Kamis, 09 Januari 2025

LANJUTAN AUTOBIOGRAFI DAN LINTAS PERJALANAN HIDUP H. SALMAN ABDULLAH TANJUNG, MA

 

Contoh-Contoh Perguruan Islam Yang Menganut Metode Tradisional (Salafiyah) Dan Masih Exsis Sampai Saat Ini.

Perguruan Islam Darul Ulum Deoband

D

arul Ulum Deoband berdiri pada tahun 1283 H / 1866 M, pendirinya adalah Maulana Muhammad Qasim an-Nanutuwi di salah satu kampung terpencil terletak disebelah utara India.

Di tahun 2000 kita pernah berziarah ke kampus Darul Ulum Deoband ini. Sepengamatan kita lokasi ini saat itu sudah dipadati penduduk mayoritas muslim. Pertama-tama yang dapat kita simpulkan dari lokasi ini nampak jelas imej keislaman yang begitu kental dikalangan penganut Islam ditempat ini, mulai dari berpakaian cadar bagi wanita, kesederhanaan, cara berpakain anak muda nampak seluruhnya berpakaian muslim. Setiap sudut kampung nampak banyak toko-toko buku yang dijual dengan harga yang sangat murah. Pelajar-pelajar di kawasan ini sangat peka terhadap pengamalan sunnah. Sebut saja salah satu contoh ketika bepapasan dengan seorang mahasiswa yang sedang masuk kedalam masjid untuk melaksanakan shalat ashar, ketika itu jamaah sudah bubar, tapi ada beberapa orang siswa yang menghafal Alquran memperhatikan bagaimana kami masuk kemasjid, diantara kami ada yang masuk dengan mendahulukan kaki kiri, kami pun langsung dinasehati bahwa Rasulullah SAW ketika masuk masjid mendahulukan kaki kanan, dan menyebutkan hadisnya.

Darul Ulum Deoband lokasinya terbuka tidak dipagari, rumah-rumah masyarakat menyatu dan membaur dengan kompelek ma’had/kampus. Ma’had ini dapat menjadi salah satu cara islamisasi yang paling sederhana, melalui percontohan yang baik dari masyarakat kampus. Ternyata cara itu sangat berhasilmenjalankan dakwah bilhalnya dan mampu mempengaruhi masyarakat sekitarnya.

Ma’had Darul Ulum Dioband sudah lama menjadi tujuan para pecinta Ilmu pengetahuan, terutama bagi pecinta hadis Nabi SAW untuk mengambil sanad hadis yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah SAW,  dari berbagai negara disamping dari warga India sendiri seperti: Afganistan, Tasyken, Bukhara, Russia, Azerbaijan, Tibet, Cina, Arab dan Asia Tenggara walaupun itu hanya sekadar mengambil sanad hadis dengan cara munawalah (ijazah). Dan tak jarang pula hanya sekedar ziarah atau meneliti.

Institusi ini hanya dapat dukungan biaya dari para tangan-tangan baik, berupa infak dan sedekah, sehingga dapat berdiri dengan kokoh tanpa mengharap bantuan dari pihak luar, bahkan mampu memfasilitasi siswa/mahasiswanya tanpa bayaran walaupun itu sangat sederhana.

Ulama-ulama terkenal yang memiliki jasa terhadap Darul Deoband diantaranya : Syeikh Rasyid Ahmad al-Ganghuni, Syeikh Rafi’uddin ad-Deobandi, Syeikh Asyraf Ali at-Tahawani mereka termasuk generasi penggagas pertama. Kemudian generasi penerus mereka bermunculan hasil dari pengkaderan mereka seperti : Maulana Muhammad Ya’kub an-Nanutuwi, Syeikh Mahmud al-Hasan ad-Deobandi, Syeikh Anwar al-Kasymiri dan Maulana Hussin Ahmad al-Madani.

Ma’had ini masih exsis dan berdiri kokoh dengan metode tradisonal (Salafiyah), yang pada umumnya masih menggunakan kelas halaqah dan masih sedikit menggunakan cara madern seperti: Menggunakan bangku dan meja. Seandainya Darul Ulum Deoband mengikuti modernisasai pendidikan, maka pusat pendidikan Islam akan tinggal nama dan kenangan.

Madrasah Mazdahirul Ulum di Kota kecil : Saharanpur

M

adrasah ini didirikan tidak lama setelah berdirinya Darul Ulum Deoband yaitu pada tahun 1283 H. Pendirinya Maulana Sa’adat Ali As-Saharanpuri, kemudian Madrasah ini mencapai kegemilangannya berada dibawah kepemimpinan Maulana Muhammad Mazhar an-Nanutuwi sampai-sampai retingnya diatas Darul Ulum Deoband.

Mazdadahirul Ulum telah mampu melahirkan ulama-ulama hadis yang sangat mumpuni dan berkaliber muhadditsin sebut saja umpamanya :

 

1.       Syeikh al-Hadis Maulana Ahmad Ali

2.      Syeikh al-Mirati

3.      Maulana Habib ar-Rahman Bin Syekh Ahmad al-as- Saharanpuri

4.      Maulana Khalil Ahmada as-Saharanpuri penulis Kitab : Badzlul Majhud Fi Syarhi Abi Daud. Beliau menjadi pilar dan insfirator untuk menarik minat bagi pecinta ilmu hadis yang berdatangan ke madrasah ini.

5.      Syekh Muhammad Yahya Kandahlawi murid setia dan kesayangan Maulana Khalil Ahmad as-Saharanpuri.

6.      Syeikh hadits Maulana Muhammad Zakaria al-Kandahlawi ulama terkenal anak dari Syeikh Muhammad Yahya Kandahlawi yang telah menulis kitab berharga : Aujazul Masalik Ila Muwattha’ Malik dalam 6 jilid besar. Kitab Hayat as-Shahabat, Fadhail as-Shodaqah, Fadhail as-Shalah dan lain-lain yang menjadi kitab-kitab bacaan bagi kalangan jamaah tabligh.

Sayyid Rasyid Ridha pernah menyebutkan : “Kalau bukan karena perhatian saudara-saudara kita dari  ulama-ulama India terhadap ilmu hadits di zaman sekarang ini, niscaya ilmu hadits sudah hilang dan lenyap dari kota-kota ilmu di timur tengah, sungguh telah surut ilmu ini di Mesir, Iraq, Hijaz semenjak abad kesepuluh Hijriah”.

Contoh Perguruan Islam Yang Menganut Metode Moderndan Masih Exsis Sampai Saat Ini

K

ita ambil salah satu contoh dari Universitas Islam modern yaitu : Universitas Islam Aligharh, yang diprakarsai oleh Sir Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawan, dibangun diatas lokasi cukup luas di satu kampung yang bernama Aligharh sebelah utara India dan masuk di bawah negara bagian Uttar Paradesh.

Pada Awalnya Universitas ini dibangun, untuk menjembatani antara aliran pemikiran konvensional dengan aliran modernis, yang akan menjadi lebih kreatif dan inovative, sehingga dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Cita-cita ini ternyata berhasil, sehingga menjadi sebuah Universitas Islam terkenal di India sampai kemanca negara. Universitas ini telah banyak mencetak ilmuan-ilmuan dibidang umum seperti bidang kedokteran, bahasa, pertanian, teknologi, ekonomi dan lain-lain, tapi disayangkan ilmu-ilmu agama hanya sebatas pelengkap saja, nampak tidak ada keseimbangan antaradisiplin ilmu-ilmu agama dengan bidang keilmuan bersifat umum. Sehingga kecenderungan berpikir mahasiswanya dibawa kearah berpikir liberal baik dari segi ekonomi, sosial dan pemahaman keagamaan. Namun masih beruntung para mahasiswanya banyak yang belajar di Universitas ini berasal dari mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi Islam lainnya, yang dianggap mumpuni pemahaman terhadap keagamaan, seumpama dari alumni Darul Ulum Nadwatul Ulama, Darul Ulum Deoband yang mana kedua Perguruan Tinggi ini merupakan penyeimbang bagi Universitas Aligarh dan Universitas Jami’ al-Islam Almillia.

Oleh karena itu kebanyakan mahasiswa yang berasal dari sejenis Darul Ulum Nadwatul Ulama dan Darul Ulum Deoban dan sejenisnya ikut serta sebagai mahasiswa di Universitas ini hanya sekedar untuk mendapatkan gelar akademik yang qualified dan diakui ijazahnya, atau hanya sekedar menambah pengalaman ilmiyah dibidang satu keilmuan. Penerapan Bahasa Arab di Universitas ini tidak jauh berbeda dengan Universitas-Universitas Islam di Indonesia, jika ditemukan pakar bahasa Arab di Universitas tersebut, mahasiswa pada umumnya yang sudah pernah mengecap pendidikan di ma’had-ma’had Islam swasta sejenis Darul Ulum Nadwatul Ulama dan Deoband.

Sistem pendidikan menganut pola modern seperti di Barat, yang sangat banyak mempengaruhi pola pikir bahkan merobah kebijakan berpikir kearah liberalisme. Maka dari itu dibidang pemikiran dan pemahaman keagamaan di Universitas ini selalu menjadi kritikan-kritikan pedas dari kalangan yang berasal dari Perguruan Tinggi Islam sejenis Nadwatul Ulama dan Deoband, dan yang paling terdepan menantang pemikiran sejenis Universitas Aligarh adalah Darul Ulum Deoband. Dan yang menjadi penengahnya adalah Darul Ulum Nadwatul Ulama.

Sir Sayyid Ahmad Khan dan rekan-rekannya termasuk diantara yang terjebak pada pemikiran barat yang sangat liberal dan cenderung melogikakan agama, seperti masih banyak mempertimbangkan kedudukan dan kebenaran Alquran dan Sunnah Nabi, seperti mengingkari akan wujudnya jin walaupun itu sudah merupakan ketetapan yang ril dan ijma’ ulama bahkan orang awam sekalipun mengakui adanya jin.

Setelah berdirinya Universitas Aligarh, kemudian menjamur perguruan-perguruan tinggi yang sejenisnya, yang satu arah metode dan pola pikir modern seperti : Jami’ al-Islam Al-Millia New Delhi, Zdakir Husain College di Kota New Delhi, al-Kulliyah al-Jadidah (NewCollege) di Madras, al-Kulliyah al-Islamiyah di Vaniyam Badi, Kulliah Jamal Ahmad Turichina Palli, al-Kullyah al-Ustmaniyah Kornol Hayderabad dan Kulliyah al-Farooq Malabar.

Kesederhanaan Dan Ketawadu’an

Para Ulama India

 

P

ada kedatangan pertama, kami sampai di kota Lucknow di tahun 1997, yang pertama-tama kita saksikan adalah kesederhanaan dan ketawadu’an para ulamanya yang hanya menghabiskan sehari-harinya untuk ilmu dan ibadah, tinggal di perumahan yang dibangun oleh yayasan dengan rata-rata ukuran 7 x 15 meter, dengan fasilitas yang sangat sederhana. Gaji dosen atau guru perbulan antara 2.500 Rupe India atau sekitar Rp. 500.000, Indonesia sampai 4.000,- Rupe India atau sekitar Rp.700.000,- Indonesia. Rumah kecil dan gaji kecil untuk satu keluarga terkadang dengan anak rata-rata 5 sampai 7 orang.

Ulama terkenal saat itu Maulana Abul Hasan Ali al-Hasani An-Nadwi, termasuk salah satu pencetus dan pendiri Rabithah al-Alamil Islami, yang sangat terkenal diberbagai Perguruan Tinggi dunia, ulama yang disayangi oleh ummat Islam India dan disegani oleh ilmuan-ilmuan non muslim dunia, beliau juga sangat dihormati oleh penguasa India dan penguasa-penguasa dunia lainnya, banyak menulis dalam berbagai judul, baik dalam pengantar Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Urdu dan Persia. Alhamdulillah saya pribadi masih diberi anugerah untuk berjumpa beberapa tahun walaupun saat itu beliau sudah sangat tua dan sudah dibebas tugaskan sebagai staf pengajar, dan hanya dibolehkan keluarga menghadiri pertemuan-pertemuan penting skala Nasional maupun Internasional.

Ulama yang satu ini selalu disebut oleh ulama-ulama Arab seperti Dr. Yusuf Qordhowi dan Dr. Wahbah Zuhaily, Dr. Sa’id Amadhan al-Bouthy dan lainnya dengan sebutan “Imam”, atau dengan perbandingan : ”Alam berkumpul dalam diri satu orang laki-laki”  yakni Imam Abul Hasan Ali An-Nadwi.

Siapa saja yang melihat tokoh ini, yang pertama-tama dia akan melihat sosok dan karakter Sayidina Umar Bin Khatthab R.A ada pada ulama yang satu ini. Karena kesederhana-annya, dia sebenarnya dari kafasitasnya yang luar biasa pantas menjadi seorang kaya raya, tapi dia meninggalkan kekayaannya dengan menyumbangkan semua yang dimilikinya, mulai dari hasil-hasil karyanya, hadiah-hadiah International Award dibidang keilmuan dari berbagai pemimpin-pemimpin dunia seperti dari Raja Faisal, Kuwait, Emirat Arab, Malaysia, Berunai Darussalam,Oxsfort University dan itu terjadi dengan berulang-ulang, menurut sepengetahuan saya dari berbagai sumber dan cerita dari dosen-dosen saya di Lucknow ulama yang satu inilah yang paling banyak memperoleh hadiah dari pemimpin-pemimpin Islam dunia sampai saat sekarang ini.

Kediamannya di Darul Ulum Nadwatul Ulama sangat sederhana, rumah agak besar dibandingkan rumah guru/dosen lain  disamping masjid Ma’had Darul Ulum, beberapa kali saya menziarahi beliau dirumahnya di Darul Ulum membawa kawan-kawan dan saya sebagai juru bicara, beliau duduk diatas tikar biasa, dirumahnya tidak ada kursi sopa, tidak ada televisi, hanya ada sebuah kulkas kecil. Beliau bertanya kepada saya, kamu dari mana, saya duduk persis disampingnya, Saya Jawab : Saya dari Indonesia, diapun langsung bercerita dan mengatakan : Saya sedih!,  saya belum pernah ke Indonesia, saya sangat mencintai Indonesia, tidak ada yang mengundang saya kesana karena Pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan pertemuan untuk membahas isu ummat Islam, walaupun saya termasuk pencetus Rabithah Alam al-Islami. Namun ada teman saya yang saya kenal namanya : Muhammad Nastir, kami selalu berjumpa di pertemuan Rabithah Alam al-Islami diberbagai pertemuan, dia adalah orang baik.

Kesederhanaannya langsung mengingatkan saya kepada Sayyidina Umar Bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz R.Ah. Dalam satu kunjungan Perdana menteri India Mr. Atal Bihari Vajvay saat itu datang menjenguk beliau dirumahnya, dengan rombongannya hanya disambut diatas tikar biasa, tidak ada upacara khusus bagi sekaliber Perdana Menteri. Kemudian dengan kesaksian saya secara langsung beliau di ziarahi oleh Sonia Ghandi yang pada saat itu merupakan rivalitas Vajvay, yang kemudian menjabat Perdana Menteri India, juga demikian disambut dengan apa adanya, tanpa ada persiapan khusus. Kedua pemimpin itu saya saksikan dengan jarak sangat dekat. Yang selalu terukir dalam ingatan saya dan tergambar beginilah gambaran Sayyidina Umar di temui oleh Hurmuzan raja Persia ketika ia dihadirkan dihadapan Umar, beliau sedang tidur dibawah pohon kurma didepan masjid Nabawi ketika itu, tanpa ada pengawal pribadi atau penjaga.

I.      Tempat Kelahirannya

Abul hasan Ali An-Nadwi lahir pada 06 Muharram 1333 H / 1914 M sebagian orang ada yang menyebutkan beliau lahi r pada tahun 1913 M.

Hidup ditengah-tengah keluarga yang sangat agamais dari keluarga saleh dan dikenal keturunan ilmuan, dari keluarga terhormat, nasabnya bersambung dengan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Lahir di satu sudut pedalaman jauh dari perkotaan di kampung Takiah Raiy Breyli sebelah utara India provinsi Uttar Paradesh. (Penulis Pernah dua kali ziarah ke kediamannya dan pernah tidur dirumahnya satu malam dan qiamullail lebih kurang satu pekan di masjidnya, dari beliau kami membaca mukaddimah Kutub Assittah, Musnad Imam Ahmad dan Muwattha’ Imam Malik.Yaitu pada bulan Ramadhan dimasjid yang dibangunnya tidak jauh dari rumahnya, merupakan tempat tujuan orang banyak untuk I’tikaf dan qiamu al-lail pada bulan Ramadhan, pada tempat inilah saya pernah ikut qiam al-Lail bersama para hafidz quran, imamnya membaca 2 juz sampai 4 juz dalam satu rakaat ).

Ijazah Dan Sanad Kutub Assittah, Musnad Ahmad Dan Muwattha’ Imam Malik Muttashil Sampai Sayidina Muhammad SAW

Ijazah Sanad Hadits Sunan Attirmidzi dari Syaikhi Mahbub Arrahman Al-Azhari Annadwi Rahimahullahu Ta’ala.

 

 

 


Ijazah Sanad Hadits Kutub Assittah, Saheh Bukhari, Muslim, Sunan Attirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan Annasai Muwattha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad dari Syikhi Al-Imam Abul Hasan Ali Annadwi Rahimahullah Ta’ala..

Nama ayahnya : Sayyid Abdul Hayyi al-Lucknawi pakar dalam ilmu kedokteran, juga salah satu orang penting di Yayasan Nadwatul Ulama, ayahnya membuka praktek disamping sebagai pembina di Darul Ulum Nadwatul Ulama. Saudaranya yang paling besar seorang tokoh pendidikan Dr. Abdul Ali al-Hasani dan dipercaya sebagai ketua umum yayasan Nadwatul Ulama. Ibunya bernama : Khairunnisa’ putri dari Syeikh Sayyid Dhiya’ al-Nabi.

Ayahnya sebagai seorang ulama dan  disamping itu juga berprofesi sebagai seorang dokter, beliau juga dikenal piawai dalam menulis dalam bahasa Arab diantara kitabnya paling masyhur “Nuzhat al-Khowathir wa-Annawazhir, konsentrasi pada sejarah ulama-ulama India dan para bangsawannya terdiri dari delapan jilid besar.

Pamannya bernama hafidz Ubaidillah. Ayahnya wafat ketika umurnya baru mencapai 9 tahun pada tahun 1341 H / 1923 M, lalu ia diasuh abang kandungnya yang paling besar Dr. Abdul Hayyi dan pamannya Hafidz Ubaidillah.

Abul Hasan an-Nadwi hidup ditengah-tengah para ulama  yang amat dikenal gigih dan ikhlas, keluarganya juga dikenal dekat dengan tokoh ulama dan para pemimpin diantaranya seperti : Amir Sayyid Nur al-Husain al-Bofali anak paling besar Allamah Shadiq Hasan Khan al-Qanuji Gubernur Bofal, Allamah al-Rabbaniy Sayyid Abdussalam al-Wasithi, Pangeran Syeikh Habib al-Rahman Khan al-Syirwani, Syekh Gulam Muhammad al-Syamlawi, al-Ustadz Abdul Majid al-Diryabadi, Allamah Sulaiman An-Nadwi,Syeikh Hasan Khan Syeikh hadis dan dekan salah satu fakultas di Darul Ulum, Dr. Muhammad Iqbal yang telah pernah diziarahinya sewaktu ia masih anak muda dan ia jatuh cinta pada syair-syairnya.

Semasa kecilnya Abul Hasan telah banyak menyaksikan pergolakan-pergolakan besar dinegerinya seperti : Kepindahannya ke kota Lucknow dan dimulainya belajar dengan sangat disiplin, dia juga menyaksikan pergolakan dalam mempertahankan Khilafah Islam, yang pada akhirnya Khilafah Islam dibubarkan  pada 30 Maret 1924 M, pada saat itu merupakan pergerakan yang sangat keras sehingga bangkitnya ummat Islam India untuk menuntut hak-haknya. Pada masa-masa kritis ini bermunculanlah tokoh-tokoh besar untuk melawan kolonialisme Inggris seperti : Muhammad Ali, Syaukat Ali dan Mahatma Gandhi.

Abul Hasan mulai belajar Bahasa Arab, Persia dan Inggris semenjak kecil, demikian juga dengan belajar Alquran dibawah bimbingan ibundanya yang telah menghafal sebagian surat-surat panjang. Dia berkonsentrasi dalam Bahasa Arab dibawah bimbingan Syeikh Khalil Bin Muhammad, dikala masih anak-anak sudah mulai belajar Sastra Urdu. Diantara gurunya ustadz Abdul Hayyi al-Faruqi, ustazd Tafsir dan Syeikh Muhammad Tholhah al-Hasani yang merupakan pakar ilmu Bahasa Arab dan sastera. Pada tahun 1927 M Abul Hasan terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Lucknow, kala itu ia masih berumur 13 tahun, sungguh umur yang sangat muda untuk umur anak kuliah.

Perjalanan ilmiahnya dimulai pada tahun 1927 M dari kampungnya Raiy Bereliy ke kota Lucknow, kemudian menuntut ilmu berlanjut ke kota Lahore dengan salah satu keluarganya al-Ustadz Sayyid Ibrahim an-Nadwi sambil menziarahi Suami bibinya Sayyid Tholhah, sekaligus mempertemukannya dengan para ulama dan tokoh intelektual. Pada waktu itu kota Lahor merupakan pusat budaya, pusat Sastra dan pusat media cetak di anak benua India.

Disana dia berjumpa dan kenal dengan sastrawan Dr. Muhammad Iqbal, kemudian ia bertemu dengan penyair Hafidz Jalindahri, bertemu dengan Syeikh besar Maulana Ahmad Ali Lahore dan salah satu dekan Fakultas Syeikh Muhammad Syafiq.

Diwaktu yang tepat sekembalinya ia ke kota Lucknow, dia menghabiskan waktu untuk belajar hadits di Darul Ulum Nadwatul Ulama dibawah bimbingan Syeikh Haidar Hasan Khan al-Thunkiy, ketika itu hadir seorang ulama pakar dalam Bahasa Arab danSastera Syeikh Taqiyuddin al-Hilali berasal dari Maroco. Hasil belajarnya dari Ustadz Taqiyyuddin, Abul Hasan mulai menulis makalah dalam bentuk Bahasa Arab, dan ia mencoba menerjamahkan buku-buku berbahasa Urdu ke Bahasa Arab. Diantara makalah yang dialih bahasakannya kedalam Bahasa Arab makalah Amir Jama’ah Ahli Hadis Syeikh Daud al-Goznawi kemudian ia perlihatkan kepada Syeikh Taqiyyuddin al-Hilali yang kemudian dia kirim ke meja Sayyid Rasyid Ridha di Mesir, kemudian disebarkan di Majallah ”al-Manar” yang mendapat apresiasi penuh dari Syeikh Rasyid Ridha.

Abul Hasan dari kecil sudah menjadi kutu buku dan senang membaca majalah Arab yang dikirim dari berbagai negara seperti majalah : “Ummul Qura’ dari Makkah, “Fata al-Arab” dari Damascus, “al-Jamiah al-Islamiyah” dari Pelastina, “al-Manar”, “al-Hilal”, “al-Muqtathof”, “Majalah al-Zahra’”, “al-Majma’ al-Ilmi”, “al-Irfan”, “al-Fath” dan lain-lain.

Dimasa mudanya Abul Hasan kembali ke Lahore dan belajar dengan Syeikh besar Ahmad Ali al-Lahore, dari Lahore menuju Deoband untuk belajar hadis ditangan Syeikh Husain Ahmad al-Madani yang mengajarkan Shaheh Bukhari dan Sunan at-Tirmidzi.

I.      Tenaga Pengajar di Darul Ulum Nadwatul Ulama

Pada tahun 1934 M beliau diangkat sebagai tenaga pengajar di Darul Ulum Nadwatul Ulama, umurnya saat itu baru mencapai 20 tahun, dan ia dipercaya untuk memegang mata kuliah Bahasa dan Sastera Arab dan Tafsir.

Disamping mengajar di Darul Ulum dia juga aktif menulis, bakatnya menulis sudah terlihat sedari mudanya sehingga tulisan dan karya-karyanya sangat di sukai orang banyak di Nadwatul Ulama. Dia tertarik dengan gaya dan uslub menulis buku dari karya-karya Ustadz Dr. Ahmad Amin, Syakib Aruslan dan Abdurrahman al-Kawakibi, dia juga tidak ketinggalan menelaah buku-buku politik dan sejarah seperti “Runtuhnya Inperior Roma” “Pergolakan diantara Ilmu dan agama” “Sejarah Peradaban Barat” “Sejarah Falsafah Modern” dan tulisan-tulisan Abul A’la al-Maududi.

II.     Ketenaran dari tempat kelahiran (India)

Untuk memulai fase baru dalam perjalanannya, dia kembali mengadakan perjalanan-perjalanan ilmiah dengan menziarahi pusat-pusat agama di India dan menjajaki tokoh-tokohnya. Dia mencari identitas disetiap organisasi yang ditujunya, bergabung dengan Jamaah Islamiyah yang dipimpin oleh al-Ustadz Abu al-A’la al-Maududi, tidak lama bergabung iapun pamitan untuk meninggalkan organisasi tersebut. Dia juga bertemu dengan para pemimpin jamah tabligh dan yang terpenting pertemuannya dengan syeikh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi pemimpin jamaah tabligh dan ikut  jaulah dalam berbagai dakwah dan pertemuan disana-sini. Walaupun ia menaruh simpati dan mendukung pergerakan jamaah tabligh, diapun minta izin tidak bisa mengikuti pergerakan ini dan dengan minta maaf ia memisahkan diri dari pergerakan ini.

Di umur 20-an tahun dia sudah banyak menulis bernuansa dakwah dalam bahasa Arab. Dalam usia dini sudah menulis satu karya berharga dan mendapat pujian dari berbagai kalangan ulama. Buku pertamanya yang sangat terkenal : ”Madza Khasira al-Alam bi Inhithathi al-Muslimin”.

Pada tahun 1947 M Abul Hasan berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan haji bersama Syeikh Muhammad Bin Yusuf  Bin Syeikh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi pemimpin Jamaah Tabligh, dari sana dia memulai pelebaran dakwah. Disela-sela pelaksanaan haji dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan Syeikh Umar Bin al-Hasan Alu al-Syeikh yang merupakan penerus Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah.

Disaat-saat pelaksanaan haji, terdengar berita bahwa India dan Pakistan terpisah menjadi dua negara, pada 30 Juni 1948 Syeikh Abul Hasan bersama Syeikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi kembali ke India, pada kepulangan mereka berdua bertepatan hari penangkapan Gandhi, yang mengakibatkan terjadinya instabilitas di tanah India.

Penganut Islam pun memunculkan berbagai alternatif : Ada yang mengajak agar tetap menyatu dengan India mempertahan-kan rasa nasionalisme, ada juga yang menginginkan ikut bersama Imprialis Barat dan ada yang berpendapat untuk menegakkan Islam ditanah India sesuai pendapat dan aliran masing-masing. Pada saat genting ini muncullah ide berilian dari Abul Hasan an-Nadwi melalui majalah “al-Furqan” dan majalah ”al-Ta’mir” yangintinya sama dengan pendapat ketua umum Yayasan Majelis Ulama India tidak setuju dengan usulan-usulan yang diajukan pihak-pihak muslim India saat itu, bahkan tidak setuju adanya pemisahan antara India dan Fakistan, sebab akan lebih melemahkan ummat Islam di India dan merugikan dakwah secara politik. Abul Hasan dan rekan-rekan mengajak tokoh-tokoh ulama dan para akademisi muslim dari berbagai institusi yang ada di India untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi ummat Islam.

Pelaksanaan pertemuan tersebut diadakan pada 20 Syawal 1367 H / 26 Agustus 1948 M bertempat di Kampus Darul Ulum Nadwatul Ulama Lucknow. Pertemuan tersebut sangat positif, dan ternyata mendapat sambutan dari kalangan ummat Islam, karena dari setiap diskusi dapat memberikan solusi dan harapan-harapan kedepan, sehingga pertemuan-pertemuan besar dilaksanakan secara kontiniu sampai sekarang ini.

Abul Hasan melalui dakwahnya, juga melakukan hubungan diplomasi dengan tokoh-tokoh ulama Arab dan para pemimpin-pemimpinnya secara kontiniu, baik melalui surat-menyurat atau melalui sela-sela pertemuan Ilmiah.

Pada tahun 1360 H beliau berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan haji kedua kalinya, ditemani Syeikh Abdul Qadir al-Raiy Buri dan beberapa muridnya : Syeikh Abdullah Abbas an-Nadwi, Syeikh Sayyid Ridwan an-Nadwi, Syeik Muhammad Thahir al-Mazhahiri, dan anak kakaknya syeikh Muhammad Rabi’ al-Hasani an-Nadwi dan mereka bertemu dengan para Ahli Bahasa dan Sastra Arab. Ketika itu Abul Hasan juga diminta oleh satu stasiun radio untuk menyampaikan pidato ilmiah melalui udara di Kerajaan Saudi Arabia.

Pada tahun 1370 H / 1951 M Abul Hasan bersama beberapa muridnya melakukan perjalanan menuju Mesir dan mengadakan jalsah bersama para pakar bahasa dan sastera. Dia pun diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato di hadapan organisasi kepemudaan Islam ”Jam’iyah Syubban al-Muslimin” dengan tema ”Al-Alam Ala Muftaraqi at-Thariq” Alam berada pada persimpangan jalan, pada pertemuan itu beliau semakin banyak mengenal lebih jauh para ulama dan cendikiawan muslim di Mesir.

Demikian juga ia menyampaikan pidato di Darul Ulum Cairo dengan tema ”Iqbal Wa Syi’ruhu wa Risalatahu” Iqbal, Syair dan pesan-pesannya dan menyampaikan pidato di Jamiah Fuad al-Awwal dengan tema “Al-Insan al-Kamil ‘Inda Iqbal” Manusia sempurna menurut Iqbal. Pertemuan demi pertemuan dilakukan sampai ke kampung-kampung. Kemudian dia bersama teman-temannya menuju Sudan dan negara-negara Syam.

Di Damascus dan kota-kota lainnya di Syria mengadakan pertemuan dengan para pakar sastera dan bahasa dan mengadakan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan Palestina. Disela-sela perjalanannya di Syam dia menyempatkan diri untuk mengunjungi Baitul Muqaddas dan al-Khalil Ibrahimiyah.

Kemudian ia bersama kawan-kawannya kembali menuju Makkah untuk melaksanakan haji untuk ketiga kalinya, dan mereka tinggal di Saudi Arabia selama 5 bulan.  Ia menyampaikan pidato di stasiun radio di Hijaz, dan ia pun menziarahi Thaif. Perjalanan kali ini dia pada jamuan Syeikh Muhammad surur al-Shubban di temani Syeikh Muhammad Rabi’ al-Hasani an Nadwi dan Syeikh Mu’in an-Nadwi.

Abul Hasan bersama saudaranya kembali ke India pada Oktober 1957 M untuk memulai babak baru dalam dakwahnya. Perjalanan dakwah dan ilmiah ini menghabiskan waktu 6 bulan.

III.           Babak Baru Dalam Menjalani Dakwah

          Sekembalinya ke India, Abul Hasan menerima undangan dari Universitas Damascus dari DR. Mushthafa al-Siba’iy, diapun menghadirinya pada tahun 1956 M. Berulangkali menyampaikan pidato diberbagai pertemuan dan melalui radio. Diantara judul pidatonya : al-Tajdid wa al-Mujaddiduan fi Tarikhi al-Fikri al-Islami” Pembaharuan dan tokoh-tokoh pembaharu dalam sejarah pemikiran Islam, “Muhammad Iqbal Fi Madinah ar-Rasul SAW” Muhammad Iqbal di kota Rasul SAW dan “Isma’iy ya Suriya” dengarlah wahai Syria.

Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bairut dan Tripoli kemudian ke Turki dan kembali ke Damascus untuk satu muktamar yang diundang kembali oleh Dr. Said Ramadhan al-Bouthy, pada pertemuan muktamar tersebut diketuai oleh Dr. Muhammad Nashir Perdana Menteri Indonesia dan wakilnya Syeikh Abul A’la al-Maududi dan al-Ustadz Syeikh Abul Hasan Ali an-Nadwi.

Pada tahun 1960 Abul Hasan menuju “Rangon” memenuhi undangan Qari Abdurrahman al-Qasimi dan tinggal disana selama 1 bulan untuk memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat melalui dakwah. Dia juga pada waktu itu di undang ke Kuwait dan Saudi Arabia untuk menyampaikan pidato-pidato ilmiah di berbagai masjid disana dan melalui radio. Kemudian dia diangkat menjadi staf pengajar di Universitas Islam Madinah, tapi dia menolak dan memilih sebagai anggota majelis Syura untuk Jamiah Islamiyah Madinah.

Pada 14 Dzul Hijjah 1382 H beliau diundang untuk menghadiri muktamar yang akan menjadi cikal-bakal pembentukan OKI (Rabithah al-Alami al-Islami) yang dihadiri kerajaan Saudi, dan terpilih ketua tetap Syeikh Muhammad Bin Ibrahim Abu al-Syeikh dan Abul Hasan terpilih menjadi anggota. Pada perjalanan ini dia menyampaikan beberapa pidato di Jamiah Islamiyah  dan sempat bertemu dengan Raja Faishal Bin Abdul Aziz dan memberikan butir-butir pemikiran tentang Saudi Arabia.

Pada tahun 1383 H / 1963 M melakukan perjalanan menuju Eropa memenuhi undangan Dr. Said Ramadhan al-Bouthy untuk mengikuti muktamar di Jenewa di markaz Islam disana, kemudian dia menziarahi Luzan, Syarbon, Paris, London, Kambrige, Oxsport dan Glasco dan mengadakan pertemuan dengan para ilmuannya dan para orientalis. Dia dapat pengalaman berharga dari Pustaka Beritania dan diminta untuk menyampaikan orasi ilmiah untuk beberapa kali ditempat ini. Beliau meneruskan perjalanan menuju Andalus dan ziarah ke Madrid, Tolitoli, Sevilla (Isybiliya), Qordhova dan Granada (Gornatha).

Pada tahun 1384 H / 1964 M untuk kedua kalinya berkunjung ke Jerman dan beberapa kota disana dan berlanjut ke Amerika dan berdirinya Yayasan Islam di Universitas Oxsport dan mengadakan jamuan umum untuk pendirian tersebut pada 22 Juni 1983 M.

Pada tahun yang sama berlanjut perjalanan menuju Kuwait dan Emirat Arab. Pada waktu itu tepat ada pengalihan Pustaka pribadi Syeikh Abdullah al-‘Ali al-Mahmud menjadi Pustaka umum setelah ia wafat. Pada tahun itu anaknya Dr. Salim mendirikan satu upacara untuk peresmian pustaka tersebut yang dihadiri Hakim wilayah Syariqa (Sarja), Hakim Ajman, Dr. Abdullah Nashib dan Abul Hasan Annadwi sendiri. Kemudian menyampaikan orasi ilmiyah di Al-‘Ain, Sarja dan Abu Dabi. Pada tahun itu juga dia menuju Srilanka dan Aljazair untuk berdakwah.

Pada 5-9 Muharram 1400 H / 26-30 Oktober 1979 M diadakan Muktamar Sirah Nabawiyah di Qatar diikuti oleh para utusan dunia Islam termasuk dari India. Pada 12 Februari 1980Abul Hasan di anugerahi Kerajaan Saudi Arabia berupa hadiah Faisal Award. Hadiahnya dibagi-bagi semuanya untuk tiga Yayasan Islam dan yang membacakan pidato pembukaan muridnya Dr. Abdullah Abbas an-Nadwi.

IV.Kembali ke Tanah India

            Pada tahun 1963 M / 1964 M terjadi instabilitas keamanan di daerah Kalkuta dan pada perbatasan utara India pada tahun 1964 M, yang pada waktu itu banyak mengorbankan ummat Islam mencapai ribuan bahkan puluhan ribu dibunuh dengan sadis.

Sebagian ummat Islam melihat perlu ada pembicaraan diplomasi dengan pemerintah dari pihak Hindu, tapi ternyata usaha itu gagal tanpa menghasilkan apa-apa. Lalu mereka melihat tidak ada kebijakan untuk menyelesaikan secara damai, merekapun memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan perjuangan mati-matian tawakkal Alallah.

Keputusan majelis Syura Ulama-ulama Islam India pada 8-9 Agustus 1964 M untuk mengutus rombongan ke tempat tragedi bersama Syeikh Abul Hasan Ali Nadwi ke Jamshid Pur, ternyata kejadian sangat mengerikan, banyak mayat berdamparan, potongan-potongan tangan dan kaki berserakan.

   Pergerakan dakwahnya semakin hari semakin intens untuk mempertemukan orang Islam dengan orang Hindu, agar mengurangi ketegangan dan mengubah pandangan negatif terhadap ummat Islam, sehingga banyak perubahan sikap dan pandangan terhadap ummat Islam dihadapan mayoritas penganut Hindu.

Berbagai tulisan dan karangan-karangan kitab satu demi satu diterbitkan oleh Abul Hasan an-Nadwi seperti kitab “Jannatul Musyriq wa Mathla’u an-Nuri al-Masyriq” karangan ayahnya, dan ia menulis kitab “al-Shira’u Baina Fikrat al-Islamiyah wa al-Fikrat al-Ghorbiyyah”, “al-Thariqu Ila al-Madinati”, “al-Tarbiyyat al-Islamiyyat al-Hurrah”.

Sebagian penulis berasal dari Arab Makkah al-Mukarramah dan Ahmad Ghawi dari Riyadh yang diedarkan majalah al-Raid edisi 13-14-15-16 tahun 2000 hal 25 mengisyaratkan bahwa Abul Hasan telah menulis dalam berbagai tema dan judul mencapai lebih 700 judul, diantaranya 177 judul dalam bahasa Arab dan yang lainnya dalam bahasa Inggris, Persia dan Urdu.

Abul Hasan an-Nadwi telah menyaksikan berbagai peristiwa besar seperti : Terpecahnya India dengan Pakistan, Perang antara India dan Pakistan tahun 1971 M, Pendudukan Palestina dan lain-lain.

V.           Abul Hasan Ali an-Nadwi di panggil Allah Ta’ala

Pada hari Jumat, saya dan pelajar-pelajar Darul Ulum berangkat menuju masjid Al-Hidayah yang berada didalam kampus, sewaktu hendak melaksanakan shalat tahiyyat al-Masjid saya mendengar tangisan-tangisan rilih, ada yang larut dalam doa di iringi tangisan sedih, ada juga yang larut dalam shalat di iringi dengan tangisan tersesak-sesak. Saya pun larut berpikir dalam shalatku kenapa orang banyak ini khusyuk menangis dalam shalat, alangkah menghayatinya mereka akan makna shalat mereka, itulah yang menjadi pertanyaan dalam hati, sehingga setelah selesai shalat saya pun bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang berasal dari Kasymir tentang apa yang terjadi? Dia menjawab Abu al-Hasan Ali an-Nadwi telah wafat. Tanpa banyak bertanya saya dengan sepontanitas ikut menangis dengan aliran air mata yang sangat deras, sampai membasahi baju jubah yang saya pakai.

Sepanjang hidup saya baru dua kali merasakan terharu dengan sepontanitas mengalirkan air mata yang terasa hangat, pertama sewaktu meninggalkan Damascus syria dan pada waktu wafatnya Abul Hasan Ali an-Nadwi Rahimahullah. Adapun Syria saya jatuh cinta ke negeri Syria, karena negeri ini yang telah memberi saya banyak ilmu pengetahuan dan adapun Abul Hasan saya cintai karena saya menemukan sosok orang wara’, zuhud, banyak ibadah, tawadu’, lautan ilmu, dermawan, sederhana, pemberani, pemersatu ummat, pemikir Islam yang ril dalam kebenaran, tegas tidak aling-aling dalam mempertahankan akidah dan sosoknya mengingatkan seseorang kepada Sayyidina Umar Bin Khattab RA.

Orang baik ini di panggil Allah SWT pada hari jumat, dalam keadaan berpuasa, sedang membaca Alquran dari surat al-Kahfi dan surat Yasin menjelang masuknya waktu shalat jumat, pada 22 Ramdhan 1420 H / 31 Desember 1999 M.

Setelah selesai shalat Jumat kamipun ikut beramai-ramai menuju rumah kediamannya di Raiy Bereyli  ambil bagian untuk ikut menshalatkan orang saleh ini. Saya  ikut kepemakaman yang hanya sekitar 50 meter dari rumahnya, beliau dikuburkan dekat kuburan ayah dan pemakaman keluarganya. Saya juga melihat kuburan orang-orang saleh ini tidak ada satu batu bata pun di letakkan di bagian kuburannya, hanya sebatas tanah yang menonjol sekedar satu jengkal membubung keatas, dan itulah sebaik-baik kuburan Rahimahullah Ta’ala.


Salah satu makam kerajaan Islam, berada didalam benteng merah (Red Port) Kota Agra, makam ini di pernak-perniki dengan batu mutiara beragam warna yang sangat indah. Situs ini sangat menarik untuk dikunjungi

Bersmabung ....

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar