Fiqh Remaja Era Milenial (Bagian Pertama)
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن اَلَّذِيْ يُولِجُ
اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُّسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ
الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ، إِن
تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ،
اَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ وَاَتَمُّ التَّسْلِيْمِ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِّإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
وَبَعْدُ:
Dengan
segala jenis puji, hanya tertuju kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan
semesta alam, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan aku bersaki
bahwa Muhammad adalah Hamba dan Rosul Nya. Sholawat serta Salam yang paling sempurna ditujukan atas
jungjungan kita Muhammad Shollolohu ‘Alaihi Wasallam dan atas segenap keluarga
dan para pengikut Nya dengan segala kebaikan sampai hari kemudian. Dan setelah
itu kami menyampaikan: Risahlah ini kami sajikan untuk para pembaca dan pegiat
ilmu-ilmu agama Islam, terlebih khusus kepada para pemula dan remaja-remaji
Islam yang ingin memperdalam ilmu fardu ‘ain atau yang kami sebut dengan
“Fiqh Remaja Era Milenial Menuju Mahligai Rumah Tangga” karena isinya
kami sesuaikan dengan kebutuhan remaja-remaja masakini, terlebih lebih bagi
mereka yang mempersiapkan diri untuk menjadi suami atau para calon istiri.
Judul ini sengaja kami tulis karena sudah lama kami merencanakan untuk menulis
hal-hal yang ada kaitannya langsung dengan remaja dan remaji, sebagai bentuk
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi sekarang yang penuh dengan
segala bentuk ancaman melalui distorsi pemahaman akidah, distorsi agama,
distorsi budaya dan distorsi pemikiran. Walaupun saya menyadari bahwa saya
bukan ahlinya dibidang ini.
Buku kecil ini meliputi tema pembahasan dan
dirangkai dengan sub-sub tema dan secara garis besar cakupan pembahasan sebagai
berikut:
1.
Thoharoh dan
bersuci sebagai amanah dari Allah Ta’ala.
2.
Macam-macam fitrah
meliputi: Mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, merapikan kumis,
memanjangkan jenggot, memotong kuku, istinja’, membersihkan celah kuku dan persendian,
membersihkan mulut dan memelihara rambut.
3.
Khithbah
(melamar calon istiri) bukan pacaran, hukum memandang calon istiri, sifat-sifat
wanita ideal, makna cinta dan cemburu.
4.
Proses akad nikah
meliputi Syarat-syarat sahnya nikah, hukum nikah, nikah dengan non muslim.
5.
Walimat al-‘Ursy
(pesta perkawinan) meliputi: Dukhul (malam pertama) dan saling memberi
hadiah.
6.
Senggama meliputi:
Makna Jima’, Adab-adab Jima’, Jima’ pertama, cara-cara jima’, ejakulasi
dini, tidak bergairah dalam hal sex (dingin) atau disebut dengan frigid,
hukum senggama dengan istiri yang sedang
haidh, hukum jima’ dengan istiri yang sedang hamil, hukum dukhul
pada dubur, hukum onani, bermimpi, macam-macam cairan yang keluar dari
kemaluan manusia, anatomi alat kelamin wanita dan hukum mengungkapkan rahasia
peristiwa jima’ kepada orang lain.
7.
Mengandung dan
melahirkan meliputi: Pahala wanita yang sedang mengandung, kelahiran bayi
laki-laki atau perempuan, adab-adab melahirkan, siapa yang membidani
kelahiran?, hukum menggunakan alat kontrasepsi, hukum menggugurkan kandungan,
dan ngidam (wihaam).
8.
Menyusui meliputi:
Pentingnya menyusui dan hukumnya, hak menyusui, hukum saudara sesusuan,
menggunakan alat susu buatan dan batas akhir menyusui (fithom).
9.
Hak asuh anak,
masa waktu pengasuhan dan kesan bercengkrama dengan anak-anak.
10.
Hak dan kewajiban pasangan
suami istiri meliputi: Derajat laki-laki dihadapan wanita, hak-hak suami dan
hak-hak istiri.
11.
Sebab-sebab
rusaknya hubungan suami istiri meliputi: Tidak menjaga pandangan, bersalaman
dengan wanita lain, membuka aurat atau memakai pakaian seksi, berduaan dengan
wanita lain atau laki-laki lain, bersama-sama dalam ruang kerja, ramah tamah,
bercanda gurau, menari bersama dan bersama-sama dengan abang ipar atau adek
ipar.
12.
Akhir dari
perkawinan yang gagal meliputi: Talak putusan terakhir, hak talak cerai,
macam-macam talak, solusi untuk suami dan istiri yang berakhir dengan talak ke
tiga, talak berkait (bersayap/mu’allaq), batalnya nikah dengan sebab murtad, khulu’(menceraikan istiri dengan imbala uang)
atau taak dengan ibro’ (menceraikan istiri setelah sah nikah namun dijatuhkan
talak sebelum pernah dukhul/ hubungan
intim), ibro’ dapat diartikan dengan: Si
istiri telah mengikhlaskan semua haknya yang harus di bayar oleh suami seperti
maha)r.
13.
Penutup.
Buku sederhana ini
tersaji di hadapan para pembaca, sebagian besarnya kami siapkan disela-sela perjalanan menuju dan pulang
ibadah umrah ke dan dari tanah suci, kami sengaja menulis sebagiannya di perpustakaan
Mesjid al-Haram Makkah dan Mesjid Al- Nabawi Madinah al-Munawaroh pada setiap
ada kesempatan pergi melaksanakan ibadah umroh, dan pada setiap perjalanan kami terbiasa membawa Lap
Top untuk dimanfaatkan diwaktu-waktu luang. Semua itu kami lakukan kiranya
tulisan ini mendapat ridho dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan dengan harapan tulisan ini dapat diterima oleh para pembaca.
Kami juga perlu
menyampaikan pada mukaddimah ini, bahwa penulis menggunakan ejaan kata yang
berasal dari Bahasa Arab dengan tidak mengubah bunyi kata yang ada pada kata
aslinya seperti suara “o” pada lafadz Alloh ditulis dengan huruf “o” tidak
dengan huruf “a” agar bacaannya lurus atau tidak meleset dari aslinya dan pada
umumnya hanya pada lafaz al-Jalalah Alloh dan Rosululloh dan
bertujuan mengingatkan pembaca agar tidak salah melafalkan. Karena kita
semua tau bahwa dalam bunyi suara pada ejaan Arab hanya ada tiga yaitu: Suara
A, I atau U.
Akhirnya
kami memohon maaf jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam buku ini kiranya bagi pembaca yang menemukan kesalahan
atau kekeliruan berkenan menyampaikan saran kepada kami agar dapat segera diperbaiki, karena kesempurnaan
hanya milik Alloh Ta’ala. Semoga dosa dan kesalahan kita diampuni oleh Alloh
Subhanahu wa Ta’ala demikian juga dosa kedua orang tua, para guru-guru kita,
karena jasa merekalah kita mampu melakukan karya seperti ini. Semoga amal kecil
ini menjadi penambah timbangan kebaikan bagi kami dan bagi pembaca nantinya
dikemudian hari kelak, amiin.
BAGIAN PERTAMA
1.
Bersuci Amanah
Alquran
2.
Fiqh
Berhias Sebagai Fitrah Manusia
3.
Berkhitan
a.
Hukum
khitan bagi laki-laki
b.
Hukum Al-Khifadh
(memotong sedikit ujung clitoris) bagi wanita
4.
Mencukur
Bulu Ari-Ari
5.
Menggunting
Atau Merapikan Kumis
6.
Hukum
memanjangkan jenggot
7.
Memotong
Kuku
8.
Istinja’
Dan Caranya
a.
Gambaran
Rambut Nabi SAW dalam berbagai Hadis
b.
Hukum memanjangkan
rambut
9. Tanya Jawab
BERSUCI AMANAH ALQURAN
Bersuci
baik dari hadas besar maupun keicil
merupakan bagian dari amanah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala atas hamba-hamba
Nya (manusia). Bagi yang tidak mampu bersuci dengan baik dan benar berarti dia
belum dikatakan melaksanakan amanah dalam hidupnya. Ulama Tafsir memberikan beberapa
interpretasi terhadap amanah yang Alloh tawarkan kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, kemudian mereka enggan menerimanya, namun manusialah yang merasa
mampu menerima amanah tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ahzab:
72;
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً ﴿٧٢﴾
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Makna amanah pada ayat tersebut menurut kalangan ulama Tafsir:
1. Amanah disini maknanya “Takalif Syar’iyah”
(Syari’at atau hukum yang dibebankan atas manusia), ini adalah pendapat Abdullah Bin Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma,
Alhasan Al-Bashri, Mujahid, Said Bin Jubair, Al-Dhohhak Bin Muahim, Ibnu Zaid
dan kebanyakan ulama Tafsir Rohimahumulloh[1].
2. Berkata Imam al-Qotadah: Makna amanah adalah: Al-Din
(agama), Faraidh (kewajiban-kewajiban) dan Hudud (hukum pidana).
3. Ada yang mengatakan amanah itu adalah: Titipan orang
lain,
4. Sebagian ulama mengatakan amanah itu adalah: Mandi jinabah
(bersuci).
5. Berkata Zaid Bin Aslam: Amanah ada tiga yaitu: Shalat,
puasa dan mandi jinabah.
6. Berkata Imam Ibnu Katsir: Semua pendapat ini tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan dan seluruhnya termasuk bagian dari takalif al-Syar’iyah[2].
FIQH BERHIAS SEBAGAI FITRAH MANUSIA
Yang dimaksud dengan
Fiqh berhias disini ialah: Membersihkan dan merapikan badan dari hal-hal yang
tidak disukai oleh orang lain jika benda-benda tersebut digunakan secara
berlebihan dalam tubuh manusia, sebagian benda itu wajib dibuang dan
sebagiannya wajib dirapikan. Fiqh berhias ini disebut juga dengan
“Bagian-bagtrah mansia” dan disebut juga dengan “Sunnah-sunnah para Nabi dan
Rasul”.
Bagian-bagian yang harus dibersihkan dan
dirapikan pada diri manusia sbb:
1. BERKHITAN
Berkhitan disebut juga dengan “Sunat Rasul”
Manfaat berkhitan
tidak hanya untuk tujuan menjaga kebersihan anggota tubuh, namun ternyata ada
banyak manfaat diantaranya:
-
Menambah keledzatan dalam
berhubungan intim.
-
Membantu menjaga
keharmonisan hubungan suami istiri.
-
Menghindari penyakit.
-
Menghindari bau tidak
sedap.
Menurut ahli pisikologi, banyaknya terjadi
perceraian dikarenakan adanya ketidak nyamanan dari bau tidak sedap dari
kotoran yang mengkristal didalam kulfah kemaluan laki-laki. Oleh sebab
itu juga syari’at Islam menghimbau para
istiri agar mereka selalu berhias dan memakai wangi-wangian hanya untuk
suaminya, sebab hanya dialah satu-satunya manusia yang berhak untuk
bersenang-senang dengannya. Berhias tidak hanya wajib atas istiri saja, tapi
berhias juga dibebankan atas suami yaitu dimulai dari berkhitan bagi laki-laki.
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ:اَلْفِطْرَةُ
خَمْسٌ : اَلْخِتَانُ ، وَالْاِسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ،
وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْاِبْطِ" رواه الشيخان وأحمد وأصحاب
السنن الأربعة
Bersumber dari Abi Hurairah
Rodhiyallahu’anhu, ia berkata: Aku telah mendengar Raasulullah S.A.W bersabda:”
Fitarah itu ada lima: Berkhitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis,
memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”. (H.R. Bukhari, muslim, Ahmad dan
al-Ash-hab al-Sunan)[3].
عن
عائشة ، قالت : قال رسول
الله : " عَشْرٌ مِّنَ الْفِطْرَةِ : قَصُّ
الشَارِبِ ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ، وَالسِّوَاكُ ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ ،
وَقَصُّ الْأَظْفَارِ ،
وَغَسْلُ
الْبَرَاجِمِ ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ ، وَحَلْقُ اْلعَانَةِ ، وَانْتِقَاصِ الْمَاءِ ".
قَالَ
زَكَرِيَا : قَالَ
مُصْعَبٌ
: وَنسِيْتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ ، زَادَ قُتَيْبَةُ،
قاَلَ وكِيِعٌ: " انْتِقَاصُ الْمَاءِ : يَعْنِي الْاِسْتِنْجَاءَ.
Bersumber dari Aisyah Rodhiyallahu’anha, ia berkata: Bersabda
Raasulullah S.A.W: “ Sepuluh macam termasuk fitrah: Menggunting kumis,
memanjangkan jenggot (dengan rapi), bergosok gigi, memasukkan air kelobang
hidung, memotong kuku, membersihkan buhul-buhul persendian, mencabut bulu
ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’/ bersuci dari najis”. Berkata
Zakaria, berkata Mush’ab: Dan aku lupa yang kesepuluh saya tidak ingat kecuali:
“Berkumur-kumur”[4].
(A). Hukum khitan bagi laki-aki
Berkhitan bagi laki-laki dan
perempuan hukumnya adalah wajib, sebab termasuk bagian dari fitrah Islam yang
tidak boleh diabaikan terutama bagi anak laki-laki[5].
Waktu berkhitan
Sebaiknya (al-Afdhal)
anak laki-laki dikhitan pada masa kecilnya. Masalah waktu khitan disebutkan
dalam hadis, namun ulama hadis tidak menetapkannya sebagai hadis hasan atau
shaheh. Masalah waktu khitan lebih banyak merujuk kepada perkataan ulama, yang
tentunya mereka lebih layak kita ikuti sebagai berikut:
وَرَدَ حَدِيْثُ جَابِرٍ : عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ
وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ أَيَّامٍ، عِنْدَ الطَّبْرَانِيِّ فِي الْأَوْسَطِ 6708
والصغير والبيهقي 8/324 وفي الشعب وغيرهما ولا يصح.
Bersumber dari Sahabat Jabir
Rodhiyallohu ‘anhu:” Telah mengakikah Rasulullah S.A.W Hasan dan Husain dan
Beliau megkhitan keduanya pada hari ketujuh (dari kelahiran keduanya)”. (H.R.
Attabaraniy al-Ausath (6708) dan al-Baihaqiy (8/324) kitab Syu’ab al-Iman dan
selain keduanya, namun hadis tidak shaheh”[6].
Pendapat ulama
tentang waktu khitan:
a.
Bekata Imam Mawardi
Rahimahulloh dari
kalangan Syafi’iyah: Waktu Khitan ada dua, yaitu: Waktu wajib dan waktu sunat,
adapun waktu wajib dilakukan setelah masuk masa baligh dan waktu sunat
dilakukan sebelum baligh dan yang waktu yang terbaik adalah pada hari ketujuh
dari kelahiran bayi (boleh dilewatkan jika Nampak tidak sanggup untuk dikhitan
kepada waktu yang lebih memumngkinkan untuk dikhitan[7])
, jika sudah lewat hari ketujuh, maka dilakukan hari ke empat puluh, jika sudah
lewat empat puluh hari, maka dilakukan pada umur tujuh tahun. Laki-laki
yang sudah wafat dan belum dikhitan maka tidak wajib dikhitan lagi karena akan
menyulitkan[8].
b.
Berkata Imam al-Haramain
Rahimahulloh: Tidak wajib sebelum sampai umur baligh, sebab bayi belum di
bebani hukum untuk beribadah.
c.
Berkata Imam Abul Faraj
al-Sarokhsyi Rahiimahulloh dari kalangan Hanafiyah: Lebih baik anak dikhitan
pada umur sebelum mumayyiz (sebelum umur tujuh tahun) karena kulitnya masih
relative lentur dibandingkan setelah mumayyiz, kulitnya sudah lebih keras dan
dibolehkan khitan melewati umur mumayyiz.
d.
Berkata Imam Malik
Rahimahullah: Sebaiknya anak dikhitan semasa kecil yaiu sekitar umur tujuh
tahun sampai sepuluh tahun demikian juga pendapat kalangan Hanabilah [9].
Waktu yang paling
baik untuk berkhitan dikalangan ulama:
a.
Umur bayi tujuh hari (Kalangan Sya’fi’iyah)
b.
Antara umur tujuh sampai
sepuluh tahun (kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah).
c.
Makruh khitan pada umur
tujuh hari karena menyerupai kalangan Yahudi menurut kalangan Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah.
Berkata Imam al-Quthuby: Ulama sejarah
sependapat bahwa Nabiyulloh Ibrahim A.S dikhitan setelah umurnya sudah tua[10].
Ahli sejarah mengatakan Nabiyyulloh Ibrahim A.S di khitan ketika sudah berumur
delapan puluh tahun[11].
Yang lebih aneh kaum Nashrani
(Kristen) enggan melakukan khitan, bahkan mereka menganggapnya sebagai aib bagi
yang berkhitan dan menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan jika tidak
berkhitan. Kemudian meninggalkan berkhitan termasuk prinsip keagamaan
bagi mereka[12].
(B). HUKUM AL-KHIFADH
(memotong sedikit ujung clitoris) bagi wanita
Memotong sedikit ujung clitoris
pada kewanitaan perempuan, semenjak dulu pemotongan ujung clitoris dikenal juga
dengan “khitan” di sebagian kabilah Arab bila merasa ujung clitorisnya
terlalalu panjang, maka mereka terpaksa memotongnya. Masalah “khitan”
bagi wanita dapat disimpulkan pada empat kategori:
Pertama :Memotong ujung clitoris
pada kewaniataan perempuan karena alasan kesehatan
Kedua :Memotong ujung clitoris
karena ingin mengurangi gangguan gesekan pada pakaian
yang dapat membuat lebih sensitive
karena terlalu keluar dan para wanita merasa kurang nyaman.
Ketiga : Karena
alasan agama, bertujuan untuk kebersihan (thoharoh).
Keempat : Karena tuntutan
kebiasaan dan budaya.
Memotong clitoris pada kewanitaan perempuan hukumnya relative. Apabila pemotongan
itu mengakibatkan hilangnya sensitivitas seksual maka hukumnya haram dan
apabila untuk bertujuan mengurangi sensitivitas karena clitoris menonjol keluar
maka merupakan kemuliaan bagi perempuan tanpa menghilangkan sensivitasnya. Jika
untuk kebersihan maka wajib untuk dipotong tanpa menghilangkan sensifitas
seksual, karena hal itu membahayakan bagi wanita[13].
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 1 Jumadil Awal 1429 H/
7 Mei 2008 M telah menetapkan Fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap
perempuan sbb:
Pertama:
Status hukum Khitan Perempuan:
1. Khitan baik laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah
(aturan) dan syiar Islam.
2. Khitan terhadap perempuan adalah makromah,
pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kedua : Hukum Pelarangann khitan terhadap Perempuan
Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan
ketentuan syariah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk
fitarah (aturan Alloh) dan syiar Islam.
Ketiga : Batasan atau cara Khitan Perempuan
Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya
menghiangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi clitoris
2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara
berlebihan sepertii memotong atau melukai clitoris (insisi dan eksisi) yang
mengakibatkan dhoror (bahaya)
Keempat
: Rekomendasi
1. Meminta kepada pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang
masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen
Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk
melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa[14].
Bagi orangtua yang memiliki anak perempuan yang baru
lahir agar berhati-hati dan memperhatikan apakah anaknya dikhitan oleh bidan
yang menanganinya, karena bagi wanitapun berkhitan hukumnya wajib, namun cara mengkhitannya
berbeda dengan laki-laki, tidak boleh memotong clitoris secara berlebihan,
cukup membuang katup paling ujung clitoris, sebagaimana kita jelaskan diatas.
KUTIPAN FATWA MAJELIS
ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG KHITAN WANITA
HUKUM PELARANGAN KHITAN
TERHADAP PEREMPUAN
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 9A Tahun 2008
Tentang
HUKUM PELARANGAN KHITAN TERHADAP PEREMPUAN
Majelis Ulama Indonesia, setelah :
MENIMBANG : a. bahwa dewasa ini terjadi penolakan
oleh sebagian masyarakat terhadap khitan perempuan;
b. bahwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Cq. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat telah mengeluarkan Surat Edaran tentang
Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan;
c. bahwa telah terjadi keragaman praktik khitan
perempuan di masyarakat karena ketidak-fahaman batas yang dikhitan;
d. bahwa terhadap persoalan tersebut Kementerian
Pemberdayaan Perempuan telah mengajukan permohonan fatwa kepada MUI;
e. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam
syariat Islam, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum pelarangan
khitan terhadap perempuan.
MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT. :
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7ø‹s9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $Zÿ‹ÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
“Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. An-Nahl [16] : 123)
ô`tBur
ß`|¡ômr&
$YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ó™r& ¼çmygô_ur ¬!
uqèdur Ö`Å¡øtèC
yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $Zÿ‹ÏZym 3 x‹sƒªB$#ur
ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz
ÇÊËÎÈ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa [4] : 125)
ö@è% s-y‰|¹ ª!$# 3
(#qãèÎ7¨?$$sù s'©#ÏB tLìÏdºtö/Î) $Zÿ‹ÏZym $tBur
tb%x.
z`ÏB tûüÏ.ÎŽô³çRùQ$# ÇÒÎÈ
“Katakanlah: "Benarlah (apa yang
difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah
dia termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Ali Imran [3] : 95)
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$#
‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù
ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur
ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ
3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî
ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran
[3] : 31)
ö@è% (#qãè‹ÏÛr& ©!$#
š^qß™§9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$#
Ÿw
=Ïtä† tûïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÌËÈ
“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran
[3] : 32)
2. Hadis-hadis Nabi SAW :
عَنْ أَبِيْ الْمَلِيْحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيْ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلَّنِسَاءِ (رواه أحمد في مسندة)
“Bahwa Nabi SAW bersabda : Khitan merupakan
sunnah (ketetapan rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi
perempuan”. (HR. Ahmad)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ مَرْفُوْعًا بِلَفْظِ : يَانِسَاءَ الْأَنْصَارِ اخْتَضِيْنَ غَمْسًا وَاخْتَفِضْنَ وَلَاتُنْهِكْنَ وَإِيَّاكُنَّ وَكُفَّرَانَ النِّعَامِ
Dari Abdullah ibn
Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Wahai wanita-wanita Anshor warnailah kuku
kalian (dengan pacar dan sejenisnya) dan berkhifadhlah (berkhitanlah) kalian,
tetapi jangan berlebihan”. (As-Syaukani dalam Nail al-Author)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah istri
Nabi SAW ia berkata : “Apabila bertemu dua khitan maka wajiblah mandi, aku dan
Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (HR At-Turmudzi, Ibnu
Majah dan Imam Ahmad dari ‘Aisyah RA)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاتُنْهِكِيْ فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu
‘Athiyyah RA diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang sunat/khitan,
lalu Rasulullah SAW bersabda kepada perempuan tersebut: “Jangan berlebihan,
sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai
lelaki (suaminya)”. (HR. Abu Daud)
عَنِ الضَّحَّاكِ بن قَيْسٍ، قَالَ :
كَانَتْ بِالْمَدِينَةِ امْرَأَةٌ تَخْفِضُ النِّسَاءَ، قَالُ لَهَا أُمُّ
عَطِيَّةَ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
"اخْفِضِي، وَلَا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى
عِنْدَ الزَّوْجِ".
Dari adh-Dhahhak
bin Qais bahwa di Madinah ada seorang ahli khitan wanita yang bernama Ummu
‘Athiyyah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Khifadllah (khitanilah) dan
jangan berlebihan, sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan
suami”. (HR. At-Tabrani dri adh-Dhahhak)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً الْفِطْرَةُ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالْاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima perkara
yang merupakan fitrah manusia : khitan, al-Istihdad (mencukur rambut pada
sekitar kemaluan), mencukur bulu ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis”. (HR. Jama’ah
dari Abu Hurairah RA).
3. Ijma’ Ulama
Seluruh
Ulama sepakat bahwa khitan bagi perempuan merupakan hal yang disyari’atkan.
4. Kaidah Fikih
لَا اجْتِهَادَ مَعَ النَّصِّ
“Tidak ada ijtihad ketika ada nash”
MEMPERHATIKAN :
1. Fuqaha madzhab sepakat pensyariatan khitan
terhadap perempuan dengan menjelaskan mengenai khitan terhadap perempuan dan
tata caranya, yang antara lain dimuat dalam Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn
Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah, juz 21 hal. 144), I’anah
al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, juz 4, hal. 174), Hawasyi al-Syarwani
(Beirut: Dar al-Fikr, juz 1, hal. 142), Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dar
al-Fikr, juz 4, hal. 202, Minhaj al-Thalibin (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
juz 1, hal. 136), al-Bahr al-Raiq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 1, hal.
61), Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 10, hal. 340 dan 347), “Aun
al-Ma’bud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 14, hal. 123), Nail
al-Authar (Beirut: Dar al-Jail, juz 1, hal. 137), dan Tuhfah al-Ahwadzi
(Beirut: Dal al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 8, hal. 28). Hanya saja, para fukaha
berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya; madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah menyatakan sunah, sedangkan Syafi’iyyah menyatakan wajib, yang antara
lain tercantum dalam :
a. Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni :
فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى
الرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ.
“Khitan itu wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi
perempuan adalah suatu kemuliaan/kebaikan, tidak wajib bagi mereka” (Ibnu Qudamah,
al-Mughni, [Kairo: Maktabah al-Qohiroh, TT[, h. 64).
b. Aun
al-Ma’bud, juz 14, hal. 125 :
"...
وَقَدْ أَخَذَ بِظَاهِرِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٌ فَقَالَ سُنَّةٌ مُطْلَقًا
وَقَالَ أَحْمَدُ وَاجِبٌ لِلذَّكَرِ سُنَّةٌ لِلْأُنْثَى وَأَوْجَبَهُ
الشَّفِعِيَّ عَلَيْهِمَا
“...Berdasarkan
zhahir hadis, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hukum khitan adalah sunah
secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), Imam Ahmad berpendapat wajib
bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat
wajib atas keduanya”.
c. Nail
al-Authar, juz 1, hal. 138 :
واخْتُلِفَ فِيْ وُجُوْبِ الْخِتَانِ فَرَوَى الْإِمَامُ يَحْيَ عَنِ الْعَتِرَةِ وَألشَّافِعِيُّ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ وَاجِبٌ فيْ حَقِّ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَعِنْدَ مَالِكٍ وَأَبْيْ حَنِيْفَةَ وَالْمُرْتَضَى قَالَ النَّوَوِيُّ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ سُنَّةٌ فِيْهِمَا وَقَالَ النَّاصِرُ وَالإِمَامُ يَحْيَ أَنَّهُ وَاجِبٌ فِيْ الرِّجَالِ لَاالنِّسَاءِ
Ada perbedaan
tentang kewajiban khitan. Imam Yahya, Imam al-Syafi’i dan kebanyakan Ulama
menyatakan bahwa khitan wajib bagi lelaki dan perempuan. Demikian juga menurut
Malik dan Abi Hanifah. Imam Nawawi memandang khitan hukumnya sunah bagi lelaki
dan perempuan. Imam al-Nashir dan Imam Yahya menyatakan bahwa khitan wajib bagi
laki-laki, tidak bagi perempuan.
d. I’anah
at-Thalibin, juz 4, hal. 198 :
(قوله:
وَالْمَرْأَةُ الخ) أَيْ وَالْوَاجِبُ فِيْ خِتَانِ الْمَرْأَةِ قَطْعُ جُزْءٍ
يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْخِتَانِ وَتَقْلِيْلُهُ أَفْضَلُ لِخَبَرِ أَبِيْ
دَاوُدَ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ (ص) قَالَ لِلْخَاتِنَةِ: أَشِـمِّي وَلَا تَنْهَكِيْ
فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ أَيْ لِزِيَادَتِهِ فِيْ
لَذَّةِ الْجِمَاعِ، وَفِيْ رِوَايَةِ: أَسْرَى لِلْوَجْهِ أَيْ أَكْثَرُ
لِمَائِهِ وَدَمِهِ.
Yang diwajibkan
dalam mengkhitan perempuan adalah memotong bagian yang harus dikhitan.
Diutamakan dalam mengkhitan perempuan untuk menggores sedikit saja dari bagian
yang harus dikhitan, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan lainnya : bahwa
Rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: khitanlah dengan sedikit
dan jangan berlebih-lebihan. Khitan bagi perempuan lebih membahagiakan
perempuan dan lebih disenangi bagi suami; dalam pengertian menambah kenikmatan
hubungan badan. Dalam suatu riwayat lebih menceriakan wajah, yakni lebih banyak
aura dengan aliran air muka dan darah.
e. DR.
Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu : “Khitan
pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada
bagian atas farj. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh
memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi
tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama”. (Wahbah az-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus : Daar al-Fikr al-Islami] Jilid I, h.
356)
f. Syaikh
Jad al-Haq Syaikh al-Azhar, Buhust wa Fatawa Islamiyah fi Qhadhaya Mu’ashirah.
وَمِنْ هُنَا: اتَّفَقَتْ كَلِمَةُ
فُقَهَاءِ الْمَذَاهِبِ عَلَى أَنَّ الْخِتَانَ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ
فِطْرَةِ الْإِسَلَامِ وَشَعَائِرِهِ، وَأَنَّهُ أَمْرٌ مَحْمُوْدٌ، وَلَمْ
يَنْقُلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْمَا طَالَعْنَا مِنْ
كُتُبِهِمْ الَّتِيْ بَيْنَ أَيْدِيْنَا – قَوْلٌ يَمْنَعُ الْخِتَانَ لِلرِّجَالِ
أَوِالنِّسَاءِ، أَوْعَدَمُ جَوَازِهِ أَوْإِضْرَارُهُ بِالْأُنْثَى، إِذَا هُوَ
تَـمَّ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ عَلَّمَهُ الرُّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِأُمِّ حَبِيْبَةَ فِـىْ الرِّوَايَةِ الْمَنْقُوْلَةِ اٰنِفًا. أَمَّا
الاِخْتِلَافُ فِـيْ وَصْفِ حُكْمِهِ، بَيْنَ وَاجِبٍ وَسُنَّةٍ وَمَكْرُمَةٍ،
فَيَكَادُ يَكُوْنُ اخِتْلَافًا فَـيْ الاِصْطِلَاحِ الَّذِيْ يَنْدَرِجُ تَحْتَهُ
الْحُكْمُ.
Dari keterangan
ini dapat disimpulkan bahwa seluruh mazhab dalam fikih sepakat bahwa
sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan
syi’ar Islam. Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang
penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang
melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan,
atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi
perempuan. Hal tersebut karena telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah sebagaimana riwayat yang dilansir di depan.
Sedangkan adanya perbedaan dalam tata cara (sifat) dan hukumnya antara wajib,
sunnah, atau makramah, maka semata-mata perbedaan tersebut dalam istilah yang
ada di bawahnya.
2. Penjelasan
dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan RI, Ikatan Bidan
Indonesia (IBI), dan Prof. DR. Jurnalis Udin dalam rapat Komisi Fatwa MUI, yang
pada intinya menggambarkan adanya resiko khitan perempuan disebabkan oleh tata
cara khitan yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’.
3. Pendapat
Komisi Fatwa dalam rapat tanggal 9 Desember 2006/18 Dzulqo’dah 1427 H, tanggal
3 Mei 2008, dan tanggal 7 Mei 2008.
Dengan memohon ridha Allah SWT,
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM PELARANGAN KHITAN TERHADAP
PEREMPUAN
Pertama : Status Hukum Khitan Perempuan
1. Khitan,
baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan
syi’ar Islam.
2. Khitan
terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu
bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kedua : Hukum Pelarangan Khitan terhadap
Perempuan
Pelarangan khitan terhadap perempuan
adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah karena khitan, baik bagi
laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syi’ar Islam.
Ketiga : Batas atau Cara Khitan Perempuan
Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap
perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Khitan
perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium)
yang menutupi klitoris.
2. Khitan
perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau
melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.
Keempat : Rekomendasi
1. Meminta
kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai
acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan
kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan
pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan
ketentuan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 1 Jumadil Awal 1429 H
7 Mei 2008 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
DR. H.M. Anwar Ibrahim, MA Drs.
H. Hasanuddin, M.Ag
2. MENCUKUR BULU ARI-ARI
Yang dimaksud dengan bulu ari-ari adalah
rambut yang tumbuh disekitar qubul (kemaluan depan) dan dubur
(kemaluan belakang) laki-laki maupun perempuan.
3. MENGGUNTING ATAU MERAPIKAN KUMIS
Kumis ialah: Rambut yang tumbuh diatas bibir
bagin atas. Telah sepakat ulama mengatakan bahwa memanjangkan kumis hukumnya
makruh dan mengguntingnya sampai nampak pinggir-pinggir bibir atas hukumnya
sunat.
Batas-batas menggunting bulu kumis menurut
pandangan ulama:
-
Sebagian ulama
berpendapat memendekkan kumis lebih afdhal, tanpa berlebihan sampai
mencukur atau cukup dengan menggunting.
-
Sebagian berpendapat
mencukur lebih afdhal.
-
Sebaian berpendapat
menggunting atau mencukur sama-sama baik.
-
Sebagian pendapat
mengatakan mecukur kumis hukumnya makruh ya’ni cukup merapikannya dengan
menggunting.
Menurut penulis:
Merapikan kumis baik dengan mencukur maupun dengan menggunting adalah sama
baiknya, yang terpenting kumis jangan disengaja dipanjangkan sampi melewati
garis bibir bagian atas, karena yang demikian itu menyerupai orang-orang kafir[15].
Hukum memanjangkan jenggot
Makna memanjangkan jenggot ialah:
Membiarkannya tumbuh tanpa mencukurnya. Hukum memanjangkan jenggot sunat dan
bersandar kepada hadis mutawatir. Dalilnya bersumber dari perbuatan dan
perkataan Nabi S.A.W. Maka tidak seyogyanya seorang muslim meninggalkan sunnah
ini apalagi kalangan ustadz, ulama dan orang tua.
Menurut kami jenggot adalah tumbuh sesuai
fitrahnya maka tidak boleh melawan fitrah, sekurang-kurangnya bagi yang
ditumbuhi jenggot agar memelihara jenggot dan merapikannya, walaupun tidak
membiarkannya tumbuh sepanjang-panjangnya, sebab terlalu panjang tanpa menjaga
kerapian jenggot, juga tidak enak di pandang orang lain. Maka peliharalah
jenggot dengan menjaga kerapian.
4. MEMOTONG KUKU
Memotong kuku disunnahkan bagi laki-laki
maupun kaum perempuan, dan sengaja memanjangkan kuku hukumnya makruh karena
melanggar sunnah Nabi S.A.W. Memanjangkan kuku akan membantu berkumpulnya
kotoran pada celah kuku dan kulit. Memanjangkan kuku tidak termasuk bahagian
dari berhias, sebagaimana sebagian orang menganggapnya sebagai perhiasan
terutama bagi wanita, mereka banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengatur
kuku, bahkan banyak diantara mereka yang menghamburkan uang hanya untuk
mewarnai kuku.
Sangat perlu diketahui oleh para remaja,
pewarna kuku yang boleh digunakan oleh wanita hanya berupa inai yang tidak
menghalangi masuknya air wuduk, adapun menggunakan kutek atau berupa cat yang
dapat mengahalangi masuknya air, maka hukumnya haram, karena akan dapat
menghalanginya untuk melaksanakan shalat karena wuduknya tidak sah.
Laki-laki dilarang menggunakan inai karena
inai perhiasan wanita, adapun kebiasaan memakai inai bagi laki-laki ketika
melangsungkan pernikahan merupakan budaya yang menyalahi syariat Islam dan
haram dilakukan. Laki-laki boleh memakai inai karena alasan untuk mengobati
penyakit atau kebutuhan tertentu bukan untuk berhias.
5. ISTINJA’ DAN CARANYA
Kata “istinja’ “ berasal dari kata “najaa” yang berarti
berupaya membuang atau menghilangkan kotoran dari tempat keluarnya. Disebagian
daerah menyebut kotoran manusia dengan “tinja” serapan dari bahasa Arab “Istinja’ “.
I. Cara Istinja’
a.
Meyakinkan diri terlebih
dahulu bahwa kotoran atau najis sudah keluar dengan tuntas.
b.
Bagi laki-laki sebaiknya
terlebih dahulu mengurut bagian pangkal bawah zakarnya sampai ke ujung
sekurang-kurangnya satu kali sebelum membasuhnya dengan air yang mengalir.
c.
Bagi wanita cukup
menunggu sebentar setelah terasa selesai keluar najisnya secara tuntas tanpa
perlu mengurutnya.
d.
Kemudian membasuh tempat
keluar najis dengan mengalirkan air bukan mengoleskan air sampai hilang lendir
dan baunya.
e.
Istinja’ boleh
menggunakan benda kesat seperti batu, tisu yang ditebalkan dan agak dikeraskan
atau kertas yang dapat mengisap, terutama saat dalam perjalanan sewaktu berada
dalam dipesawat atau kendaraan lainnya, dengan ketentuan menjaga najis tidak
berserakan kepada bagian tubuh lainnya.
f.
Sebaik-baik istinja’
adalah dengan menggunakan benda kesat seperti tissu, batu atau kertas terlebih
dahulu baru kemudian membasuhnya dengan mengalirka air.
II. Membersihkan persambungan sendi-sendi dan sela-sela persambungan tubuh
Didalam hadis disebut dengan “barajiim” yaitu: Persambungan
seluruh jari-jari dan termasuk diantaranya: Selangkangan pada lengan tangan dan
kaki, persambungan telinga bagian belakang, lobang hidung, lobang pusat,
sela-sela jari-jari, sela-sela antara kuku dengan kulit, pangkal kelopak mata
dan yang sangat penting diperhatikan wanita lapisan kemaluan demikian juga
krutan dubur baik laki-laki maupun wanita.
III.
Membersihkan mulut dengan
bersiwak (gosok gigi).
Diantara
yang paling banyak mengganggu manusia adalah aroma yang tidak sedap yang keluar dari mulut. Ada
beberapa sebab kenapa mulut menjadi bau, diantaranya:
a.
Adanya luka atau sebab
alergi pada bagian kulit dalam mulut.
b.
Malas membersihkan
sisa-sisa makanan yang tinggal di celah-celah gigi.
c.
Malas menggosok gigi atau
bersiwak
d.
Karena memakan makanan
atau minuman yang dapat membuat mulut berbau seperti: Makan bawang mentah,
makan durian, makan jengkol atau petai dan minum minuman beralkohol.
e.
Kebiasaan merokok, asap
atau bau rokok jauh lebih menyengat dan lebih mengganggu dibandingkan bau
makanan yang makruh lainnya, oleh sebab itu hukum merokok pun relatif lebih
berat daripada hanya sekedar makan jengkol atau bawang putih, sebab sejenisnya
masih dapat memberikan manfaat bagi yang memakannya. Sementara merokok tidak
hanya membahayakan kesehatan tapi juga adanya tabzdir dan melemahkan ekonomi
keluarga. Oleh sebab itu hukumnya dapat di simpulkan sebagai berikut:
Pertama :
Makruh, hukum yang paling rendah jika
tidak membahayakan kesehatannya.
Kedua :
Haram ‘arodhy (kasuistik), yaitu merokok dihadapan khalayak lain yang dapat mengganggu orang lain.
Ketiga :
Haram lizdatih, yaitu: Diharamkan merokok atas dirinya karena sudah
menggangu kesehatannya, adanya pentabdziran dan melemahkan ekonomi keluarga,
penulis lebih cendrung kepada kategori ketiga ini bahwa hukum merokok hukumnya
haram, walaupun MUI telah memutuskan keharamannya lebih melihat kepada kondisi (kondisional).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
memutuskan melalui Ijtima’ Ulama Komisi-komisi Fatwa se Indonesia di Padang
Panjang pada tanggal: 26 Januari 2009 M/ 29 Muharrom 1430 H[16], sebagai berikut:
B. KETENTUAAN HUKUM
1.
Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa MUI se Indonesia III sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai hukum
merokok, yaitu antara makruh dan haram (Khilaf ma bayna al-Makruh wa
al-Harom)
2.
Peserta Ijtima’
Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika
dilakukan:
a.
Ditempat umum
b.
Oleh anak-anak
c.
Oleh wanita hamil[17].
IV.
Memperhatikan kebersihan
dan kerapian rambut.
Disunnahkan memperhatikan
kerapian rambut, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Diantara perhatian
terhadap rambut sebagai berikut:
a.
Membasuh dan mencuci
rambut ketika dibutuhkan, agar tidak menjadi sarang bagi kutu dan kuman
lainnya.
b.
Menyisir dan menhilangkan
kekusutan pada rambut dan boleh membiarkan rambut dalam satu ikatan bagi
perempuan dan lebih baik mengkepangnya atau menyanggulnya.
c.
Boleh mencat rambut
dengan inai yang sudah didominasi uban (putih) dengan warna pirang (warna inai)
dengan menggunakan inai yang masih memungkinkan air masuk ke pori-pori rambut,
adapun mencat rambut dengan inai yang belum didominasi uban hukumnya haram, sedangkan cat
rambut yang menghalangi air masuk kepori-pori seperti cat
rambut yang banyak dipakai para artis sekarang hukumnya juga haram digunakan.
Tidak
boleh (haram hukumnya) mencat
atau mewarnai rambut dengan warna hitam atau warnna-warni yang lainnya baik
laki-laki maupun perempuan[18]
.
d.
Diharamkan bagi laki-laki
atau perempuan memakai rambut palsu.
e.
Diharamkan bagi laki-laki
atau perempuan menyambung rambut atau meletakkan sanggul palsu, baik dalam
pesta maupun dalam kehidupan sehari-hari.
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم:" لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ" رواه
البخاري ومسلم
Bersabda
Rasulullah S.A.W:”Rasululloh S.A.W telah mela’nat orang yang berprofesi
untuk menyambung rambut dan yang meminta untuk disambung rambutnya[19]”.
f.
Haram mentato bagian dari
tubuh manapun, haram mencabut alis mata dan haram mejarangkan gigi atau
mengubahnya seperti menjadikannya mirip gigi kelinci yang banyak dilakukan para
artis untuk kecantikan.
قد ثبت عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم:
"لَعَنَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِصَاتِ،
وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحَسَنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى.
Telah dinyatakan dalam hadis bersumber dari
Abdullah Bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu, sesungguhnya Nabi S.A.W :”Telah
mela’nat para pembuat tato dan para pelanggan tato, mela’nat para pencabut alis
mata dan pelakunya, mela’nat orang-orang yang menjarangkan gigi karena
kecantikan yang mengubah-ubah ciptaan Alloh Ta’ala[20]”.
g.
Haram bagi laki-laki menyerupai
perempuan baik pada berpakaian, perkataan, gerak-gerik atau penampilan lainnya seperti
dalam berakting didepan kamera.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:" لَعَنَ اللهُ الْمُتَشَبِّهِيْنَ
مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ".
“ Telah mela’nat Alloh laki-laki yang menyerupai
wanita, mela’nat wanita yang menyerupai laki-laki[21]”.
Gambaran Rambut Nabi SAW dalam berbagai Hadis
Rasululloh S.A.W sebagai contoh tauladan
bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam menjaga rambut, sebagaimana
dijelaskan dalam berbagai hadis Nabi S.A.W sebagai berikut:
1.
Rambut Nabi Beliau
panjangkan sampai kulit telinga bagian bawah:
1- قال البراء: (كَانَ رسول الله صلى الله
عليه وسلم لَهُ شَعْرٌ يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ) متفق عليه. وفي صحيح مسلم (كَانَ
شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ).
Berkata
al-Bara’ Rodhiyallahu ‘anhu: Adalah Rasululloh S.A.W memiliki rambut sampai
bagian bawah telinga (H.R.Bukhori dan Muslim).
2.
Rambut Nabi S.A.W Beliau
panjangkan sampai antara telinga dan bahu:
2- يطيله إلى ما بين أذنه ومنكبه وهي (اللمة): قال أنس بن مالك رضي الله عنه: (كَانَ
شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ) متفق عليه.
وقالت عائشة: (كَانَ شَعْرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَوْقَ الْوَفْرَةِ وَدُوْنَ
الْجَمَّةِ) رواه أبوداود والترمذي.
Berkata
Anas Rodhiyallohu ‘anhu: Adalah rambut Rasululloh S.A.W diantara kedua bahu dan
kedua telinga-Nya”. (H.R. Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Tirmidziy).
3.
Rambut Rasululloh S.A.W
menyentuh bahu-Nya:
3- يُطِيْلُهُ إِلَى مَنْكِبَيْهِ وَهِيَ (الْجَمَّةُ): فَعَنْ أَنَسِ رضي الله
عنه (أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ)
متفق عليه. وَهَذَا هُوَ الْغَالِبُ عَلَى شَعْرِهِ.
Bersumber dari Anas Rodhiyallohu ‘anhu:” Sesungguhnya rambut Nabi
S.A.W sampai menyentuh dua bahu-Nya”. (H.R. Bukhori dan Muslim). Ulama
menyebutkan : Inilah kebiasaan rambut Rasululloh S.A.W.
Tidak ada dijelaskan dalam sunnah Nabi bahwa beliau
pernah memanjangkan rambut melewati bahunya seperti wanita, dan kebiasaan
Beliau memotong rambut ketika sudah menyintuh bahu, adapun yang mengatakan
Rasululloh S.A.W pernah mengepang (dhofirah) rambutya dalam kitab
al-Sunan, hadisnya tidak shoheh dan Imam Bukhari mengatakan sanadnya terputus.
Dengan demikian tidak boleh dijadikan dasar karena bertentangan dengan yang
paling soheh.
Demikian juga Rasululloh tidak membiasakan
dirinya untuk mencukur rambutnya kecuali hanya ketika selesai tahallul umrah
atau haji. Oleh karena itu kebiasaan mencukur rambut bukan sunnah hukumnya tapi
mubah karena tuntutan tertentu.
Hukum
memanjangkan rambut
Ulama berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan rambut tidak
melewati bahu apakah sunnah[22]
atau mubah[23]
saja:
Pendapat Pertama: Memanjangkan
rambut sampai bahu hukumnya sunnah, pendapat yang masyhur pada kalangan Hanabilah.
Berkata Imam al-Murodiy dalam kitab al-Inshof: Disukai (mustahab) membiarkan
rambut tidak dicukur lebih baik daripada mencukurnya menurut pendapat yang soheh
dalam madzhab, demikian juga Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughniy. Hujjah
dalam hal ini: Hadis Riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ
كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ) رواه أبو داود
“Barang siapa diantara kamu yang memiliki rambut maka hendaklah ia
memuliakannya”.
Dan diriwayatkan
Abu Daud bersumber dari Abdullah Ibnu Umar:
. وما رواه ابن عمر أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى صَبِيًّا
قَدْ حَلَقَ بَعْضَ شَعْرِهِ وَتَرَكَ بَعْضَهُ فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ:
(احْلِقُوْهُ كُلَّهُ أَوْ اتْرُكُوْهُ كُلَّهُ) رواه أبوداود.
“Sesungguhnya
Nabi S.A.W melihat seorang anak kecil telah mencukur sebagian rambutnya dan
meinggalkan sebagiannya, lalu Rasulullah S.A.W melarang hal tersebut dan Ia
berkata: Cukurlah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”.
Pendapat kedua: Memanjangkan
rambut tidak melewati bahu hukumnya Mubah.
Pendapat ini masyhur dikalangan
Hanafiyah dan juga masyhur dikalangan sebagian Hanabilah, demikian juga Ibnu
Abdil Barr mengatakan mubah memanjangkan rambut. Yang mengatakan mubah, mereka
beranggapan bahwa Nabi S.A.W memanjangkan rambut bukan menunjukkan sunnahnya
tapi dari bab kebiasaan (adat) yang tidak disyariatkan untuk mencontohnya,
sebab tidak ada perkataan Rasulullah yang menjelaskan demikian. Pendapat kedua
ini juga didukung oleh hadis riwayat Abu Daud dan Nasai dari Wail Bin Hajar ia
berkata:
قَالَ: (أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم وَلِيْ شَعْرٌ طَوِيْلٌ فَلَمَّا رَآنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ
الْغَدِ فَقَالَ: إِنِّيْ لَمْ أَعْنِكَ وَهَذَا أَحْسَنُ).
Saya (Wail Bin Hajar) menemui Nabi S.A.W dan aku memiliki rambut
panjang, ketika Rasulullah S.A.W melihatku, Ia berkata:” Seperti lalat,
seperti lalat?” Wail bekata: Akupun pulang dan aku memotongnya, kemudian
besok aku mendatangi Nabi, Beliaupun berkata: Saya tidak bermaksud untuk kamu
potong tapi ini lebih baik”.
وَقَالَ الطَّحَاوِيُّ فِي مُشْكِلِ الْآثَارِ:
(فَكَانَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ عَنْ رَّسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا قَدْ
دَلَّ عَلَى أَنَّ جَزِّ الشَّعْرِ أَحْسَنُ مِنْ تَرْبِيَّتِهِ وَمَا جَعَلَهُ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم اَلْأَحْسَنُ كَانَ لَا شَيْءَ أَحْسَنُ مِنْهُ . وَوَجَبَ
لُزُوْمُ ذَلِكَ الْأَحْسَنُ وَتَرَكَ مَايُخَالِفُهُ).
Berkata Imam Atthohawiy dalam Kitab Musykil al-Athar: Maka yang ada
pada hadis dari Rasululloh ini menunjukkan memendekkan rambut lebih baik daripada
memeliharnya, sesuatu yang dijadikan Rasulullah lebih baik maka tidak ada yang
lebih baik dari itu dan wajib mengikuti itu dan meninggalkan yang menyalahi
perintahnya.
Pendapat ketiga: Penyatuan
kedua pendapat dan tarjih.
Dengan menyatukan kedua pendapat diatas maka yang muncul adalah
pemahaman yang lebih kuat bahwa Nabi S.A.W memanjangkan rambut kembali kepada
adat kebiasaan di zaman Nabi yang tidak menimbulkan imege atau opini negative.
Dengan artian laki-laki dikala itu tidak danggap sebagai mencontoh-contoh
perempuan atau mencontoh kebiasaan orang kafir. Jika memanjangkan rambut dianggap
cendrung kepada feminisme atau menyerupai kebiasaan orang kafir disatu tempat
maka bagi laki-laki muslim haram memanjangkan rambut sampai bahu di tempat ia
tinggal, namun jika memanjangkan rambut sampai bahu disatu tempat tidak
dianggap feminisme, maka memanjangkannya tidak haram.
Sebagai ilustrasi dan contoh untuk keturunan Asia tenggara pada
umumnya tidak ditumbuhi jenggot atau jambang, jika laki-lakinya memanjangkan
rambut sampai bahu, maka akan cendrung kepada feminisme dibandingkan keturunan
India dan Arab yang pada umumnya ditumbuhi jenggot dan jambang, maka bagi
kebanyakan keturunan Asia Tenggara haram memanjangkan rambut karena cendrung
kepada feminisme dan bagi keturunan yang ditumbuhi jenggot dan jambang hukumnya
mubah atau boleh-boleh saja selama tidak dianggap menyerupai wanita. Penulis
menyimpulkan beberapa kesimpulan dalam masalah memanjangkan rambut sampai bahu
bagi laki-laki:
1.
Hukumnya haram jika
cendrung menyerupai wanita.
2.
Hukumnya haram jika
mencontoh kebiasaan orang kafir.
3.
Hukumnya mubah tidak
sunnah jika terhindar dari menyerupai wanita dan terhindar dari budaya orang
kafir.
4.
Memanjangkan rambut
melewati bahu hukumnya haram bagi laki-laki muslim karena sudah jelas
menyerupai wanita.
5.
Lebih baik memendekkan
rambut laki-laki daripada memanjangkannya.
Sedangkan untuk para wanita muslimah juga berlaku hukum atas mereka
dalam beberapa kesimpulan:
1.
Haram bagi wanita
memendekkan rambut diatas bahu jika menyerupai kebiasaan laki-laki, karena
batas rambut laki-laki yang mubah sampai batas menyentuh bahu.
2.
Haram memendekkan rambut
bagi wanita muslimah diatas bahu jika menyerupai kebiasaan wanita-wanita kafir.
3.
Haram bagi wanita
muslimah memendekkan rambutnya tanpa seizin suaminya.
4.
Makruh bagi wanita muslimah
memendekkan rambut sampai menyentuh kedua bahunya tanpa ada alasan apapun.
5.
Mubah atau boleh bagi wanita memendekkan
rambutnya sampai dibawah bahu sedikit, untuk kebutuhan tertentu seperti: Agar
mudah diurus, untuk berhias dihadapan suami. Dalil yang dapat dijadikan hujjah
dalam hal ini Hadis Riwayat Muslim (320) bersumber ari Abu Salamah R.A :
"كَانَ
أَزْوَاجُ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم يَأْخُذْنَ مِنْ رُّؤُوْسِهِنَّ حَتَّى تَكُوْنُ
كَالْوَفْرَةِ"
“ Adalah
istiri-istiri Nabi S.A.W mereka menjadikan rambut mereka sampai menyentuh bahu atau
dibawah bahu sedikit”.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Soheh
Muslim (4/5) mengomentari hadis ini: Hadis inilah dalilnya boleh bagi wanita
memendekkan rambut mereka (sampai sedikit dibawah bahu). Wallohu
‘A’lam bi Al-Showab.
TANYA
JAWAB
NO: |
SOAL |
JAWABAN |
1. |
Apakah ada batasan waktu untuk memotong
kuku, mencabut bulu ketiak, bulu ari-ari dan yang lainnya?. |
1.
Tidak ada batasan waktu untuk melakukan hal tersebut, namun yang lebih baik
bagi setiap muslim untuk memperhatikannya dari jumat kejumat berikutnya, dan
dimakruhkan baginya tidak memotongnya melewati 40 hari, sebagaimana dalam
hadis Riwayat Muslim:”Telah menetapkan bagi kami waktu memotong kumis,
kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar kami tidak
membiarkanya lebih 40 malam”. |
2. |
Apakah Istiri boleh menggunakan obat atau
zat tertentu untuk menghilangkan rambut menggantikan mencabut atau mencukur ? |
2.
Boleh, asalkan tidak membahayakan bagi kesehatan. |
3. |
Apakah penggunaan kutek atau cat di kuku
wanita atau laki-laki dapat menghalangi sahnya wudhuk? |
3.
Ya, dapat menghalangi air wudhuk untuk menyerap kepori-pori kuku, bagi wanita
wajib untuk memastikan air tidak terhalang untuk mengenai kuku ketika
berwudhuk, apalagi ketika dia jinabah atau habis dari haidh . |
4. |
Apakah yang boleh digunakan wanita untuk
mewarnai kukunya? |
4.
Wanita boleh menggunakan inai yang berasal dari daun alami yang tidak
menghalangi masuknya air kekuku. |
5. |
Bolehkah bagi wanita memakai rambut palsu
untuk menutupi auratnya dihadapan laki-laki lain? |
5.
Tidak boleh (haram). |
6. |
Bolehkah memanjangkan kumis agar lebih
nampak kren dan gagah? |
6.
Hukumnya tidak boleh, karena kren itu mengikuti sunnah Nabi dan menjaga
kebersihan. |
7. |
Bolehkah bagi wanita mencabut alis mata atau
mengukir atau menyulamnya? |
7.
Tidak boleh, dilakukannya untuk dirinya atau melakukan untuk orang lain dan
termasuk diantara perbuatan yang dilaknat Alloh. |
[1] Tafsir Al-Thabri;20/336-340, Tafsir Ibnu Katsir; 6/488-489, Al-Jami’ Li Ahkamil Quran;14/252-253, Fathul Qodir; 4/437.
[2] Tafsir Ibnu Katsir; 6/489.
[3] H.R; Bukhori, Muslim, Ahmad dan al-Ashhab al-Sunan.
[4] H.R. Muslim
[5] Prof. DR. Muhammad al-Zuhaily, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 66-67/1, Daar Al-Qolam, Damascus Syria 1432H/2011M
[6] Al-Hafizd Ibnu Hajar mengisyaratkan hadis riwayat al-Hakim dan al-Baihaqiy dari Aisyah dalam kitab Attalkhish dan pada tahqiq Subulussalam dan Nail al-Author dari Aisyah namun tidak menyebut khitan.
[7] Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 67
[8] Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’I, h; 67/1, Prof. DR. Muhammad al-Zuhaily, Daar Al-Qolam, Damascus Syria 1432H/2011M
[9] Fathul Bari;10/349 dst.
[10] Ushul al-Mu’asyirah al-Zaujiyah, al-Qadhi al-Syeikh Muhammad Kan’an, 209, Daar Al-Basyair al-Islamiyah, Bairut1418 H/1997M.
[11] Ibid;209
[12] Islam Dihujat Menjawab Buku The Islamic Invasion, Hj. Irene Handono, et al. Hal; 350; Apa hukumnya bersunat?. Kata Paulus, sunat tidak wajib, tidak berguna dan tidak penting (Galatia 5:6, 1 Koriintus 7:18-19).
[13] H.R. Ibu Majah dan al-Daar al-Quthni dari Abi Sa’id al-Khudri:” Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
[14] Himpunan FATWA MUI sejak 1975, h. 229-237, Penerbit Erangga Jakarta 2011.
[15] Agama Sikh di India, Agama Hindu dan kalangan Yahudi melarang keras untuk mencukur kumis, jenggot dan semua bulu yang tumbuh dibadan, sedangkan orang-orang Kristen menganjurkan agar mereka mencukur kumis dan jenggot dan pemuka agama Budha mewajibkan mencukur dan membotak kepala baik laki-laki maupun wanita. Umat Islam berada ditengah-tengah penganut agama-agama itu semua dengan memperhatikan fitrah dan kesucian.
[16] Dalam Ijtima’ tersebuat penulis ikut serta membahas dan menetapkan fatwa yang cukup dinamis dan banyak perbedaan pandangan dari peserta rapat sampai ke rapat paripurna, namu ayoritas peserta cendrung mengaramkan merokok.
[17] Himpunan FATWA MUI sejak 1975, h. 895-897, Penerbit Erangga Jakarta 2011.
[18] Dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan yang maknanya: “Rasululloh S.A.W telah melarang mencat rambut dengan warna hitam”
[19] H.R. Bukhari dan Muslim
[20] H.R. Bukhari, Muslim dan ash-hab al-Sunan
[21] H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah.
[22] Makna sunnah menurut ulama ushul Fiqh: Berpahala melakukannya namun tidak berdosa meninggalkannya
[23] Makna mubah menurut ulama ushul: Tidak berpahala mengerjakannya namun juga tidak berdosa meninggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar