Contoh-Contoh Perguruan Islam Yang Menganut
Metode Tradisional (Salafiyah) Dan Masih Exsis Sampai Saat Ini.
Perguruan Islam Darul Ulum Deoband
D |
arul Ulum Deoband berdiri pada tahun 1283 H
/ 1866 M, pendirinya adalah Maulana Muhammad Qasim an-Nanutuwi di salah satu
kampung terpencil terletak disebelah utara India.
Di tahun 2000 kita
pernah berziarah ke kampus Darul Ulum Deoband ini. Sepengamatan kita lokasi ini
saat itu sudah dipadati penduduk mayoritas muslim. Pertama-tama yang dapat kita
simpulkan dari lokasi ini nampak jelas imej keislaman yang begitu kental
dikalangan penganut Islam ditempat ini, mulai dari berpakaian cadar bagi wanita,
kesederhanaan, cara berpakain anak muda nampak seluruhnya berpakaian muslim.
Setiap sudut kampung nampak banyak toko-toko buku yang dijual dengan harga yang
sangat murah. Pelajar-pelajar di kawasan ini sangat peka terhadap pengamalan
sunnah. Sebut saja salah satu contoh ketika bepapasan dengan seorang mahasiswa
yang sedang masuk kedalam masjid untuk melaksanakan shalat ashar, ketika itu
jamaah sudah bubar, tapi ada beberapa orang siswa yang menghafal Alquran
memperhatikan bagaimana kami masuk kemasjid, diantara kami ada yang masuk
dengan mendahulukan kaki kiri, kami pun langsung dinasehati bahwa Rasulullah
SAW ketika masuk masjid mendahulukan kaki kanan, dan menyebutkan hadisnya.
Darul Ulum Deoband
lokasinya terbuka tidak dipagari, rumah-rumah masyarakat menyatu dan membaur
dengan kompelek ma’had/kampus. Ma’had ini dapat menjadi salah satu cara
islamisasi yang paling sederhana, melalui percontohan yang baik dari masyarakat
kampus. Ternyata cara itu sangat berhasilmenjalankan dakwah bilhalnya dan mampu
mempengaruhi masyarakat sekitarnya.
Ma’had Darul Ulum Dioband
sudah lama menjadi tujuan para pecinta Ilmu pengetahuan, terutama bagi pecinta
hadis Nabi SAW untuk mengambil sanad hadis yang bersambung-sambung sampai
kepada Rasulullah SAW, dari berbagai negara
disamping dari warga India sendiri seperti: Afganistan, Tasyken, Bukhara,
Russia, Azerbaijan, Tibet, Cina, Arab dan Asia Tenggara walaupun itu hanya
sekadar mengambil sanad hadis dengan cara munawalah (ijazah). Dan
tak jarang pula hanya sekedar ziarah atau meneliti.
Institusi ini hanya
dapat dukungan biaya dari para tangan-tangan baik, berupa infak dan sedekah,
sehingga dapat berdiri dengan kokoh tanpa mengharap bantuan dari pihak luar,
bahkan mampu memfasilitasi siswa/mahasiswanya tanpa bayaran walaupun itu sangat
sederhana.
Ulama-ulama terkenal
yang memiliki jasa terhadap Darul Deoband diantaranya : Syeikh Rasyid Ahmad
al-Ganghuni, Syeikh Rafi’uddin ad-Deobandi, Syeikh Asyraf Ali at-Tahawani
mereka termasuk generasi penggagas pertama. Kemudian generasi penerus mereka
bermunculan hasil dari pengkaderan mereka seperti : Maulana Muhammad Ya’kub
an-Nanutuwi, Syeikh Mahmud al-Hasan ad-Deobandi, Syeikh Anwar al-Kasymiri dan
Maulana Hussin Ahmad al-Madani.
Ma’had ini masih exsis
dan berdiri kokoh dengan metode tradisonal (Salafiyah), yang pada
umumnya masih menggunakan kelas halaqah dan masih sedikit menggunakan cara
madern seperti: Menggunakan bangku dan meja. Seandainya Darul Ulum Deoband
mengikuti modernisasai pendidikan, maka pusat pendidikan Islam akan tinggal
nama dan kenangan.
Madrasah Mazdahirul Ulum di Kota kecil :
Saharanpur
M |
adrasah ini didirikan tidak lama setelah
berdirinya Darul Ulum Deoband yaitu pada tahun 1283 H. Pendirinya Maulana
Sa’adat Ali As-Saharanpuri, kemudian Madrasah ini mencapai kegemilangannya
berada dibawah kepemimpinan Maulana Muhammad Mazhar an-Nanutuwi sampai-sampai
retingnya diatas Darul Ulum Deoband.
Mazdadahirul Ulum telah mampu melahirkan
ulama-ulama hadis yang sangat mumpuni dan berkaliber muhadditsin sebut saja
umpamanya :
1.
Syeikh al-Hadis Maulana Ahmad Ali
2.
Syeikh al-Mirati
3.
Maulana Habib ar-Rahman Bin Syekh Ahmad al-as-
Saharanpuri
4.
Maulana Khalil Ahmada as-Saharanpuri penulis Kitab :
Badzlul Majhud Fi Syarhi Abi Daud. Beliau menjadi pilar dan insfirator untuk
menarik minat bagi pecinta ilmu hadis yang berdatangan ke madrasah ini.
5.
Syekh Muhammad Yahya Kandahlawi murid setia dan
kesayangan Maulana Khalil Ahmad as-Saharanpuri.
6.
Syeikh hadits Maulana Muhammad Zakaria al-Kandahlawi
ulama terkenal anak dari Syeikh Muhammad Yahya Kandahlawi yang telah menulis
kitab berharga : Aujazul Masalik Ila Muwattha’ Malik dalam 6 jilid besar. Kitab
Hayat as-Shahabat, Fadhail as-Shodaqah, Fadhail as-Shalah dan lain-lain yang
menjadi kitab-kitab bacaan bagi kalangan jamaah tabligh.
Sayyid Rasyid Ridha
pernah menyebutkan : “Kalau bukan karena perhatian saudara-saudara kita dari
ulama-ulama India terhadap ilmu hadits
di zaman sekarang ini, niscaya ilmu hadits sudah hilang dan lenyap dari
kota-kota ilmu di timur tengah, sungguh telah surut ilmu ini di Mesir, Iraq,
Hijaz semenjak abad kesepuluh Hijriah”.
Contoh Perguruan Islam Yang Menganut Metode
Moderndan Masih Exsis Sampai Saat Ini
K |
ita ambil salah satu contoh dari
Universitas Islam modern yaitu : Universitas Islam Aligharh, yang diprakarsai
oleh Sir Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawan, dibangun diatas lokasi cukup luas
di satu kampung yang bernama Aligharh sebelah utara India dan masuk di
bawah negara bagian Uttar Paradesh.
Pada Awalnya
Universitas ini dibangun, untuk menjembatani antara aliran pemikiran
konvensional dengan aliran modernis, yang akan menjadi lebih kreatif dan
inovative, sehingga dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Cita-cita ini
ternyata berhasil, sehingga menjadi sebuah Universitas Islam terkenal di India
sampai kemanca negara. Universitas ini telah banyak mencetak ilmuan-ilmuan
dibidang umum seperti bidang kedokteran, bahasa, pertanian, teknologi, ekonomi
dan lain-lain, tapi disayangkan ilmu-ilmu agama hanya sebatas pelengkap saja,
nampak tidak ada keseimbangan antaradisiplin ilmu-ilmu agama dengan bidang
keilmuan bersifat umum. Sehingga kecenderungan berpikir mahasiswanya dibawa
kearah berpikir liberal baik dari segi ekonomi, sosial dan pemahaman keagamaan.
Namun masih beruntung para mahasiswanya banyak yang belajar di Universitas ini
berasal dari mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi Islam lainnya, yang dianggap
mumpuni pemahaman terhadap keagamaan, seumpama dari alumni Darul Ulum Nadwatul
Ulama, Darul Ulum Deoband yang mana kedua Perguruan Tinggi ini merupakan
penyeimbang bagi Universitas Aligarh dan Universitas Jami’ al-Islam Almillia.
Oleh karena itu
kebanyakan mahasiswa yang berasal dari sejenis Darul Ulum Nadwatul Ulama dan
Darul Ulum Deoban dan sejenisnya ikut serta sebagai mahasiswa di Universitas
ini hanya sekedar untuk mendapatkan gelar akademik yang qualified dan diakui
ijazahnya, atau hanya sekedar menambah pengalaman ilmiyah dibidang satu
keilmuan. Penerapan Bahasa Arab di Universitas ini tidak jauh berbeda dengan
Universitas-Universitas Islam di Indonesia, jika ditemukan pakar bahasa Arab di
Universitas tersebut, mahasiswa pada umumnya yang sudah pernah mengecap
pendidikan di ma’had-ma’had Islam swasta sejenis Darul Ulum Nadwatul Ulama dan
Deoband.
Sistem pendidikan
menganut pola modern seperti di Barat, yang sangat banyak mempengaruhi pola
pikir bahkan merobah kebijakan berpikir kearah liberalisme. Maka dari itu
dibidang pemikiran dan pemahaman keagamaan di Universitas ini selalu menjadi
kritikan-kritikan pedas dari kalangan yang berasal dari Perguruan Tinggi Islam
sejenis Nadwatul Ulama dan Deoband, dan yang paling terdepan menantang
pemikiran sejenis Universitas Aligarh adalah Darul Ulum Deoband. Dan yang
menjadi penengahnya adalah Darul Ulum Nadwatul Ulama.
Sir Sayyid Ahmad Khan
dan rekan-rekannya termasuk diantara yang terjebak pada pemikiran barat yang
sangat liberal dan cenderung melogikakan agama, seperti masih banyak
mempertimbangkan kedudukan dan kebenaran Alquran dan Sunnah Nabi, seperti
mengingkari akan wujudnya jin walaupun itu sudah merupakan ketetapan yang ril
dan ijma’ ulama bahkan orang awam sekalipun mengakui adanya jin.
Kesederhanaan Dan Ketawadu’an
Para Ulama India
P |
ada kedatangan pertama, kami sampai di kota
Lucknow di tahun 1997, yang pertama-tama kita saksikan adalah kesederhanaan dan
ketawadu’an para ulamanya yang hanya menghabiskan sehari-harinya untuk ilmu dan
ibadah, tinggal di perumahan yang dibangun oleh yayasan dengan rata-rata ukuran
7 x 15 meter, dengan fasilitas yang sangat sederhana. Gaji dosen atau guru
perbulan antara 2.500 Rupe India atau sekitar Rp. 500.000, Indonesia sampai
4.000,- Rupe India atau sekitar Rp.700.000,- Indonesia. Rumah kecil dan gaji
kecil untuk satu keluarga terkadang dengan anak rata-rata 5 sampai 7 orang.
Ulama terkenal saat itu
Maulana Abul Hasan Ali al-Hasani An-Nadwi, termasuk salah satu pencetus dan
pendiri Rabithah al-Alamil Islami, yang sangat terkenal diberbagai Perguruan
Tinggi dunia, ulama yang disayangi oleh ummat Islam India dan disegani oleh
ilmuan-ilmuan non muslim dunia, beliau juga sangat dihormati oleh penguasa
India dan penguasa-penguasa dunia lainnya, banyak menulis dalam berbagai judul,
baik dalam pengantar Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Urdu dan Persia.
Alhamdulillah saya pribadi masih diberi anugerah untuk berjumpa beberapa tahun
walaupun saat itu beliau sudah sangat tua dan sudah dibebas tugaskan sebagai
staf pengajar, dan hanya dibolehkan keluarga menghadiri pertemuan-pertemuan
penting skala Nasional maupun Internasional.
Ulama yang satu ini
selalu disebut oleh ulama-ulama Arab seperti Dr. Yusuf Qordhowi dan Dr. Wahbah
Zuhaily, Dr. Sa’id Amadhan al-Bouthy dan lainnya dengan sebutan “Imam”,
atau dengan perbandingan : ”Alam berkumpul dalam diri satu orang
laki-laki” yakni Imam Abul Hasan Ali
An-Nadwi.
Siapa saja yang melihat
tokoh ini, yang pertama-tama dia akan melihat sosok dan karakter Sayidina Umar
Bin Khatthab R.A ada pada ulama yang satu ini. Karena kesederhana-annya, dia
sebenarnya dari kafasitasnya yang luar biasa pantas menjadi seorang kaya raya,
tapi dia meninggalkan kekayaannya dengan menyumbangkan semua yang dimilikinya,
mulai dari hasil-hasil karyanya, hadiah-hadiah International Award
dibidang keilmuan dari berbagai pemimpin-pemimpin dunia seperti dari Raja
Faisal, Kuwait, Emirat Arab, Malaysia, Berunai Darussalam,Oxsfort University
dan itu terjadi dengan berulang-ulang, menurut sepengetahuan saya dari berbagai
sumber dan cerita dari dosen-dosen saya di Lucknow ulama yang satu inilah yang
paling banyak memperoleh hadiah dari pemimpin-pemimpin Islam dunia sampai saat
sekarang ini.
Kediamannya di Darul
Ulum Nadwatul Ulama sangat sederhana, rumah agak besar dibandingkan rumah
guru/dosen lain disamping masjid Ma’had
Darul Ulum, beberapa kali saya menziarahi beliau dirumahnya di Darul Ulum
membawa kawan-kawan dan saya sebagai juru bicara, beliau duduk diatas tikar
biasa, dirumahnya tidak ada kursi sopa, tidak ada televisi, hanya ada sebuah kulkas
kecil. Beliau bertanya kepada saya, kamu dari mana, saya duduk persis
disampingnya, Saya Jawab : Saya dari Indonesia, diapun langsung bercerita dan
mengatakan : Saya sedih!, saya belum
pernah ke Indonesia, saya sangat mencintai Indonesia, tidak ada yang mengundang
saya kesana karena Pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan pertemuan untuk
membahas isu ummat Islam, walaupun saya termasuk pencetus Rabithah Alam
al-Islami. Namun ada teman saya yang saya kenal namanya : Muhammad Nastir, kami
selalu berjumpa di pertemuan Rabithah Alam al-Islami diberbagai pertemuan, dia
adalah orang baik.
Kesederhanaannya langsung mengingatkan saya kepada Sayyidina Umar Bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz R.Ah. Dalam satu kunjungan Perdana menteri India Mr. Atal Bihari Vajvay saat itu datang menjenguk beliau dirumahnya, dengan rombongannya hanya disambut diatas tikar biasa, tidak ada upacara khusus bagi sekaliber Perdana Menteri. Kemudian dengan kesaksian saya secara langsung beliau di ziarahi oleh Sonia Ghandi yang pada saat itu merupakan rivalitas Vajvay, yang kemudian menjabat Perdana Menteri India, juga demikian disambut dengan apa adanya, tanpa ada persiapan khusus. Kedua pemimpin itu saya saksikan dengan jarak sangat dekat. Yang selalu terukir dalam ingatan saya dan tergambar beginilah gambaran Sayyidina Umar di temui oleh Hurmuzan raja Persia ketika ia dihadirkan dihadapan Umar, beliau sedang tidur dibawah pohon kurma didepan masjid Nabawi ketika itu, tanpa ada pengawal pribadi atau penjaga.
I.
Tempat Kelahirannya
Abul hasan Ali An-Nadwi
lahir pada 06 Muharram 1333 H / 1914 M sebagian orang ada yang menyebutkan
beliau lahi r pada tahun 1913 M.
Hidup ditengah-tengah keluarga yang sangat agamais dari keluarga saleh dan dikenal keturunan ilmuan, dari keluarga terhormat, nasabnya bersambung dengan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Lahir di satu sudut pedalaman jauh dari perkotaan di kampung Takiah Raiy Breyli sebelah utara India provinsi Uttar Paradesh. (Penulis Pernah dua kali ziarah ke kediamannya dan pernah tidur dirumahnya satu malam dan qiamullail lebih kurang satu pekan di masjidnya, dari beliau kami membaca mukaddimah Kutub Assittah, Musnad Imam Ahmad dan Muwattha’ Imam Malik.Yaitu pada bulan Ramadhan dimasjid yang dibangunnya tidak jauh dari rumahnya, merupakan tempat tujuan orang banyak untuk I’tikaf dan qiamu al-lail pada bulan Ramadhan, pada tempat inilah saya pernah ikut qiam al-Lail bersama para hafidz quran, imamnya membaca 2 juz sampai 4 juz dalam satu rakaat ).
Ijazah Sanad Hadits Kutub Assittah,
Saheh Bukhari, Muslim, Sunan Attirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah,
Sunan Annasai Muwattha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad dari Syikhi Al-Imam
Abul Hasan Ali Annadwi Rahimahullah Ta’ala..
Nama ayahnya : Sayyid Abdul Hayyi al-Lucknawi
pakar dalam ilmu kedokteran, juga salah satu orang penting di Yayasan Nadwatul
Ulama, ayahnya membuka praktek disamping sebagai pembina di Darul Ulum Nadwatul
Ulama. Saudaranya yang paling besar seorang tokoh pendidikan Dr. Abdul Ali
al-Hasani dan dipercaya sebagai ketua umum yayasan Nadwatul Ulama. Ibunya
bernama : Khairunnisa’ putri dari Syeikh Sayyid Dhiya’ al-Nabi.
Ayahnya sebagai seorang
ulama dan disamping itu juga berprofesi
sebagai seorang dokter, beliau juga dikenal piawai dalam menulis dalam bahasa
Arab diantara kitabnya paling masyhur “Nuzhat al-Khowathir wa-Annawazhir,
konsentrasi pada sejarah ulama-ulama India dan para bangsawannya terdiri dari
delapan jilid besar.
Pamannya bernama hafidz
Ubaidillah. Ayahnya wafat ketika umurnya baru mencapai 9 tahun pada tahun 1341
H / 1923 M, lalu ia diasuh abang kandungnya yang paling besar Dr. Abdul Hayyi
dan pamannya Hafidz Ubaidillah.
Abul Hasan an-Nadwi
hidup ditengah-tengah para ulama yang
amat dikenal gigih dan ikhlas, keluarganya juga dikenal dekat dengan tokoh
ulama dan para pemimpin diantaranya seperti : Amir Sayyid Nur al-Husain
al-Bofali anak paling besar Allamah Shadiq Hasan Khan al-Qanuji Gubernur Bofal,
Allamah al-Rabbaniy Sayyid Abdussalam al-Wasithi, Pangeran Syeikh Habib
al-Rahman Khan al-Syirwani, Syekh Gulam Muhammad al-Syamlawi, al-Ustadz Abdul
Majid al-Diryabadi, Allamah Sulaiman An-Nadwi,Syeikh Hasan Khan Syeikh hadis
dan dekan salah satu fakultas di Darul Ulum, Dr. Muhammad Iqbal yang telah
pernah diziarahinya sewaktu ia masih anak muda dan ia jatuh cinta pada syair-syairnya.
Semasa kecilnya Abul
Hasan telah banyak menyaksikan pergolakan-pergolakan besar dinegerinya seperti
: Kepindahannya ke kota Lucknow dan dimulainya belajar dengan sangat disiplin,
dia juga menyaksikan pergolakan dalam mempertahankan Khilafah Islam, yang pada
akhirnya Khilafah Islam dibubarkan pada
30 Maret 1924 M, pada saat itu merupakan pergerakan yang sangat keras sehingga
bangkitnya ummat Islam India untuk menuntut hak-haknya. Pada masa-masa kritis
ini bermunculanlah tokoh-tokoh besar untuk melawan kolonialisme Inggris seperti
: Muhammad Ali, Syaukat Ali dan Mahatma Gandhi.
Abul Hasan mulai
belajar Bahasa Arab, Persia dan Inggris semenjak kecil, demikian juga dengan
belajar Alquran dibawah bimbingan ibundanya yang telah menghafal sebagian surat-surat
panjang. Dia berkonsentrasi dalam Bahasa Arab dibawah bimbingan Syeikh Khalil
Bin Muhammad, dikala masih anak-anak sudah mulai belajar Sastra Urdu. Diantara
gurunya ustadz Abdul Hayyi al-Faruqi, ustazd Tafsir dan Syeikh Muhammad Tholhah
al-Hasani yang merupakan pakar ilmu Bahasa Arab dan sastera. Pada tahun 1927 M
Abul Hasan terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Lucknow, kala itu
ia masih berumur 13 tahun, sungguh umur yang sangat muda untuk umur anak
kuliah.
Perjalanan ilmiahnya
dimulai pada tahun 1927 M dari kampungnya Raiy Bereliy ke kota Lucknow,
kemudian menuntut ilmu berlanjut ke kota Lahore dengan salah satu keluarganya
al-Ustadz Sayyid Ibrahim an-Nadwi sambil menziarahi Suami bibinya Sayyid
Tholhah, sekaligus mempertemukannya dengan para ulama dan tokoh intelektual.
Pada waktu itu kota Lahor merupakan pusat budaya, pusat Sastra dan pusat media
cetak di anak benua India.
Disana dia berjumpa dan
kenal dengan sastrawan Dr. Muhammad Iqbal, kemudian ia bertemu dengan penyair
Hafidz Jalindahri, bertemu dengan Syeikh besar Maulana Ahmad Ali Lahore dan
salah satu dekan Fakultas Syeikh Muhammad Syafiq.
Diwaktu yang tepat
sekembalinya ia ke kota Lucknow, dia menghabiskan waktu untuk belajar hadits di
Darul Ulum Nadwatul Ulama dibawah bimbingan Syeikh Haidar Hasan Khan
al-Thunkiy, ketika itu hadir seorang ulama pakar dalam Bahasa Arab danSastera
Syeikh Taqiyuddin al-Hilali berasal dari Maroco. Hasil belajarnya dari Ustadz
Taqiyyuddin, Abul Hasan mulai menulis makalah dalam bentuk Bahasa Arab, dan ia
mencoba menerjamahkan buku-buku berbahasa Urdu ke Bahasa Arab. Diantara makalah
yang dialih bahasakannya kedalam Bahasa Arab makalah Amir Jama’ah Ahli Hadis
Syeikh Daud al-Goznawi kemudian ia perlihatkan kepada Syeikh Taqiyyuddin
al-Hilali yang kemudian dia kirim ke meja Sayyid Rasyid Ridha di Mesir,
kemudian disebarkan di Majallah ”al-Manar” yang mendapat apresiasi penuh dari
Syeikh Rasyid Ridha.
Abul Hasan dari kecil
sudah menjadi kutu buku dan senang membaca majalah Arab yang dikirim dari berbagai
negara seperti majalah : “Ummul Qura’ dari Makkah, “Fata al-Arab”
dari Damascus, “al-Jamiah al-Islamiyah” dari Pelastina, “al-Manar”,
“al-Hilal”, “al-Muqtathof”, “Majalah al-Zahra’”, “al-Majma’ al-Ilmi”,
“al-Irfan”, “al-Fath” dan lain-lain.
Dimasa mudanya Abul
Hasan kembali ke Lahore dan belajar dengan Syeikh besar Ahmad Ali al-Lahore,
dari Lahore menuju Deoband untuk belajar hadis ditangan Syeikh Husain Ahmad
al-Madani yang mengajarkan Shaheh Bukhari dan Sunan at-Tirmidzi.
I.
Tenaga Pengajar di Darul Ulum Nadwatul Ulama
Pada tahun 1934 M beliau diangkat sebagai
tenaga pengajar di Darul Ulum Nadwatul Ulama, umurnya saat itu baru mencapai 20
tahun, dan ia dipercaya untuk memegang mata kuliah Bahasa dan Sastera Arab dan
Tafsir.
Disamping mengajar di Darul Ulum dia juga aktif
menulis, bakatnya menulis sudah terlihat sedari mudanya sehingga tulisan dan
karya-karyanya sangat di sukai orang banyak di Nadwatul Ulama. Dia tertarik
dengan gaya dan uslub menulis buku dari karya-karya Ustadz Dr. Ahmad Amin,
Syakib Aruslan dan Abdurrahman al-Kawakibi, dia juga tidak ketinggalan menelaah
buku-buku politik dan sejarah seperti “Runtuhnya Inperior Roma” “Pergolakan
diantara Ilmu dan agama” “Sejarah Peradaban Barat” “Sejarah Falsafah Modern”
dan tulisan-tulisan Abul A’la al-Maududi.
II. Ketenaran dari tempat kelahiran (India)
Untuk memulai fase baru dalam perjalanannya,
dia kembali mengadakan perjalanan-perjalanan ilmiah dengan menziarahi
pusat-pusat agama di India dan menjajaki tokoh-tokohnya. Dia mencari identitas disetiap
organisasi yang ditujunya, bergabung dengan Jamaah Islamiyah yang dipimpin oleh
al-Ustadz Abu al-A’la al-Maududi, tidak lama bergabung iapun pamitan untuk
meninggalkan organisasi tersebut. Dia juga bertemu dengan para pemimpin jamah
tabligh dan yang terpenting pertemuannya dengan syeikh Muhammad Ilyas
al-Kandahlawi pemimpin jamaah tabligh dan ikut
jaulah dalam berbagai dakwah dan pertemuan disana-sini. Walaupun ia
menaruh simpati dan mendukung pergerakan jamaah tabligh, diapun minta izin
tidak bisa mengikuti pergerakan ini dan dengan minta maaf ia memisahkan diri
dari pergerakan ini.
Di umur 20-an tahun dia sudah banyak menulis
bernuansa dakwah dalam bahasa Arab. Dalam usia dini sudah menulis satu karya
berharga dan mendapat pujian dari berbagai kalangan ulama. Buku pertamanya yang
sangat terkenal : ”Madza Khasira al-Alam bi Inhithathi al-Muslimin”.
Pada tahun 1947 M Abul Hasan berangkat menuju
Makkah untuk melaksanakan haji bersama Syeikh Muhammad Bin Yusuf Bin Syeikh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi
pemimpin Jamaah Tabligh, dari sana dia memulai pelebaran dakwah. Disela-sela
pelaksanaan haji dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan Syeikh Umar Bin
al-Hasan Alu al-Syeikh yang merupakan penerus Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Rahimahullah.
Disaat-saat pelaksanaan haji, terdengar berita
bahwa India dan Pakistan terpisah menjadi dua negara, pada 30 Juni 1948 Syeikh
Abul Hasan bersama Syeikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi kembali ke India, pada
kepulangan mereka berdua bertepatan hari penangkapan Gandhi, yang mengakibatkan
terjadinya instabilitas di tanah India.
Penganut Islam pun memunculkan berbagai
alternatif : Ada yang mengajak agar tetap menyatu dengan India mempertahan-kan
rasa nasionalisme, ada juga yang menginginkan ikut bersama Imprialis Barat dan
ada yang berpendapat untuk menegakkan Islam ditanah India sesuai pendapat dan
aliran masing-masing. Pada saat genting ini muncullah ide berilian dari Abul
Hasan an-Nadwi melalui majalah “al-Furqan” dan majalah ”al-Ta’mir”
yangintinya sama dengan pendapat ketua umum Yayasan Majelis Ulama India tidak
setuju dengan usulan-usulan yang diajukan pihak-pihak muslim India saat itu,
bahkan tidak setuju adanya pemisahan antara India dan Fakistan, sebab akan
lebih melemahkan ummat Islam di India dan merugikan dakwah secara politik. Abul
Hasan dan rekan-rekan mengajak tokoh-tokoh ulama dan para akademisi muslim dari
berbagai institusi yang ada di India untuk membicarakan
permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi ummat Islam.
Pelaksanaan pertemuan tersebut diadakan pada 20
Syawal 1367 H / 26 Agustus 1948 M bertempat di Kampus Darul Ulum Nadwatul Ulama
Lucknow. Pertemuan tersebut sangat positif, dan ternyata mendapat sambutan dari
kalangan ummat Islam, karena dari setiap diskusi dapat memberikan solusi dan
harapan-harapan kedepan, sehingga pertemuan-pertemuan besar dilaksanakan secara
kontiniu sampai sekarang ini.
Abul Hasan melalui dakwahnya, juga melakukan
hubungan diplomasi dengan tokoh-tokoh ulama Arab dan para pemimpin-pemimpinnya
secara kontiniu, baik melalui surat-menyurat atau melalui sela-sela pertemuan
Ilmiah.
Pada tahun 1360 H beliau berangkat menuju Hijaz
untuk melaksanakan haji kedua kalinya, ditemani Syeikh Abdul Qadir al-Raiy Buri
dan beberapa muridnya : Syeikh Abdullah Abbas an-Nadwi, Syeikh Sayyid Ridwan
an-Nadwi, Syeik Muhammad Thahir al-Mazhahiri, dan anak kakaknya syeikh Muhammad
Rabi’ al-Hasani an-Nadwi dan mereka bertemu dengan para Ahli Bahasa dan Sastra
Arab. Ketika itu Abul Hasan juga diminta oleh satu stasiun radio untuk
menyampaikan pidato ilmiah melalui udara di Kerajaan Saudi Arabia.
Pada tahun 1370 H / 1951 M Abul Hasan bersama
beberapa muridnya melakukan perjalanan menuju Mesir dan mengadakan jalsah
bersama para pakar bahasa dan sastera. Dia pun diberi kesempatan untuk
menyampaikan pidato di hadapan organisasi kepemudaan Islam ”Jam’iyah Syubban
al-Muslimin” dengan tema ”Al-Alam Ala Muftaraqi at-Thariq” Alam
berada pada persimpangan jalan, pada pertemuan itu beliau semakin banyak
mengenal lebih jauh para ulama dan cendikiawan muslim di Mesir.
Demikian juga ia menyampaikan pidato di Darul
Ulum Cairo dengan tema ”Iqbal Wa Syi’ruhu wa Risalatahu” Iqbal, Syair
dan pesan-pesannya dan menyampaikan pidato di Jamiah Fuad al-Awwal dengan tema “Al-Insan
al-Kamil ‘Inda Iqbal” Manusia sempurna menurut Iqbal. Pertemuan demi
pertemuan dilakukan sampai ke kampung-kampung. Kemudian dia bersama
teman-temannya menuju Sudan dan negara-negara Syam.
Di Damascus dan kota-kota lainnya di Syria
mengadakan pertemuan dengan para pakar sastera dan bahasa dan mengadakan
pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan Palestina. Disela-sela
perjalanannya di Syam dia menyempatkan diri untuk mengunjungi Baitul Muqaddas
dan al-Khalil Ibrahimiyah.
Kemudian ia bersama kawan-kawannya kembali
menuju Makkah untuk melaksanakan haji untuk ketiga kalinya, dan mereka tinggal
di Saudi Arabia selama 5 bulan. Ia
menyampaikan pidato di stasiun radio di Hijaz, dan ia pun menziarahi Thaif.
Perjalanan kali ini dia pada jamuan Syeikh Muhammad surur al-Shubban di temani
Syeikh Muhammad Rabi’ al-Hasani an Nadwi dan Syeikh Mu’in an-Nadwi.
Abul Hasan bersama saudaranya kembali ke India
pada Oktober 1957 M untuk memulai babak baru dalam dakwahnya. Perjalanan dakwah
dan ilmiah ini menghabiskan waktu 6 bulan.
III.
Babak Baru Dalam Menjalani Dakwah
Sekembalinya
ke India, Abul Hasan menerima undangan dari Universitas Damascus dari DR.
Mushthafa al-Siba’iy, diapun menghadirinya pada tahun 1956 M. Berulangkali
menyampaikan pidato diberbagai pertemuan dan melalui radio. Diantara judul
pidatonya : al-Tajdid wa al-Mujaddiduan fi Tarikhi al-Fikri al-Islami”
Pembaharuan dan tokoh-tokoh pembaharu dalam sejarah pemikiran Islam, “Muhammad
Iqbal Fi Madinah ar-Rasul SAW” Muhammad Iqbal di kota Rasul SAW dan “Isma’iy
ya Suriya” dengarlah wahai Syria.
Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bairut
dan Tripoli kemudian ke Turki dan kembali ke Damascus untuk satu muktamar yang
diundang kembali oleh Dr. Said Ramadhan al-Bouthy, pada pertemuan muktamar
tersebut diketuai oleh Dr. Muhammad Nashir Perdana Menteri Indonesia dan
wakilnya Syeikh Abul A’la al-Maududi dan al-Ustadz Syeikh Abul Hasan Ali
an-Nadwi.
Pada tahun 1960 Abul Hasan menuju “Rangon”
memenuhi undangan Qari Abdurrahman al-Qasimi dan tinggal disana selama 1 bulan
untuk memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat melalui dakwah. Dia juga
pada waktu itu di undang ke Kuwait dan Saudi Arabia untuk menyampaikan
pidato-pidato ilmiah di berbagai masjid disana dan melalui radio. Kemudian dia
diangkat menjadi staf pengajar di Universitas Islam Madinah, tapi dia menolak
dan memilih sebagai anggota majelis Syura untuk Jamiah Islamiyah Madinah.
Pada 14 Dzul Hijjah 1382 H beliau diundang
untuk menghadiri muktamar yang akan menjadi cikal-bakal pembentukan OKI (Rabithah
al-Alami al-Islami) yang dihadiri kerajaan Saudi, dan terpilih ketua tetap
Syeikh Muhammad Bin Ibrahim Abu al-Syeikh dan Abul Hasan terpilih menjadi anggota.
Pada perjalanan ini dia menyampaikan beberapa pidato di Jamiah Islamiyah dan sempat bertemu dengan Raja Faishal Bin
Abdul Aziz dan memberikan butir-butir pemikiran tentang Saudi Arabia.
Pada tahun 1383 H / 1963 M melakukan perjalanan
menuju Eropa memenuhi undangan Dr. Said Ramadhan al-Bouthy untuk mengikuti
muktamar di Jenewa di markaz Islam disana, kemudian dia menziarahi Luzan,
Syarbon, Paris, London, Kambrige, Oxsport dan Glasco dan mengadakan pertemuan
dengan para ilmuannya dan para orientalis. Dia dapat pengalaman berharga dari
Pustaka Beritania dan diminta untuk menyampaikan orasi ilmiah untuk beberapa
kali ditempat ini. Beliau meneruskan perjalanan menuju Andalus dan ziarah ke
Madrid, Tolitoli, Sevilla (Isybiliya), Qordhova dan Granada (Gornatha).
Pada tahun 1384 H / 1964 M untuk kedua kalinya
berkunjung ke Jerman dan beberapa kota disana dan berlanjut ke Amerika dan berdirinya
Yayasan Islam di Universitas Oxsport dan mengadakan jamuan umum untuk pendirian
tersebut pada 22 Juni 1983 M.
Pada tahun yang sama berlanjut perjalanan
menuju Kuwait dan Emirat Arab. Pada waktu itu tepat ada pengalihan Pustaka
pribadi Syeikh Abdullah al-‘Ali al-Mahmud menjadi Pustaka umum setelah ia
wafat. Pada tahun itu anaknya Dr. Salim mendirikan satu upacara untuk peresmian
pustaka tersebut yang dihadiri Hakim wilayah Syariqa (Sarja), Hakim Ajman, Dr.
Abdullah Nashib dan Abul Hasan Annadwi sendiri. Kemudian menyampaikan orasi
ilmiyah di Al-‘Ain, Sarja dan Abu Dabi. Pada tahun itu juga dia menuju Srilanka
dan Aljazair untuk berdakwah.
Pada 5-9 Muharram 1400 H / 26-30 Oktober 1979 M
diadakan Muktamar Sirah Nabawiyah di Qatar diikuti oleh para utusan dunia Islam
termasuk dari India. Pada 12 Februari 1980Abul Hasan di anugerahi Kerajaan
Saudi Arabia berupa hadiah Faisal Award. Hadiahnya dibagi-bagi semuanya untuk
tiga Yayasan Islam dan yang membacakan pidato pembukaan muridnya Dr. Abdullah
Abbas an-Nadwi.
IV.Kembali ke Tanah India
Pada tahun 1963 M
/ 1964 M terjadi instabilitas keamanan di daerah Kalkuta dan pada perbatasan
utara India pada tahun 1964 M, yang pada waktu itu banyak mengorbankan ummat
Islam mencapai ribuan bahkan puluhan ribu dibunuh dengan sadis.
Sebagian ummat Islam melihat perlu ada
pembicaraan diplomasi dengan pemerintah dari pihak Hindu, tapi ternyata usaha
itu gagal tanpa menghasilkan apa-apa. Lalu mereka melihat tidak ada kebijakan
untuk menyelesaikan secara damai, merekapun memutuskan untuk melakukan
perlawanan dengan perjuangan mati-matian tawakkal Alallah.
Keputusan majelis Syura Ulama-ulama Islam India
pada 8-9 Agustus 1964 M untuk mengutus rombongan ke tempat tragedi bersama
Syeikh Abul Hasan Ali Nadwi ke Jamshid Pur, ternyata kejadian sangat
mengerikan, banyak mayat berdamparan, potongan-potongan tangan dan kaki
berserakan.
Pergerakan
dakwahnya semakin hari semakin intens untuk mempertemukan orang Islam dengan
orang Hindu, agar mengurangi ketegangan dan mengubah pandangan negatif terhadap
ummat Islam, sehingga banyak perubahan sikap dan pandangan terhadap ummat Islam
dihadapan mayoritas penganut Hindu.
Berbagai tulisan dan karangan-karangan kitab
satu demi satu diterbitkan oleh Abul Hasan an-Nadwi seperti kitab “Jannatul
Musyriq wa Mathla’u an-Nuri al-Masyriq” karangan ayahnya, dan ia menulis
kitab “al-Shira’u Baina Fikrat al-Islamiyah wa al-Fikrat al-Ghorbiyyah”,
“al-Thariqu Ila al-Madinati”, “al-Tarbiyyat al-Islamiyyat al-Hurrah”.
Sebagian penulis berasal dari Arab Makkah
al-Mukarramah dan Ahmad Ghawi dari Riyadh yang diedarkan majalah al-Raid edisi
13-14-15-16 tahun 2000 hal 25 mengisyaratkan bahwa Abul Hasan telah menulis
dalam berbagai tema dan judul mencapai lebih 700 judul, diantaranya 177 judul
dalam bahasa Arab dan yang lainnya dalam bahasa Inggris, Persia dan Urdu.
Abul Hasan an-Nadwi telah menyaksikan berbagai
peristiwa besar seperti : Terpecahnya India dengan Pakistan, Perang antara
India dan Pakistan tahun 1971 M, Pendudukan Palestina dan lain-lain.
V.
Abul Hasan Ali an-Nadwi di panggil Allah Ta’ala
Pada hari Jumat, saya dan pelajar-pelajar Darul
Ulum berangkat menuju masjid Al-Hidayah yang berada didalam kampus, sewaktu
hendak melaksanakan shalat tahiyyat al-Masjid saya mendengar tangisan-tangisan
rilih, ada yang larut dalam doa di iringi tangisan sedih, ada juga yang larut
dalam shalat di iringi dengan tangisan tersesak-sesak. Saya pun larut berpikir
dalam shalatku kenapa orang banyak ini khusyuk menangis dalam shalat, alangkah
menghayatinya mereka akan makna shalat mereka, itulah yang menjadi pertanyaan
dalam hati, sehingga setelah selesai shalat saya pun bertanya kepada salah
seorang mahasiswa yang berasal dari Kasymir tentang apa yang terjadi? Dia
menjawab Abu al-Hasan Ali an-Nadwi telah wafat. Tanpa banyak bertanya saya
dengan sepontanitas ikut menangis dengan aliran air mata yang sangat deras,
sampai membasahi baju jubah yang saya pakai.
Sepanjang hidup saya baru dua kali merasakan
terharu dengan sepontanitas mengalirkan air mata yang terasa hangat, pertama
sewaktu meninggalkan Damascus syria dan pada waktu wafatnya Abul Hasan Ali
an-Nadwi Rahimahullah. Adapun Syria saya jatuh cinta ke negeri Syria, karena
negeri ini yang telah memberi saya banyak ilmu pengetahuan dan adapun Abul
Hasan saya cintai karena saya menemukan sosok orang wara’, zuhud, banyak
ibadah, tawadu’, lautan ilmu, dermawan, sederhana, pemberani, pemersatu ummat,
pemikir Islam yang ril dalam kebenaran, tegas tidak aling-aling dalam
mempertahankan akidah dan sosoknya mengingatkan seseorang kepada Sayyidina Umar
Bin Khattab RA.
Orang baik ini di panggil Allah SWT pada hari
jumat, dalam keadaan berpuasa, sedang membaca Alquran dari surat al-Kahfi dan
surat Yasin menjelang masuknya waktu shalat jumat, pada 22 Ramdhan 1420 H / 31
Desember 1999 M.
Setelah selesai shalat Jumat kamipun ikut beramai-ramai
menuju rumah kediamannya di Raiy Bereyli
ambil bagian untuk ikut menshalatkan orang saleh ini. Saya ikut kepemakaman yang hanya sekitar 50 meter
dari rumahnya, beliau dikuburkan dekat kuburan ayah dan pemakaman keluarganya.
Saya juga melihat kuburan orang-orang saleh ini tidak ada satu batu bata pun di
letakkan di bagian kuburannya, hanya sebatas tanah yang menonjol sekedar satu
jengkal membubung keatas, dan itulah sebaik-baik kuburan Rahimahullah
Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar