji, sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi sekarang yang penuh dengan segala bentuk ancaman melalui distorsi pemahaman akidah, distorsi agama, distorsi budaya dan distorsi pemikiran. Walaupun saya menyadari bahwa saya bukan ahlinya dibidang ini.

            Buku  kecil ini meliputi tema pembahasan dan dirangkai dengan sub-sub tema dan secara garis besar cakupan pembahasan sebagai berikut:

1.       Thoharoh dan bersuci sebagai amanah dari Allah Ta’ala.

2.       Macam-macam fitrah meliputi: Mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, merapikan kumis, memanjangkan jenggot, memotong kuku, istinja’, membersihkan celah kuku dan persendian, membersihkan mulut dan memelihara rambut.

3.       Khithbah (melamar calon istiri) bukan pacaran, hukum memandang calon istiri, sifat-sifat wanita ideal, makna cinta dan cemburu.

4.       Proses akad nikah meliputi Syarat-syarat sahnya nikah, hukum nikah, nikah dengan non muslim.

5.       Walimat al-‘Ursy (pesta perkawinan) meliputi: Dukhul (malam pertama) dan saling memberi hadiah.

6.       Senggama meliputi: Makna Jima’, Adab-adab Jima’, Jima’ pertama, cara-cara jima’, ejakulasi dini, tidak bergairah dalam hal sex (dingin) atau disebut dengan frigid, hukum  senggama dengan istiri yang sedang haidh, hukum jima’ dengan istiri yang sedang hamil, hukum dukhul pada dubur, hukum onani, bermimpi, macam-macam cairan yang keluar dari kemaluan manusia, anatomi alat kelamin wanita dan hukum mengungkapkan rahasia peristiwa jima’ kepada orang lain.

7.       Mengandung dan melahirkan meliputi: Pahala wanita yang sedang mengandung, kelahiran bayi laki-laki atau perempuan, adab-adab melahirkan, siapa yang membidani kelahiran?, hukum menggunakan alat kontrasepsi, hukum menggugurkan kandungan, dan ngidam (wihaam).

8.       Menyusui meliputi: Pentingnya menyusui dan hukumnya, hak menyusui, hukum saudara sesusuan, menggunakan alat susu buatan dan batas akhir menyusui (fithom).

9.       Hak asuh anak, masa waktu pengasuhan dan kesan bercengkrama dengan anak-anak.

10.   Hak dan kewajiban pasangan suami istiri meliputi: Derajat laki-laki dihadapan wanita, hak-hak suami dan hak-hak istiri.

11.   Sebab-sebab rusaknya hubungan suami istiri meliputi: Tidak menjaga pandangan, bersalaman dengan wanita lain, membuka aurat atau memakai pakaian seksi, berduaan dengan wanita lain atau laki-laki lain, bersama-sama dalam ruang kerja, ramah tamah, bercanda gurau, menari bersama dan bersama-sama dengan abang ipar atau adek ipar.

12.   Akhir dari perkawinan yang gagal meliputi: Talak putusan terakhir, hak talak cerai, macam-macam talak, solusi untuk suami dan istiri yang berakhir dengan talak ke tiga, talak berkait (bersayap/mu’allaq), batalnya nikah dengan sebab murtad,  khulu’(menceraikan istiri dengan imbala uang) atau taak dengan ibro’ (menceraikan istiri setelah sah nikah namun dijatuhkan talak  sebelum pernah dukhul/ hubungan intim), ibro’ dapat diartikan dengan:  Si istiri telah mengikhlaskan semua haknya yang harus di bayar oleh suami seperti maha)r.

13.   Penutup.

Buku sederhana ini tersaji di hadapan para pembaca, sebagian besarnya kami siapkan  disela-sela perjalanan menuju dan pulang ibadah umrah ke dan dari tanah suci, kami  sengaja menulis sebagiannya di perpustakaan Mesjid al-Haram Makkah dan Mesjid Al- Nabawi Madinah al-Munawaroh pada setiap ada kesempatan pergi melaksanakan ibadah umroh, dan pada  setiap perjalanan kami terbiasa membawa Lap Top untuk dimanfaatkan diwaktu-waktu luang. Semua itu kami lakukan kiranya tulisan ini mendapat ridho dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan harapan tulisan ini dapat diterima oleh para pembaca.

Kami juga perlu menyampaikan pada mukaddimah ini, bahwa penulis menggunakan ejaan kata yang berasal dari Bahasa Arab dengan tidak mengubah bunyi kata yang ada pada kata aslinya seperti suara “o” pada lafadz Alloh ditulis dengan huruf “o” tidak dengan huruf “a” agar bacaannya lurus atau tidak meleset dari aslinya dan pada umumnya hanya pada lafaz al-Jalalah Alloh dan Rosululloh dan bertujuan mengingatkan pembaca agar tidak salah melafalkan. Karena kita semua tau bahwa dalam bunyi suara pada ejaan Arab hanya ada tiga yaitu: Suara A, I atau U.  

Akhirnya kami memohon maaf jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam buku ini  kiranya bagi pembaca yang menemukan kesalahan atau kekeliruan berkenan menyampaikan saran kepada kami agar  dapat segera diperbaiki, karena kesempurnaan hanya milik Alloh Ta’ala. Semoga dosa dan kesalahan kita diampuni oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala demikian juga dosa kedua orang tua, para guru-guru kita, karena jasa merekalah kita mampu melakukan karya seperti ini. Semoga amal kecil ini menjadi penambah timbangan kebaikan bagi kami dan bagi pembaca nantinya dikemudian hari kelak, amiin.

 

BAGIAN PERTAMA

 

 

1.        Bersuci  Amanah Alquran

2.        Fiqh Berhias Sebagai Fitrah Manusia

3.      Berkhitan

a.          Hukum khitan bagi laki-laki

b.          Hukum Al-Khifadh (memotong sedikit ujung clitoris) bagi wanita

4.      Mencukur Bulu Ari-Ari

5.      Menggunting Atau Merapikan Kumis

6.      Hukum memanjangkan jenggot

7.      Memotong Kuku

8.      Istinja’ Dan Caranya

a.      Gambaran Rambut Nabi SAW dalam berbagai Hadis

b.      Hukum memanjangkan rambut

9.    Tanya Jawab


BERSUCI  AMANAH ALQURAN

 

            Bersuci baik dari hadas besar maupun keicil  merupakan bagian dari amanah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala atas hamba-hamba Nya (manusia). Bagi yang tidak mampu bersuci dengan baik dan benar berarti dia belum dikatakan melaksanakan amanah dalam hidupnya. Ulama Tafsir memberikan beberapa interpretasi terhadap amanah yang Alloh tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, kemudian mereka enggan menerimanya, namun manusialah yang merasa mampu menerima amanah tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ahzab: 72;

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً ﴿٧٢﴾

 “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

Makna amanah pada ayat tersebut menurut kalangan ulama Tafsir:

1.      Amanah disini maknanya “Takalif Syar’iyah” (Syari’at atau hukum yang dibebankan atas manusia),  ini adalah pendapat  Abdullah Bin Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma, Alhasan Al-Bashri, Mujahid, Said Bin Jubair, Al-Dhohhak Bin Muahim, Ibnu Zaid dan kebanyakan ulama Tafsir Rohimahumulloh[1].

2.      Berkata Imam al-Qotadah: Makna amanah adalah: Al-Din (agama), Faraidh (kewajiban-kewajiban) dan Hudud (hukum pidana).

3.      Ada yang mengatakan amanah itu adalah: Titipan orang lain,

4.      Sebagian ulama mengatakan amanah itu adalah: Mandi jinabah (bersuci).

5.      Berkata Zaid Bin Aslam: Amanah ada tiga yaitu: Shalat, puasa dan mandi jinabah.

6.      Berkata Imam Ibnu Katsir: Semua pendapat ini tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan dan seluruhnya termasuk bagian dari takalif al-Syar’iyah[2].


FIQH BERHIAS SEBAGAI FITRAH MANUSIA

 

            Yang dimaksud dengan Fiqh berhias disini ialah: Membersihkan dan merapikan badan dari hal-hal yang tidak disukai oleh orang lain jika benda-benda tersebut digunakan secara berlebihan dalam tubuh manusia, sebagian benda itu wajib dibuang dan sebagiannya wajib dirapikan. Fiqh berhias ini disebut juga dengan “Bagian-bagtrah mansia” dan disebut juga dengan “Sunnah-sunnah para Nabi dan Rasul”.

Bagian-bagian yang harus dibersihkan dan dirapikan pada diri manusia sbb:

1. BERKHITAN

Berkhitan disebut juga dengan “Sunat Rasul”

Manfaat berkhitan tidak hanya untuk tujuan menjaga kebersihan anggota tubuh, namun ternyata ada banyak manfaat diantaranya:

-          Menambah keledzatan dalam berhubungan intim.

-          Membantu menjaga keharmonisan hubungan suami istiri.

-          Menghindari penyakit.

-          Menghindari bau tidak sedap.

Menurut ahli pisikologi, banyaknya terjadi perceraian dikarenakan adanya ketidak nyamanan dari bau tidak sedap dari kotoran yang mengkristal didalam kulfah kemaluan laki-laki. Oleh sebab itu juga  syari’at Islam menghimbau para istiri agar mereka selalu berhias dan memakai wangi-wangian hanya untuk suaminya, sebab hanya dialah satu-satunya manusia yang berhak untuk bersenang-senang dengannya. Berhias tidak hanya wajib atas istiri saja, tapi berhias juga dibebankan atas suami yaitu dimulai dari berkhitan bagi laki-laki.

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ:اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ : اَلْخِتَانُ ، وَالْاِسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْاِبْطِ" رواه الشيخان وأحمد وأصحاب السنن الأربعة

Bersumber dari Abi Hurairah Rodhiyallahu’anhu, ia berkata: Aku telah mendengar Raasulullah S.A.W bersabda:” Fitarah itu ada lima: Berkhitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”. (H.R. Bukhari, muslim, Ahmad dan al-Ash-hab al-Sunan)[3].

عن عائشة ، قالت : قال رسول الله : " عَشْرٌ مِّنَ الْفِطْرَةِ : قَصُّ الشَارِبِ ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ، وَالسِّوَاكُ ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ ، وَحَلْقُ اْلعَانَةِ ، وَانْتِقَاصِ الْمَاءِ ".
قَالَ زَكَرِيَا : قَالَ مُصْعَبٌ : وَنسِيْتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ ، زَادَ قُتَيْبَةُ، قاَلَ وكِيِعٌ: " انْتِقَاصُ الْمَاءِ : يَعْنِي الْاِسْتِنْجَاءَ.

Bersumber dari Aisyah Rodhiyallahu’anha, ia berkata: Bersabda Raasulullah S.A.W: “ Sepuluh macam termasuk fitrah: Menggunting kumis, memanjangkan jenggot (dengan rapi), bergosok gigi, memasukkan air kelobang hidung, memotong kuku, membersihkan buhul-buhul persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’/ bersuci dari najis”. Berkata Zakaria, berkata Mush’ab: Dan aku lupa yang kesepuluh saya tidak ingat kecuali: “Berkumur-kumur”[4].

 

 (A). Hukum khitan bagi laki-aki                                        

            Berkhitan bagi laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib, sebab termasuk bagian dari fitrah Islam yang tidak boleh diabaikan terutama bagi anak laki-laki[5].

Waktu berkhitan

            Sebaiknya (al-Afdhal) anak laki-laki dikhitan pada masa kecilnya. Masalah waktu khitan disebutkan dalam hadis, namun ulama hadis tidak menetapkannya sebagai hadis hasan atau shaheh. Masalah waktu khitan lebih banyak merujuk kepada perkataan ulama, yang tentunya mereka lebih layak kita ikuti sebagai berikut:

وَرَدَ حَدِيْثُ جَابِرٍ  : عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ  عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ أَيَّامٍ، عِنْدَ الطَّبْرَانِيِّ فِي الْأَوْسَطِ 6708 والصغير والبيهقي 8/324 وفي الشعب وغيرهما ولا يصح.

            Bersumber dari Sahabat Jabir Rodhiyallohu ‘anhu:” Telah mengakikah Rasulullah S.A.W Hasan dan Husain dan Beliau megkhitan keduanya pada hari ketujuh (dari kelahiran keduanya)”. (H.R. Attabaraniy al-Ausath (6708) dan al-Baihaqiy (8/324) kitab Syu’ab al-Iman dan selain keduanya, namun hadis tidak shaheh[6].

 

Pendapat ulama tentang waktu khitan:

a.      Bekata Imam Mawardi Rahimahulloh  dari kalangan Syafi’iyah: Waktu Khitan ada dua, yaitu: Waktu wajib dan waktu sunat, adapun waktu wajib dilakukan setelah masuk masa baligh dan waktu sunat dilakukan sebelum baligh dan yang waktu yang terbaik adalah pada hari ketujuh dari kelahiran bayi (boleh dilewatkan jika Nampak tidak sanggup untuk dikhitan kepada waktu yang lebih memumngkinkan untuk dikhitan[7]) , jika sudah lewat hari ketujuh, maka dilakukan hari ke empat puluh, jika sudah lewat empat puluh hari, maka dilakukan pada umur tujuh tahun. Laki-laki yang sudah wafat dan belum dikhitan maka tidak wajib dikhitan lagi karena akan menyulitkan[8].

b.      Berkata Imam al-Haramain Rahimahulloh: Tidak wajib sebelum sampai umur baligh, sebab bayi belum di bebani hukum untuk beribadah.

c.       Berkata Imam Abul Faraj al-Sarokhsyi Rahiimahulloh dari kalangan Hanafiyah: Lebih baik anak dikhitan pada umur sebelum mumayyiz (sebelum umur tujuh tahun) karena kulitnya masih relative lentur dibandingkan setelah mumayyiz, kulitnya sudah lebih keras dan dibolehkan khitan melewati umur mumayyiz.

d.      Berkata Imam Malik Rahimahullah: Sebaiknya anak dikhitan semasa kecil yaiu sekitar umur tujuh tahun sampai sepuluh tahun demikian juga pendapat kalangan Hanabilah [9].

 

Waktu yang paling baik untuk berkhitan dikalangan ulama:

a.      Umur bayi  tujuh hari (Kalangan Sya’fi’iyah)

b.      Antara umur tujuh sampai sepuluh tahun (kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah).

c.       Makruh khitan pada umur tujuh hari karena menyerupai kalangan Yahudi menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.

            Berkata Imam al-Quthuby: Ulama sejarah sependapat bahwa Nabiyulloh Ibrahim A.S dikhitan setelah umurnya sudah tua[10]. Ahli sejarah mengatakan Nabiyyulloh Ibrahim A.S di khitan ketika sudah berumur delapan puluh tahun[11].

 

            Yang lebih aneh kaum Nashrani (Kristen) enggan melakukan khitan, bahkan mereka menganggapnya sebagai aib bagi yang berkhitan dan menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan jika tidak berkhitan. Kemudian meninggalkan berkhitan termasuk prinsip keagamaan bagi mereka[12].

 

(B). HUKUM AL-KHIFADH (memotong sedikit ujung clitoris) bagi wanita

 

            Memotong sedikit ujung clitoris pada kewanitaan perempuan, semenjak dulu pemotongan ujung clitoris dikenal juga dengan “khitan” di sebagian kabilah Arab bila merasa ujung clitorisnya terlalalu panjang, maka mereka terpaksa memotongnya. Masalah “khitan” bagi wanita dapat disimpulkan pada empat kategori:

 

Pertama  :Memotong ujung clitoris pada kewaniataan perempuan karena alasan kesehatan

Kedua  :Memotong ujung clitoris karena ingin mengurangi gangguan gesekan pada pakaian yang dapat  membuat lebih sensitive karena terlalu keluar dan para wanita merasa kurang nyaman.

Ketiga      : Karena alasan agama, bertujuan untuk kebersihan (thoharoh).

Keempat  : Karena tuntutan kebiasaan dan budaya.

Memotong clitoris pada kewanitaan perempuan hukumnya relative. Apabila pemotongan itu mengakibatkan hilangnya sensitivitas seksual maka hukumnya haram dan apabila untuk bertujuan mengurangi sensitivitas karena clitoris menonjol keluar maka merupakan kemuliaan bagi perempuan tanpa menghilangkan sensivitasnya. Jika untuk kebersihan maka wajib untuk dipotong tanpa menghilangkan sensifitas seksual, karena hal itu membahayakan bagi wanita[13].

            Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 1 Jumadil Awal 1429 H/ 7 Mei 2008 M telah menetapkan Fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan sbb:

 

Pertama: Status hukum Khitan Perempuan:

 

1.      Khitan baik laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.

2.      Khitan terhadap perempuan adalah makromah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

 

Kedua  : Hukum Pelarangann khitan terhadap Perempuan

Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitarah (aturan Alloh) dan syiar Islam.

Ketiga  : Batasan atau cara Khitan Perempuan

Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1.      Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghiangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi clitoris

2.      Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan sepertii memotong atau melukai clitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dhoror (bahaya)

 

Keempat : Rekomendasi

1.    Meminta kepada pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.

2.    Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa[14].

 

Bagi orangtua yang memiliki anak perempuan yang baru lahir agar berhati-hati dan memperhatikan apakah anaknya dikhitan oleh bidan yang menanganinya, karena bagi wanitapun berkhitan hukumnya wajib, namun cara mengkhitannya berbeda dengan laki-laki, tidak boleh memotong clitoris secara berlebihan, cukup membuang katup paling ujung clitoris, sebagaimana kita jelaskan diatas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KUTIPAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG KHITAN WANITA

HUKUM PELARANGAN KHITAN

TERHADAP PEREMPUAN

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

 

FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor 9A Tahun 2008

Tentang

HUKUM PELARANGAN KHITAN TERHADAP PEREMPUAN

 

Majelis Ulama Indonesia, setelah :

MENIMBANG :    a.  bahwa dewasa ini terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap khitan perempuan;

                            b.  bahwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia Cq. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan;

                            c.  bahwa telah terjadi keragaman praktik khitan perempuan di masyarakat karena ketidak-fahaman batas yang dikhitan;

                            d.  bahwa terhadap persoalan tersebut Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah mengajukan permohonan fatwa kepada MUI;

                            e.  bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam syariat Islam, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan.

 

 

MENGINGAT :     1.  Firman Allah SWT. :

§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ  

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. An-Nahl [16] : 123)

ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsƒªB$#ur ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz ÇÊËÎÈ  

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa [4] : 125)

ö@è% s-y|¹ ª!$# 3 (#qãèÎ7¨?$$sù s'©#ÏB tLìÏdºtö/Î) $ZÿÏZym $tBur tb%x. z`ÏB tûüÏ.ÎŽô³çRùQ$# ÇÒÎÈ  

“Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Ali Imran [3] : 95)

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran [3] : 31)

ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qß§9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ  

“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran [3] : 32)

 

                            2.  Hadis-hadis Nabi SAW :

عَنْ أَبِيْ الْمَلِيْحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيْ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلَّنِسَاءِ (رواه أحمد في مسندة)

“Bahwa Nabi SAW bersabda : Khitan merupakan sunnah (ketetapan rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan”. (HR. Ahmad)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ مَرْفُوْعًا بِلَفْظِ : يَانِسَاءَ الْأَنْصَارِ اخْتَضِيْنَ غَمْسًا وَاخْتَفِضْنَ وَلَاتُنْهِكْنَ وَإِيَّاكُنَّ وَكُفَّرَانَ النِّعَامِ

Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Wahai wanita-wanita Anshor warnailah kuku kalian (dengan pacar dan sejenisnya) dan berkhifadhlah (berkhitanlah) kalian, tetapi jangan berlebihan”. (As-Syaukani dalam Nail al-Author)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا

Dari Aisyah istri Nabi SAW ia berkata : “Apabila bertemu dua khitan maka wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari ‘Aisyah RA)

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاتُنْهِكِيْ فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

Dari Ummu ‘Athiyyah RA diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang sunat/khitan, lalu Rasulullah SAW bersabda kepada perempuan tersebut: “Jangan berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (HR. Abu Daud)

عَنِ الضَّحَّاكِ بن قَيْسٍ، قَالَ : كَانَتْ بِالْمَدِينَةِ امْرَأَةٌ تَخْفِضُ النِّسَاءَ، قَالُ لَهَا أُمُّ عَطِيَّةَ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "اخْفِضِي، وَلَا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ".

Dari adh-Dhahhak bin Qais bahwa di Madinah ada seorang ahli khitan wanita yang bernama Ummu ‘Athiyyah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Khifadllah (khitanilah) dan jangan berlebihan, sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan suami”. (HR. At-Tabrani dri adh-Dhahhak)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً الْفِطْرَةُ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالْاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima perkara yang merupakan fitrah manusia : khitan, al-Istihdad (mencukur rambut pada sekitar kemaluan), mencukur bulu ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis”. (HR. Jama’ah dari Abu Hurairah RA).

 

                            3.  Ijma’ Ulama

                                 Seluruh Ulama sepakat bahwa khitan bagi perempuan merupakan hal yang disyari’atkan.

 

                            4.  Kaidah Fikih

لَا اجْتِهَادَ مَعَ النَّصِّ

“Tidak ada ijtihad ketika ada nash”

 

MEMPERHATIKAN :

                            1.  Fuqaha madzhab sepakat pensyariatan khitan terhadap perempuan dengan menjelaskan mengenai khitan terhadap perempuan dan tata caranya, yang antara lain dimuat dalam Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah, juz 21 hal. 144), I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, juz 4, hal. 174), Hawasyi al-Syarwani (Beirut: Dar al-Fikr, juz 1, hal. 142), Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr, juz 4, hal. 202, Minhaj al-Thalibin (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 1, hal. 136), al-Bahr al-Raiq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 1, hal. 61), Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 10, hal. 340 dan 347), “Aun al-Ma’bud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 14, hal. 123), Nail al-Authar (Beirut: Dar al-Jail, juz 1, hal. 137), dan Tuhfah al-Ahwadzi (Beirut: Dal al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 8, hal. 28). Hanya saja, para fukaha berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya; madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah menyatakan sunah, sedangkan Syafi’iyyah menyatakan wajib, yang antara lain tercantum dalam :

                                 a.  Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni :

فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ.

“Khitan itu wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan/kebaikan, tidak wajib bagi mereka” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Maktabah al-Qohiroh, TT[, h. 64).

 

                                 b.  Aun al-Ma’bud, juz 14, hal. 125 :

"... وَقَدْ أَخَذَ بِظَاهِرِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٌ فَقَالَ سُنَّةٌ مُطْلَقًا وَقَالَ أَحْمَدُ وَاجِبٌ لِلذَّكَرِ سُنَّةٌ لِلْأُنْثَى وَأَوْجَبَهُ الشَّفِعِيَّ عَلَيْهِمَا

“...Berdasarkan zhahir hadis, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hukum khitan adalah sunah secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), Imam Ahmad berpendapat wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat wajib atas keduanya”.

 

                                 c.  Nail al-Authar, juz 1, hal. 138 :

واخْتُلِفَ فِيْ وُجُوْبِ الْخِتَانِ فَرَوَى الْإِمَامُ يَحْيَ عَنِ الْعَتِرَةِ وَألشَّافِعِيُّ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ وَاجِبٌ فيْ حَقِّ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَعِنْدَ مَالِكٍ وَأَبْيْ حَنِيْفَةَ وَالْمُرْتَضَى قَالَ النَّوَوِيُّ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ سُنَّةٌ فِيْهِمَا وَقَالَ النَّاصِرُ وَالإِمَامُ يَحْيَ أَنَّهُ وَاجِبٌ فِيْ الرِّجَالِ لَاالنِّسَاءِ

Ada perbedaan tentang kewajiban khitan. Imam Yahya, Imam al-Syafi’i dan kebanyakan Ulama menyatakan bahwa khitan wajib bagi lelaki dan perempuan. Demikian juga menurut Malik dan Abi Hanifah. Imam Nawawi memandang khitan hukumnya sunah bagi lelaki dan perempuan. Imam al-Nashir dan Imam Yahya menyatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki, tidak bagi perempuan.

                                 d.  I’anah at-Thalibin, juz 4, hal. 198 :

(قوله: وَالْمَرْأَةُ الخ) أَيْ وَالْوَاجِبُ فِيْ خِتَانِ الْمَرْأَةِ قَطْعُ جُزْءٍ يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْخِتَانِ وَتَقْلِيْلُهُ أَفْضَلُ لِخَبَرِ أَبِيْ دَاوُدَ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ (ص) قَالَ لِلْخَاتِنَةِ: أَشِـمِّي وَلَا تَنْهَكِيْ فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ أَيْ لِزِيَادَتِهِ فِيْ لَذَّةِ الْجِمَاعِ، وَفِيْ رِوَايَةِ: أَسْرَى لِلْوَجْهِ أَيْ أَكْثَرُ لِمَائِهِ وَدَمِهِ.

Yang diwajibkan dalam mengkhitan perempuan adalah memotong bagian yang harus dikhitan. Diutamakan dalam mengkhitan perempuan untuk menggores sedikit saja dari bagian yang harus dikhitan, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan lainnya : bahwa Rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: khitanlah dengan sedikit dan jangan berlebih-lebihan. Khitan bagi perempuan lebih membahagiakan perempuan dan lebih disenangi bagi suami; dalam pengertian menambah kenikmatan hubungan badan. Dalam suatu riwayat lebih menceriakan wajah, yakni lebih banyak aura dengan aliran air muka dan darah.

                                 e.  DR. Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu : “Khitan pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farj. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus : Daar al-Fikr al-Islami] Jilid I, h. 356)

 

                                 f.   Syaikh Jad al-Haq Syaikh al-Azhar, Buhust wa Fatawa Islamiyah fi Qhadhaya Mu’ashirah.

وَمِنْ هُنَا: اتَّفَقَتْ كَلِمَةُ فُقَهَاءِ الْمَذَاهِبِ عَلَى أَنَّ الْخِتَانَ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ فِطْرَةِ الْإِسَلَامِ وَشَعَائِرِهِ، وَأَنَّهُ أَمْرٌ مَحْمُوْدٌ، وَلَمْ يَنْقُلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْمَا طَالَعْنَا مِنْ كُتُبِهِمْ الَّتِيْ بَيْنَ أَيْدِيْنَا – قَوْلٌ يَمْنَعُ الْخِتَانَ لِلرِّجَالِ أَوِالنِّسَاءِ، أَوْعَدَمُ جَوَازِهِ أَوْإِضْرَارُهُ بِالْأُنْثَى، إِذَا هُوَ تَـمَّ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ عَلَّمَهُ الرُّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمِّ حَبِيْبَةَ فِـىْ الرِّوَايَةِ الْمَنْقُوْلَةِ اٰنِفًا. أَمَّا الاِخْتِلَافُ فِـيْ وَصْفِ حُكْمِهِ، بَيْنَ وَاجِبٍ وَسُنَّةٍ وَمَكْرُمَةٍ، فَيَكَادُ يَكُوْنُ اخِتْلَافًا فَـيْ الاِصْطِلَاحِ الَّذِيْ يَنْدَرِجُ تَحْتَهُ الْحُكْمُ.

Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa seluruh mazhab dalam fikih sepakat bahwa sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan syi’ar Islam. Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan, atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi perempuan. Hal tersebut karena telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah sebagaimana riwayat yang dilansir di depan. Sedangkan adanya perbedaan dalam tata cara (sifat) dan hukumnya antara wajib, sunnah, atau makramah, maka semata-mata perbedaan tersebut dalam istilah yang ada di bawahnya.

                            2.  Penjelasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan RI, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Prof. DR. Jurnalis Udin dalam rapat Komisi Fatwa MUI, yang pada intinya menggambarkan adanya resiko khitan perempuan disebabkan oleh tata cara khitan yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’.

                            3.  Pendapat Komisi Fatwa dalam rapat tanggal 9 Desember 2006/18 Dzulqo’dah 1427 H, tanggal 3 Mei 2008, dan tanggal 7 Mei 2008.

                                 Dengan memohon ridha Allah SWT,

 

MEMUTUSKAN

 

MENETAPKAN :  FATWA TENTANG HUKUM PELARANGAN KHITAN TERHADAP PEREMPUAN

 

Pertama :            Status Hukum Khitan Perempuan

                            1.  Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syi’ar Islam.

                            2.  Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

 

Kedua :                Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan

                            Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syi’ar Islam.

Ketiga :                Batas atau Cara Khitan Perempuan

                            Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

                            1.  Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.

                            2.  Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.

Keempat :           Rekomendasi

                            1.  Meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.

                            2.  Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 1 Jumadil Awal 1429 H

7 Mei 2008 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA

                      Ketua                                                 Sekretaris

 

                                                                

  DR. H.M. Anwar Ibrahim, MA               Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

 

 

2. MENCUKUR BULU ARI-ARI

Yang dimaksud dengan bulu ari-ari adalah rambut yang tumbuh disekitar qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang) laki-laki maupun perempuan.

 

3. MENGGUNTING ATAU MERAPIKAN KUMIS

Kumis ialah: Rambut yang tumbuh diatas bibir bagin atas. Telah sepakat ulama mengatakan bahwa memanjangkan kumis hukumnya makruh dan mengguntingnya sampai nampak pinggir-pinggir bibir atas hukumnya sunat.

Batas-batas menggunting bulu kumis menurut pandangan ulama:

-          Sebagian ulama berpendapat memendekkan kumis lebih afdhal, tanpa berlebihan sampai mencukur atau cukup dengan menggunting.

-          Sebagian berpendapat mencukur lebih afdhal.

-          Sebaian berpendapat menggunting atau mencukur sama-sama baik.

-          Sebagian pendapat mengatakan mecukur kumis hukumnya makruh ya’ni cukup merapikannya dengan menggunting.

Menurut penulis: Merapikan kumis baik dengan mencukur maupun dengan menggunting adalah sama baiknya, yang terpenting kumis jangan disengaja dipanjangkan sampi melewati garis bibir bagian atas, karena yang demikian itu menyerupai orang-orang kafir[15].

Hukum memanjangkan jenggot

Makna memanjangkan jenggot ialah: Membiarkannya tumbuh tanpa mencukurnya. Hukum memanjangkan jenggot sunat dan bersandar kepada hadis mutawatir. Dalilnya bersumber dari perbuatan dan perkataan Nabi S.A.W. Maka tidak seyogyanya seorang muslim meninggalkan sunnah ini apalagi kalangan ustadz, ulama dan orang tua.

Menurut kami jenggot adalah tumbuh sesuai fitrahnya maka tidak boleh melawan fitrah, sekurang-kurangnya bagi yang ditumbuhi jenggot agar memelihara jenggot dan merapikannya, walaupun tidak membiarkannya tumbuh sepanjang-panjangnya, sebab terlalu panjang tanpa menjaga kerapian jenggot, juga tidak enak di pandang orang lain. Maka peliharalah jenggot dengan menjaga kerapian.

 

4. MEMOTONG KUKU

Memotong kuku disunnahkan bagi laki-laki maupun kaum perempuan, dan sengaja memanjangkan kuku hukumnya makruh karena melanggar sunnah Nabi S.A.W. Memanjangkan kuku akan membantu berkumpulnya kotoran pada celah kuku dan kulit. Memanjangkan kuku tidak termasuk bahagian dari berhias, sebagaimana sebagian orang menganggapnya sebagai perhiasan terutama bagi wanita, mereka banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengatur kuku, bahkan banyak diantara mereka yang menghamburkan uang hanya untuk mewarnai kuku.

Sangat perlu diketahui oleh para remaja, pewarna kuku yang boleh digunakan oleh wanita hanya berupa inai yang tidak menghalangi masuknya air wuduk, adapun menggunakan kutek atau berupa cat yang dapat mengahalangi masuknya air, maka hukumnya haram, karena akan dapat menghalanginya untuk melaksanakan shalat karena wuduknya tidak sah.

Laki-laki dilarang menggunakan inai karena inai perhiasan wanita, adapun kebiasaan memakai inai bagi laki-laki ketika melangsungkan pernikahan merupakan budaya yang menyalahi syariat Islam dan haram dilakukan. Laki-laki boleh memakai inai karena alasan untuk mengobati penyakit atau kebutuhan tertentu bukan untuk berhias.

5. ISTINJA’ DAN CARANYA

Kata “istinja’ “ berasal dari kata “najaa” yang berarti berupaya membuang atau menghilangkan kotoran dari tempat keluarnya. Disebagian daerah menyebut kotoran manusia dengan “tinja”  serapan dari bahasa Arab “Istinja’ “.

I. Cara Istinja’

a.      Meyakinkan diri terlebih dahulu bahwa kotoran atau najis sudah keluar dengan tuntas.

b.      Bagi laki-laki sebaiknya terlebih dahulu mengurut bagian pangkal bawah zakarnya sampai ke ujung sekurang-kurangnya satu kali sebelum membasuhnya dengan air yang mengalir.

c.       Bagi wanita cukup menunggu sebentar setelah terasa selesai keluar najisnya secara tuntas tanpa perlu mengurutnya.

d.      Kemudian membasuh tempat keluar najis dengan mengalirkan air bukan mengoleskan air sampai hilang lendir dan baunya.

e.      Istinja’ boleh menggunakan benda kesat seperti batu, tisu yang ditebalkan dan agak dikeraskan atau kertas yang dapat mengisap, terutama saat dalam perjalanan sewaktu berada dalam dipesawat atau kendaraan lainnya, dengan ketentuan menjaga najis tidak berserakan kepada bagian tubuh lainnya.

f.        Sebaik-baik istinja’ adalah dengan menggunakan benda kesat seperti tissu, batu atau kertas terlebih dahulu baru kemudian membasuhnya dengan mengalirka air.

 

II.      Membersihkan persambungan sendi-sendi dan sela-sela persambungan tubuh

Didalam hadis disebut dengan “barajiim” yaitu: Persambungan seluruh jari-jari dan termasuk diantaranya: Selangkangan pada lengan tangan dan kaki, persambungan telinga bagian belakang, lobang hidung, lobang pusat, sela-sela jari-jari, sela-sela antara kuku dengan kulit, pangkal kelopak mata dan yang sangat penting diperhatikan wanita lapisan kemaluan demikian juga krutan dubur baik laki-laki maupun wanita.

 

III.                Membersihkan mulut dengan bersiwak (gosok gigi).

Diantara yang paling banyak mengganggu manusia adalah aroma  yang tidak sedap yang keluar dari mulut. Ada beberapa sebab kenapa mulut menjadi bau, diantaranya:

a.      Adanya luka atau sebab alergi pada bagian kulit dalam mulut.

b.      Malas membersihkan sisa-sisa makanan yang tinggal di celah-celah gigi.

c.       Malas menggosok gigi atau bersiwak

d.      Karena memakan makanan atau minuman yang dapat membuat mulut berbau seperti: Makan bawang mentah, makan durian, makan jengkol atau petai dan  minum minuman beralkohol.

e.      Kebiasaan merokok, asap atau bau rokok jauh lebih menyengat dan lebih mengganggu dibandingkan bau makanan yang makruh lainnya, oleh sebab itu hukum merokok pun relatif lebih berat daripada hanya sekedar makan jengkol atau bawang putih, sebab sejenisnya masih dapat memberikan manfaat bagi yang memakannya. Sementara merokok tidak hanya membahayakan kesehatan tapi juga adanya tabzdir dan melemahkan ekonomi keluarga. Oleh sebab itu hukumnya dapat di simpulkan sebagai berikut:

Pertama          :    Makruh, hukum yang paling rendah jika tidak membahayakan kesehatannya.

Kedua              : Haram ‘arodhy (kasuistik), yaitu merokok dihadapan khalayak  lain yang dapat mengganggu orang lain.

Ketiga             : Haram lizdatih, yaitu: Diharamkan merokok atas dirinya karena sudah menggangu kesehatannya, adanya pentabdziran dan melemahkan ekonomi keluarga, penulis lebih cendrung kepada kategori ketiga ini bahwa hukum merokok hukumnya haram, walaupun MUI telah memutuskan keharamannya lebih melihat kepada kondisi (kondisional).

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memutuskan melalui Ijtima’ Ulama Komisi-komisi Fatwa se Indonesia di Padang Panjang pada tanggal: 26 Januari 2009 M/ 29 Muharrom 1430 H[16], sebagai berikut:

 

B. KETENTUAAN HUKUM

1.         Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (Khilaf ma bayna al-Makruh wa al-Harom)

2.         Peserta Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan:

a.      Ditempat umum

b.      Oleh anak-anak

c.       Oleh wanita hamil[17].

 

IV.      Memperhatikan kebersihan dan kerapian rambut.

            Disunnahkan memperhatikan kerapian rambut, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Diantara perhatian terhadap rambut sebagai berikut:

a.      Membasuh dan mencuci rambut ketika dibutuhkan, agar tidak menjadi sarang bagi kutu dan kuman lainnya.

b.      Menyisir dan menhilangkan kekusutan pada rambut dan boleh membiarkan rambut dalam satu ikatan bagi perempuan dan lebih baik mengkepangnya atau menyanggulnya.

c.       Boleh mencat rambut dengan inai yang sudah didominasi uban (putih) dengan warna pirang (warna inai) dengan menggunakan inai yang masih memungkinkan air masuk ke pori-pori rambut, adapun mencat rambut dengan inai yang belum didominasi uban hukumnya haram, sedangkan cat rambut yang menghalangi air masuk kepori-pori seperti cat rambut yang banyak dipakai para artis sekarang hukumnya juga haram digunakan. Tidak boleh (haram hukumnya) mencat atau mewarnai rambut dengan warna hitam atau warnna-warni yang lainnya baik laki-laki maupun perempuan[18] .

d.      Diharamkan bagi laki-laki atau perempuan memakai rambut palsu.

e.        Diharamkan bagi laki-laki atau perempuan menyambung rambut atau meletakkan sanggul palsu, baik dalam pesta maupun dalam kehidupan sehari-hari.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:" لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ" رواه البخاري ومسلم

Bersabda Rasulullah S.A.W:”Rasululloh S.A.W telah mela’nat orang yang berprofesi untuk menyambung rambut dan yang meminta untuk disambung rambutnya[19]”.

f.         Haram mentato bagian dari tubuh manapun, haram mencabut alis mata dan haram mejarangkan gigi atau mengubahnya seperti menjadikannya mirip gigi kelinci yang banyak dilakukan para artis untuk kecantikan.

قد ثبت عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم: "لَعَنَ ‏الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحَسَنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقِ اللهِ ‏تَعَالَى.‏

           

Telah dinyatakan dalam hadis bersumber dari Abdullah Bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu, sesungguhnya Nabi S.A.W :”Telah mela’nat para pembuat tato dan para pelanggan tato, mela’nat para pencabut alis mata dan pelakunya, mela’nat orang-orang yang menjarangkan gigi karena kecantikan yang mengubah-ubah ciptaan Alloh Ta’ala[20]”.

g.        Haram bagi laki-laki menyerupai perempuan baik pada berpakaian, perkataan, gerak-gerik atau penampilan lainnya seperti dalam berakting didepan kamera.

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:" لَعَنَ اللهُ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ".

“ Telah mela’nat Alloh laki-laki yang menyerupai wanita, mela’nat wanita yang menyerupai laki-laki[21]”.

 

 

 

Gambaran Rambut Nabi SAW dalam berbagai Hadis

 

Rasululloh S.A.W sebagai contoh tauladan bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam menjaga rambut, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadis Nabi S.A.W sebagai berikut:

 

1.       Rambut Nabi Beliau panjangkan sampai kulit telinga bagian bawah:


1-  قال البراء: (كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم لَهُ شَعْرٌ يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ) متفق عليه. وفي صحيح مسلم (كَانَ شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ).

 

Berkata al-Bara’ Rodhiyallahu ‘anhu: Adalah Rasululloh S.A.W memiliki rambut sampai bagian bawah telinga (H.R.Bukhori dan Muslim).

2.       Rambut Nabi S.A.W Beliau panjangkan sampai antara telinga dan bahu:


2- يطيله إلى ما بين أذنه ومنكبه وهي (اللمة): قال أنس بن مالك رضي الله عنه: (كَانَ شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ) متفق عليه. وقالت عائشة: (كَانَ شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَوْقَ الْوَفْرَةِ وَدُوْنَ الْجَمَّةِ) رواه أبوداود والترمذي.

Berkata Anas Rodhiyallohu ‘anhu: Adalah rambut Rasululloh S.A.W diantara kedua bahu dan kedua telinga-Nya”. (H.R. Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Tirmidziy). 

 

 

3.       Rambut Rasululloh S.A.W menyentuh bahu-Nya:


3- يُطِيْلُهُ إِلَى مَنْكِبَيْهِ وَهِيَ (الْجَمَّةُ): فَعَنْ أَنَسِ رضي الله عنه (أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ) متفق عليه. وَهَذَا هُوَ الْغَالِبُ عَلَى شَعْرِهِ.

Bersumber dari Anas Rodhiyallohu ‘anhu:” Sesungguhnya rambut Nabi S.A.W sampai menyentuh dua bahu-Nya”. (H.R. Bukhori dan Muslim). Ulama menyebutkan : Inilah kebiasaan rambut Rasululloh S.A.W.

Tidak ada dijelaskan dalam sunnah Nabi bahwa beliau pernah memanjangkan rambut melewati bahunya seperti wanita, dan kebiasaan Beliau memotong rambut ketika sudah menyintuh bahu, adapun yang mengatakan Rasululloh S.A.W pernah mengepang (dhofirah) rambutya dalam kitab al-Sunan, hadisnya tidak shoheh dan Imam Bukhari mengatakan sanadnya terputus. Dengan demikian tidak boleh dijadikan dasar karena bertentangan dengan yang paling soheh.

Demikian juga Rasululloh tidak membiasakan dirinya untuk mencukur rambutnya kecuali hanya ketika selesai tahallul umrah atau haji. Oleh karena itu kebiasaan mencukur rambut bukan sunnah hukumnya tapi mubah karena tuntutan tertentu.

 

Hukum memanjangkan rambut

 

Ulama berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan rambut tidak melewati bahu apakah sunnah[22] atau mubah[23] saja:

Pendapat Pertama: Memanjangkan rambut sampai bahu hukumnya sunnah, pendapat yang masyhur pada kalangan Hanabilah. Berkata Imam al-Murodiy dalam kitab al-Inshof: Disukai (mustahab) membiarkan rambut tidak dicukur lebih baik daripada mencukurnya menurut pendapat yang soheh dalam madzhab, demikian juga Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughniy. Hujjah dalam hal ini: Hadis Riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah:

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ) رواه أبو داود

“Barang siapa diantara kamu yang memiliki rambut maka hendaklah ia memuliakannya”.

Dan diriwayatkan Abu Daud bersumber dari Abdullah Ibnu Umar:

. وما رواه ابن عمر أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى صَبِيًّا قَدْ حَلَقَ بَعْضَ شَعْرِهِ وَتَرَكَ بَعْضَهُ فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: (احْلِقُوْهُ كُلَّهُ أَوْ اتْرُكُوْهُ كُلَّهُ) رواه أبوداود.

 “Sesungguhnya Nabi S.A.W melihat seorang anak kecil telah mencukur sebagian rambutnya dan meinggalkan sebagiannya, lalu Rasulullah S.A.W melarang hal tersebut dan Ia berkata: Cukurlah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”.

Pendapat kedua: Memanjangkan rambut tidak melewati bahu hukumnya Mubah.

            Pendapat ini masyhur dikalangan Hanafiyah dan juga masyhur dikalangan sebagian Hanabilah, demikian juga Ibnu Abdil Barr mengatakan mubah memanjangkan rambut. Yang mengatakan mubah, mereka beranggapan bahwa Nabi S.A.W memanjangkan rambut bukan menunjukkan sunnahnya tapi dari bab kebiasaan (adat) yang tidak disyariatkan untuk mencontohnya, sebab tidak ada perkataan Rasulullah yang menjelaskan demikian. Pendapat kedua ini juga didukung oleh hadis riwayat Abu Daud dan Nasai dari Wail Bin Hajar ia berkata:

قَالَ: (أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَلِيْ شَعْرٌ طَوِيْلٌ فَلَمَّا رَآنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ فَقَالَ: إِنِّيْ لَمْ أَعْنِكَ وَهَذَا أَحْسَنُ).

Saya (Wail Bin Hajar) menemui Nabi S.A.W dan aku memiliki rambut panjang, ketika Rasulullah S.A.W melihatku, Ia berkata:” Seperti lalat, seperti lalat?” Wail bekata: Akupun pulang dan aku memotongnya, kemudian besok aku mendatangi Nabi, Beliaupun berkata: Saya tidak bermaksud untuk kamu potong tapi ini lebih baik”.

 وَقَالَ الطَّحَاوِيُّ فِي مُشْكِلِ الْآثَارِ: (فَكَانَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ عَنْ رَّسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا قَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ جَزِّ الشَّعْرِ أَحْسَنُ مِنْ تَرْبِيَّتِهِ وَمَا جَعَلَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَلْأَحْسَنُ كَانَ لَا شَيْءَ أَحْسَنُ مِنْهُ . وَوَجَبَ لُزُوْمُ ذَلِكَ الْأَحْسَنُ وَتَرَكَ مَايُخَالِفُهُ).

Berkata Imam Atthohawiy dalam Kitab Musykil al-Athar: Maka yang ada pada hadis dari Rasululloh ini menunjukkan memendekkan rambut lebih baik daripada memeliharnya, sesuatu yang dijadikan Rasulullah lebih baik maka tidak ada yang lebih baik dari itu dan wajib mengikuti itu dan meninggalkan yang menyalahi perintahnya.

Pendapat ketiga: Penyatuan kedua pendapat dan tarjih.

Dengan menyatukan kedua pendapat diatas maka yang muncul adalah pemahaman yang lebih kuat bahwa Nabi S.A.W memanjangkan rambut kembali kepada adat kebiasaan di zaman Nabi yang tidak menimbulkan imege atau opini negative. Dengan artian laki-laki dikala itu tidak danggap sebagai mencontoh-contoh perempuan atau mencontoh kebiasaan orang kafir. Jika memanjangkan rambut dianggap cendrung kepada feminisme atau menyerupai kebiasaan orang kafir disatu tempat maka bagi laki-laki muslim haram memanjangkan rambut sampai bahu di tempat ia tinggal, namun jika memanjangkan rambut sampai bahu disatu tempat tidak dianggap feminisme, maka memanjangkannya tidak haram.

Sebagai ilustrasi dan contoh untuk keturunan Asia tenggara pada umumnya tidak ditumbuhi jenggot atau jambang, jika laki-lakinya memanjangkan rambut sampai bahu, maka akan cendrung kepada feminisme dibandingkan keturunan India dan Arab yang pada umumnya ditumbuhi jenggot dan jambang, maka bagi kebanyakan keturunan Asia Tenggara haram memanjangkan rambut karena cendrung kepada feminisme dan bagi keturunan yang ditumbuhi jenggot dan jambang hukumnya mubah atau boleh-boleh saja selama tidak dianggap menyerupai wanita. Penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan dalam masalah memanjangkan rambut sampai bahu bagi laki-laki:

1.      Hukumnya haram jika cendrung menyerupai wanita.

2.      Hukumnya haram jika mencontoh kebiasaan orang kafir.

3.      Hukumnya mubah tidak sunnah jika terhindar dari menyerupai wanita dan terhindar dari budaya orang kafir.

4.      Memanjangkan rambut melewati bahu hukumnya haram bagi laki-laki muslim karena sudah jelas menyerupai wanita.

5.      Lebih baik memendekkan rambut laki-laki daripada memanjangkannya.

Sedangkan untuk para wanita muslimah juga berlaku hukum atas mereka dalam beberapa kesimpulan:

1.       Haram bagi wanita memendekkan rambut diatas bahu jika menyerupai kebiasaan laki-laki, karena batas rambut laki-laki yang mubah sampai batas menyentuh bahu.

2.       Haram memendekkan rambut bagi wanita muslimah diatas bahu jika menyerupai kebiasaan wanita-wanita kafir.

3.       Haram bagi wanita muslimah memendekkan rambutnya tanpa seizin suaminya.

4.       Makruh bagi wanita muslimah memendekkan rambut sampai menyentuh kedua bahunya tanpa ada alasan apapun.

5.      Mubah atau boleh bagi wanita memendekkan rambutnya sampai dibawah bahu sedikit, untuk kebutuhan tertentu seperti: Agar mudah diurus, untuk berhias dihadapan suami. Dalil yang dapat dijadikan hujjah dalam hal ini Hadis Riwayat Muslim (320) bersumber ari Abu Salamah R.A :

"كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم يَأْخُذْنَ مِنْ رُّؤُوْسِهِنَّ حَتَّى تَكُوْنُ كَالْوَفْرَةِ"

“ Adalah istiri-istiri Nabi S.A.W mereka menjadikan rambut mereka sampai menyentuh bahu atau dibawah bahu sedikit”.

            Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Soheh Muslim (4/5) mengomentari hadis ini: Hadis inilah dalilnya boleh bagi wanita memendekkan rambut mereka (sampai sedikit dibawah bahu). Wallohu ‘A’lam bi Al-Showab.

 

TANYA JAWAB

 

NO:

SOAL

JAWABAN

1.

Apakah ada batasan waktu untuk memotong kuku, mencabut bulu ketiak, bulu ari-ari dan yang lainnya?.

1. Tidak ada batasan waktu untuk melakukan hal tersebut, namun yang lebih baik bagi setiap muslim untuk memperhatikannya dari jumat kejumat berikutnya, dan dimakruhkan baginya tidak memotongnya melewati 40 hari, sebagaimana dalam hadis Riwayat Muslim:”Telah menetapkan bagi kami waktu memotong kumis, kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar kami tidak membiarkanya lebih 40 malam”.

2.

Apakah Istiri boleh menggunakan obat atau zat tertentu untuk menghilangkan rambut menggantikan mencabut atau mencukur ?

2. Boleh, asalkan tidak membahayakan bagi kesehatan.

3.

Apakah penggunaan kutek atau cat di kuku wanita atau laki-laki dapat menghalangi sahnya wudhuk?

3. Ya, dapat menghalangi air wudhuk untuk menyerap kepori-pori kuku, bagi wanita wajib untuk memastikan air tidak terhalang untuk mengenai kuku ketika berwudhuk, apalagi ketika dia jinabah atau habis dari haidh

.

4.

Apakah yang boleh digunakan wanita untuk mewarnai kukunya?

4. Wanita boleh menggunakan inai yang berasal dari daun alami yang tidak menghalangi masuknya air kekuku.

5.

Bolehkah bagi wanita memakai rambut palsu untuk menutupi auratnya dihadapan laki-laki lain?

5. Tidak boleh (haram).

6.

Bolehkah memanjangkan kumis agar lebih nampak kren dan gagah?

6. Hukumnya tidak boleh, karena kren itu mengikuti sunnah Nabi dan menjaga kebersihan.

7.

Bolehkah bagi wanita mencabut alis mata atau mengukir atau menyulamnya?

7. Tidak boleh, dilakukannya untuk dirinya atau melakukan untuk orang lain dan termasuk diantara perbuatan yang dilaknat Alloh.

 



[1] Tafsir Al-Thabri;20/336-340, Tafsir Ibnu Katsir; 6/488-489,  Al-Jami’ Li Ahkamil Quran;14/252-253, Fathul Qodir; 4/437.

[2] Tafsir Ibnu Katsir; 6/489.

[3] H.R; Bukhori, Muslim, Ahmad dan al-Ashhab al-Sunan.

[4] H.R. Muslim

[5] Prof. DR. Muhammad al-Zuhaily, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 66-67/1, Daar Al-Qolam, Damascus Syria 1432H/2011M

[6] Al-Hafizd Ibnu Hajar mengisyaratkan hadis riwayat al-Hakim dan al-Baihaqiy dari Aisyah dalam kitab Attalkhish dan pada tahqiq Subulussalam dan Nail al-Author dari Aisyah namun tidak menyebut khitan.

[7] Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 67

[8] Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 67/1, Prof. DR. Muhammad al-Zuhaily, Daar Al-Qolam, Damascus Syria 1432H/2011M

[9] Fathul Bari;10/349 dst.

[10] Ushul al-Mu’asyirah al-Zaujiyah, al-Qadhi al-Syeikh Muhammad Kan’an, 209, Daar Al-Basyair al-Islamiyah, Bairut1418 H/1997M.          

[11] Ibid;209

[12] Islam Dihujat Menjawab Buku The Islamic Invasion, Hj. Irene Handono, et al. Hal; 350; Apa hukumnya bersunat?.  Kata Paulus, sunat tidak wajib, tidak berguna dan tidak penting (Galatia 5:6, 1 Koriintus 7:18-19).

[13] H.R. Ibu Majah dan al-Daar al-Quthni dari Abi Sa’id al-Khudri:” Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.

[14] Himpunan FATWA MUI sejak 1975, h. 229-237, Penerbit Erangga  Jakarta 2011.

[15] Agama Sikh di India, Agama Hindu dan kalangan Yahudi melarang keras untuk  mencukur kumis, jenggot dan semua bulu yang tumbuh dibadan, sedangkan orang-orang Kristen menganjurkan agar mereka mencukur kumis dan jenggot dan pemuka agama Budha mewajibkan mencukur dan membotak kepala baik laki-laki maupun wanita. Umat Islam berada ditengah-tengah penganut agama-agama itu semua dengan memperhatikan fitrah dan kesucian.

[16] Dalam Ijtima’ tersebuat penulis ikut serta membahas dan menetapkan fatwa yang cukup dinamis dan banyak perbedaan pandangan dari peserta rapat sampai ke rapat paripurna, namu ayoritas peserta cendrung mengaramkan merokok.

[17] Himpunan FATWA MUI sejak 1975, h. 895-897, Penerbit Erangga  Jakarta 2011.

[18] Dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan yang maknanya: “Rasululloh S.A.W telah melarang mencat rambut dengan warna hitam”

[19] H.R. Bukhari dan Muslim                                                                                                            

[20] H.R. Bukhari, Muslim dan ash-hab al-Sunan

[21] H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah.

[22] Makna sunnah menurut ulama ushul Fiqh: Berpahala melakukannya namun tidak berdosa meninggalkannya

[23] Makna mubah menurut ulama ushul: Tidak berpahala mengerjakannya namun juga tidak berdosa meninggalkannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar